Si Meong (6)

16 Dec 2015 06:27 2295 Hits 0 Comments
Catatan Absurd Si "Doni" Meong Bagian Keenam

 

Dua tahun yang lalu aku dan si Biru ditabrak truk pengangkut material di jalan sepulang sekolah. Sejak saat itu, orangtua dan kakak-kakakku sepakat untuk melarang kami turun ke jalan terutama di saat jam sekolah.

Dua tahun seharusnya lebih dari cukup untuk pemulihan tulang kakiku yang patah dan pemulihan hak kami kembali menyusuri aspal bersama-sama. Namun ternyata tidak, Mama masih saja ngotot melarangku. Ku elus lagi si Biru melepas rindu.

Aku tiba di sekolah lebih pagi dari biasanya, mungkin karena beberapa hambatan jalan yang lebih mudah ku lalui dengan sepeda motor dibandingkan saat Dodi yang menyetir mobil atau memang karena akselerasi, kecepatan, dan kelincahan duet maut kami.

Ya, duet maut. Jika mengingat kejadian dua tahun yang lalu, aku tidak pernah memasukkannya ke dalam kategori kesialan, karena bagaimanapun juga, sekedar patah kaki menurutku adalah keberuntungan saat seseorang ditabrak truk dengan kecepatan tinggi dari depan.

Oke, intermezzo nan melankolis dan dramatis sudah selesai, aku harus fokus melalui ladang ranjau sekolah pada hari ini, berusaha tetap hidup selama jam pelajaran, lalu membuntuti Jimi sepulang sekolah.

Ku dengar suara kaki mengejarku dari belakang saat aku melintasi koridor.

“Hahahahaha, sehat lu Don? Hahahahaha……”

Suara Angga, dia kini berjalan sejajar denganku. Tawanya terhenti, lalu menatapku dengan serius sambil berjalan.

“Lu jatuh miskin ya sekarang?”

Eh?

“Perasaan dari tempat parkir tadi lu jalannya nunduk mulu, nyari duit kececer, kan?”

Kupret. Tidak mungkin aku mengisahkan ladang ranjau di area sekolah kepadanya, jadi lebih baik aku diam saja.

Angga teman aku sejak SMP, dia satu-satunya temanku yang tidak memanggilku dengan sebutan meong meski sebutan itu mulai melekat padaku sejak SMP. Kami pun pada akhirnya masuk SMA yang sama, namun kami tidak pernah sekelas, hal itu agaknya sedikit membuat jarak di antara kami.

“Ee… Don? Ntar pulang skul kita nyodok yuk, gila, dah lama banget kita gak ke Triple Nine Pool bareng”

Aku tercenung.

“Daritadi diem mulu, napa sih? Sariawan?”

“Hahaha, ya enggak, lah…” Sahutku mencoba mencairkan suasana.

“Bibir pecah-pecah? Susah buang air besar?” Cecar Angga lagi dengan tampang konyol.

Aku hanya tersenyum. Kami sudah sampai di depan kelasku.

“Eh, Ga, nanti istirahat pertama lu harus mampir ke sini, ada yang mau gue tunjukin“

“Wow, nunjukin apaan? Atraksi makan beling?”

“Udahlah, liat aja entar” Sahutku sambil memasuki kelasku.

Sepuluh menit pertama diisi dengan bengong pagi-pagi di dalam kelas ternyata cukup menyenangkan, aku jadi tahu kelompok yang paling pertama datang dan aktivitas teman-teman sekelasku sebelum pelajaran dimulai. Tapi hanya sepuluh menit pertama…

Selanjutnya adalah… pertunjukan topeng monyet Mawar dan Mario, mereka mengingatkanku pada sebuah film yang berjudul Beauty with Acnes and the Beast. Menyaksikan tingkah-polah mereka berdua membuat aku tiba-tiba merasa jengkel sendiri, ingin marah tanpa sebab, dan sakit gigi secara mendadak.

Menit-menit menyesakkan ini belum sempurna kehancurannya tanpa hadirnya makhluk yang saat ini belum muncul, kadang datang persis beberapa detik sebelum bel pelajaran dimulai dan biasanya datang terlambat, mirip-mirip polisi di film India. Dulunya, kupikir akulah penutup kelas ini, seperti jagoan di film-film, datang di saat yang terakhir. Namun sekarang dialah yang mendominasi posisi prestisius tersebut.

Pak Eko sudah memasuki kelas saat Jimi berada di ambang pintu.

Jimi hanya mengucapkan kata sakti “maaf” dengan wajah polos lalu ngeloyor ke arahku kemudian duduk begitu saja di sebelahku. Tuh, kan?

