SEKUNTUM CINTA SEMU

16 Sep 2015 22:47 2391 Hits 0 Comments
SEKUNTUM CINTA SEMU

SEKUNTUM CINTA SEMU

 

                                                                                               

 

            Pagi ini hamparan langit terlihat membiru dengan hiasan awan putih yang merekah bersama sinar sang surya yang menguning indah tak ketinggalan pula suara burung pipit yang hinggap di taman yang bersih dan tertata rapi. Mataku menatap keluar jendela menanti angin yang menerpa wajah lusuhku. Saat ini aku berada di sebuah ruangan yang sedikit mewah, ruangan yang paling mahal untuk ukuran menengah ke bawah. Di sini ada tempat tidur, televisi, kulkas kecil, dan beberapa fasilitas mewah lainnya, sedangkan tubuhku sendiri tidak berdaya melawan rasa sakit, ya sudah tiga hari ini badanku tidak terawat sama sekali. Rambut berketombe, badan kotor, ditambah keringat yang setiap kali muncul membuat tubuhku ini semakin mengeluarkan bau tidak sedap. Aku sungguh tidak tahan dengan keadaanku ini, apalagi selang infus masih menusuk kulit putihku, ingin rasanya aku menjalani hari yang seperti dulu, hari-hari yang mahal bila melihat keadaanku sekarang.

            Dalam ketidakberdayaanku, terselip suatu kebahagiaan dihati yang membuat aku terpaksa betah di tempat yang mungkin sangat dibenci oleh manusia siapapun juga. Andai setiap hari seperti ini, aku selalu melihat senyum ramah seseorang yang tidak pernah aku dapatkan di rumah.

            "Selamat pagi Gadis!"

            Sapaan suara khas yang sangat aku kenal, suara yang terdengar serak tapi sangat indah bila didengar, suara yang terdengar sangat ramah dan sangat bersahabat, siapa lagi kalau bukan suara seseorang yang membuat aku betah berada di sini meski aku dalam keadaan sakit.

            "Bagaimana keadaannya hari ini? Badan kamu masih panas?" Pertanyaan yang membuat jantung ini berdebar kencang, dan membuat perasaan ini berdesir saat ia mendekat.

            "Udah lebih baik dari hari kemarin," jawabku agak gugup.

            "Ehmm….karena kamu terserang tifus, jadi belum boleh makan nasi, tidak boleh makan buah yang rasanya asam ya?" Begitulah yang dikatakan seorang lelaki ganteng yang berdiri didekat ranjangku sambil mengganti infusku yang tetesnya telah minim.

            Lelaki ganteng ini sangat menarik perhatianku, selain dia ramah, perhatian, dia juga sangat mirip artis idolaku. Di papan namanya tertulis Tony Wira Prayoga, dari wajahnya aku memprediksi usianya sekitar 25 tahun dan mungkin belum menikah, semoga saja, entahlah apa yang sebenarnya sedang bergejolak dalam hatiku, aku ingin menerjemahkan setiap rasa dalam hati, tapi aku berat dalam mengambil kesimpulan perasaanku yang sebenarnya.

            "Kamu sudah minum obat pagi ini?" Tanyanya dengan suara khasnya.

            "Belum." Jawabku singkat.

            "Kok belum diminum, ini kan sudah lewat dari jam minum obat, nanti kamu nggak sembuh-sembuh lho," ucapannya membuat hatiku ditumbuhi berjuta bunga.

            "Abis obatnya banyak banget sih, lagi pula saya nggak bisa minum obat kalo ditelen," jawabku sangat malu.

            "Kamu nggak bisa minum obat? Minum obat itu nggak bisa?" Tanyanya sangat tidak percaya.

            "Iya…."

            "Kok bisa?"

            "Abis obatnya gede-gede sih, emang dari dulu sudah nggak bisa minum obat," jawabku.

            "Kamu kan sudah 16 tahun dan hampir 17, masa sih nggak bisa minum obat?" Tanyanya masih tidak percaya.

            "Ya kalau saya bisa, udah dari tadi saya minum."

            "Ya udah saya bantu mau?"

            "Nggak usah, ntar aja nunggu ibu saya."

            "Bener nggak mau dibantu minum obat?"

            "Iya……."

            "Ya udah jangan sampai obatnya nggak diminum ya? Biar cepat sembuh. Permisi!"

            "Silahkan!"

            Andai saja yang namanya sakit itu tidak menyiksa, mungkin aku tidak ingin sembuh, ingin aku berada di sini terus. Menatap pujaan hati yang aku impikan. Namun naluriku menginginkan aku lepas dari cobaan ini, meski apabila aku sembuh, aku tidak akan melihat perawat ganteng itu lagi.

J J J

            Sudah sekitar empat hari aku dirawat di sini. Aku merindukan sekolah, teman-teman, dan tentunya pelajaran suntuk yang setiap hari aku jumpai. Waktu yang terus berlalu membuatku ingin segera sembuh, namun rasanya aku tidak ingin keluar dari sini, entahlah apa hanya gara-gara perawat ganteng itu? Meski ia terlihat perhatian sama aku, belum tentu dia tertarik sama seorang anak SMA seperti aku yang masih bau kencur dan aku tidak boleh mengharapkannya karena perhatiannya kepadaku hanya sebatas perawat kepada pasien rumah sakit, dan perhatian yang diberikan kepadaku sama dengan perhatian yang diterima pasien lain.

            Suara lagu Kekasih Gelapku milik Ungu terdengar dari ponselku, ada telepon masuk. Tertulis nama yang sudah tidak asing lagi bagiku, ingin rasanya mengangkat telepon itu tapi kalau mengingat sifatnya membuatku ingin melupakannya. Karena dering ponselku seakan menjerit-jerit, akhirnya dengan malas aku mengangkatnya.

            "Halo, ada apa kamu telpon aku?"

            "Sayang, katanya kamu sakit ya? Sekarang keadaannya gimana? Kamu nggak apa-apa kan?" Suara diseberang terdengar khawatir, namun entahlah dibuat-buat atau yang sebenarnya.

            "Ngapain kamu manggil aku seperti itu?" Tanyaku agak ketus.

            "Aku kan pacar kamu, aku sayang sama kamu dan aku khawatir sama keadaan kamu."

            "Kamu bilang kamu pacar aku, kamu sayang sama aku tapi kenapa setelah empat hari aku di rumah sakit kamu baru nanyain keadaanku, jenguk aku aja enggak, itu yang dinamakan sayang!"

            "Kamu harus maklum dong, tugas di sekolah itu banyak, sebentar lagi aku juga mau ujian, jadi enggak sempat jenguk kamu, lagian aku baru tahu kalau kamu di rumah sakit."

            "Aku tahu akhir-akhir ini kamu sibuk, tapi kenapa baru hari ini kamu telpon aku, enggak waktu pertama kali aku masuk rumah sakit, emang saking sibuknya kamu lupa nanya ke temen di sekolah kenapa aku nggak masuk, trus kamu nggak cari aku di sekolah? Sampai kamu baru tahu sekarang."

            "Ya karena aku sibuk….."

            "Sibuk? Sibuk belajar sampai nggak tahu kalau ceweknya sakit, aku nggak minta kamu jenguk kalau emang kamu lagi sibuk, tapi kamu nggak tahu kan dari kapan aku di rumah sakit? Aku emang sengaja nggak kasih tahu kamu, aku pengen tahu gimana tindakan kamu, tapi buktinya apa? Nggak mungkin kamu sibuk sampai nggak tahu kalau aku di rumah sakit."

            "Ok, aku minta maaf aku nggak akan ngulangin hal itu lagi, aku janji akan jenguk kamu."

            "TERSERAH!!" Suaraku setengah berteriak.

            Aku sangat membenci semua kelakuannya, ingin rasanya aku lepas dari dia. Aku menarik nafas panjang, tiba-tiba ada suara sapaan dari luar.

            "Selamat pagi Gadis!" Suara yang sudah tidak asing bagiku, perawat ganteng itu.

            "Pagi…" Jawabku setengah kaget, degupan jantungku semakin keras.

            "Gimana keadaannya? Badan kamu masih panas?" Tanyanya sambil mendekat ke arahku dan memasang senyum yang ramah.

            "Udah agak baikan," jawabku datar.

            "Sekarang tekanan darahnya diperiksa dulu ya?" Perawat ganteng itu membuka alat untuk memeriksa tekanan darahku.

            Degupan jantungku semakin kencang saja, ketika tangan perawat ganteng itu memegang lenganku.

            "Wah, tekanan darahnya naik, jadi 130. Kamu lagi kesel ya? Wajahnya nggak seperti biasanya."

            "Enggak kok, biasa aja saya nggak apa-apa," jawabku berbohong.

            "Saya nggak bisa dibohongi, tensi kamu aja naik, kamu pasti sedang kesel ya? Ehm… pasti lagi kesel sama cowoknya nich?"

            "Iya, dia tuh nggak pernah jenguk aku ke sini, katanya pacar, katanya sayang!! Tapi dia……" Tiba-tiba aku merasa malu dengan apa yang baru saja aku ucapkan pada perawat ganteng itu.

            "Kok nggak diterusin ngomelnya? Kamu itu jangan kebanyakan marah-marah, nggak baik, kalau pacar kamu nggak jenguk mungkin dia lagi sibuk," dia memberikan sedikit petuah untukku.

            "Kok mas tau sih, kalo pacar aku nggak pernah jenguk, mas tadi nguping ya pembicaraan aku di telpon?"

            "Loh, bukannya kamu yang barusan bilang, kalo pacar kamu nggak pernah jenguk?"

            Benar juga apa yang dikatakan perawat ganteng ini.

            "Orang tua kamu sekarang dimana? Kok nggak pernah kelihatan?"

            "Entahlah, kalo aku beruntung mereka nemenin aku malem, tapi kalo aku tidak beruntung, ya aku tidak ketemu sama orang tuaku."

            "Memangnya mereka ke mana?"

            "Sibuk kerja keluar kota?"

            "O…"

            "Ada mawar merah, kok nggak dibuang? Kan sudah hampir layu." Perawat itu mengalihkan pembicaraan kepada setangkai mawar merah yang menghiasi meja didekat ranjangku.

            "Itu temenku yang membawa beserta vasnya, kebetulan saya sangat menyukai mawar merah, meskipun dia layu, tapi dia tetap bunga asli bukan imitasi. Biarkan dia disitu."

            "Kalo seandainya ada yang mau mengganti bunga itu boleh?"

            "Itu lebih baik, meski dia dibuang paling nggak ada gantinya, lagian vas itu tetep ada gunanya kan?"

            Perawat ganteng itu cuma mengangguk sambil tersenyum, seakan mengerti maksud tersirat yang aku katakan.

            "Saya keluar dulu ya? Kalau kamu butuh apa-apa silahkan panggil saya, jangan lupa obatnya diminum, cepet sembuh ya? Permisi…." Dia mengakhiri obrolannnya denganku.

J J J

            "Dis, elo kapan sembuhnya sih? Sebentar lagi ujian semester loh!" Suara sahabatku yang terdengar khawatir.

            "Gue pengennya di sini terus Nad," jawabku tenang.

            "Hah! Di sini terus? Gila! Kalo gue mah ogah," sahabatku tak sependapat denganku.

            "Kalo gue sih sebenernya nggak pengen sakit, trus terbaring lemah kayak gini nggak bisa ngapa-ngapain, tapi karena ada perawat ganteng itu Nad, gue jadi betah berada di sini.

            "Ya, gue ngerti perawat itu emang ganteng, tapi apa bener dia juga suka ma elo, trus si Tegar mau lo kemanain?" Tanya seseorang yang kini duduk di sebelah ranjangku.

            "Entahlah Nad, gue merasa kalo dia juga ada rasa sama gue, dari perhatiannya, sorot matanya, dan kata-katanya."

            "Kalo cuma begitu doang nggak ngejamin kalo dia ada rasa sama elo, mungkin karena elo pasien di sini jadi dia perhatian, lagian usianya mungkin aja tujuh tahun lebih tua dari kamu. Gue mah lebih milih liat realita daripada menerawang dengan perasaan kayak elo." Celoteh sahabatku panjang lebar.

            "Kan gue bukan Nadya, tapi gue ini Gadis jelas beda dong," jawabku tak mau kalah.

            "Elo kalo dibilangin emang suka kayak gitu, capek deh gue!"

            Aku cuma tersenyum mendengar kata-kata sahabatku. Namun obrolan kita tetap berlanjut.

            "Btw, Tegar sering nanyain gue nggak?" Tanyaku tiba-tiba pada sahabatku itu.

            Sahabatku sejenak terdiam mendengar pertanyaanku ini.

            "Kok elo bengong sih Nad?" Aku mencoba menyadarkan sahabatku dari kebisuan sesaatnya.

            "Eng-nggak….si Tegar ya, dia nanyain elo terus kok…." Jawaban Nadya menggantung.

            "Dari jawaban elo dan dari ekspresi wajah elo, gue rasa elo bohong sama gue."

            "Gue baru membuktikan ternyata yang diomongin orang-orang selama ini benar, kalo perasaan elo itu emang peka banget. Sebenarnya dari dulu gue pengen ngomong ini ke elo, tapi gue takut kalo elo kenapa-napa, lagian sekarang elo lagi sakit."

            "Gue dah ngerasa, sekarang elo jujur sama gue. Tegar nggak pernah nanyain keadaan gue kan