 

*****

 

Aku segera berlari menghampiri Angga saat dia terlihat di kejauhan. Ku seret dia menjauh dari kelasku kemudian ku bisikkan sesuatu. Angga menganggukkan kepalanya meski terlihat agak bingung.

Ketika targetku mulai bergerak, aku segera menyusulnya menuju kantin dan Angga membuntutiku dari belakang.

Setelah berada di dalam sana selama sepuluh menit, aku bergegas menghampiri Angga yang masih menunggu di luar kantin.

“Lu liat semuanya, gak?” Tanyaku kemudian

“Trus?”

“Ada yang aneh?”

“Apanya yang aneh?”

“Kok elu nanya balik mulu, sih?”

“Katanya mo nunjukin sesuatu?”

Ku garuk kepalaku.

“Gini deh, certain apa yang lu liat tadi”

“Lu masuk, beli kacang kulit, trus nyamperin cewek rambut pendek, murid baru sekelas lu, trus lu keluar, apanya yang aneh, coba?”

“Sekarang perhatiin nih!” Jawabku sambil menunjukkan sepatuku yang berstempel jejak kaki misterius.

“Diinjek orang apa anehnya?”

“Ini kedua belahnya, Ga… trus lu liat ini!” Kataku lagi sambil menunjukkan seragamku yang terkena noda saus dan kecap. Kemudian aku membalikkan badan, jika firasatku benar, Angga akan menemukan sesuatu di punggungku.

“Ummm……” Sahutnya kemudian

“Ada noda saus dan kecap juga, kan?” Tanyaku

“Ho’oh, ditambah bagian bokong celana lu bolong, tuh, huahahahaha!” Sahut Angga.

Eh?

Ku raba-raba bagian tersebut dan memang koyak.

“Kena paku kayaknya, Don”

“Liat ini juga” Kataku sambil menunjukkan saku baju yang banyak berisi kulit kacang, “ini juga” lanjutku mengeluarkan beberapa kulit kacang dari kantung celanaku.

“Gue bilang aneh karena ini semua bukan perbuatan gue dan semua terjadi tanpa gue sadari, akan lebih aneh lagi kalo lu kagak liat siapa yang lakuin ini, padahal cuma sepuluh menit gue di dalam sana”

“Kayaknya gue tadi sempat lengah beberapa menit, Don… ntar ulang lagi deh pasti gue pelototin tiap detiknya”

“Ogah!” Jawabku ketus, “Ngomong-ngomong, Ga, lu mau denger cerita gue, gak?”

 

*****

 

"Jadi... apa untungnya nguntit dia?"

Aku tercenung sejenak, benar juga, apa untungnya ya?

"Err... Sapa tau misteri ini dapat terungkap, Ga..."

"Gak ada hubungannya, keles... Toh sekolah kita aman-aman aja, kan? Yang patut diselidiki itu elu, Don, hahahahaha"

“Kupret”

DUKKK!

Aku terkesiap lalu menoleh ke belakang sambil meringis, ternyata Ibu Linda yang memukul pundakku dengan buku.

“Mana formulirnya?”

Ya amplang! Ku tepok jidatku.

“Ketinggalan, Bu!” Sahutku.

“Besok jangan lupa dibawa!” Kata Ibu Linda kemudian berlalu.

“Formulir paan, Don?”

“Lomba seni tingkat kabupaten”

“Lu jadi seniman sekarang? Hahahaha…”

“Terserah, deh, gue balik ke kelas dulu” Kataku sambil bergegas ke kelas.

“Don…! Pulang skul jangan lupa, gue tunggu!” Teriak Angga namun tidak ku jawab.

 

*****

 

Ku amati Jimi di sampingku, dia sedang asik mendengarkan penjelasan Ibu Agustina. Kemudian teringat ajakan Angga untuk main bilyard. Di satu sisi aku penasaran untuk melakukan stalking terhadap Jimi, di sisi yang lain aku tidak enak menolak ajakan Angga, lagipula memang sudah lama kami tidak hang out bareng.

“Doni…! Jangan ngelamun terus, perhatikan!” Teriak Ibu Agustina.

 

Bersambung.

Si Meong (6)

Si Meong bingung pilih yang mana, nyodok atau nguntit?

Next issue ⇒ Si Meong (7) Release on Dec 19th, 2015

Cerita Sebelumnya ⇒

Si Meong (1)

Si Meong (2)

Si Meong (3)

Si Meong (4)

Si Meong (5)

About The Author

Tuhuk Ma'arit 52
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel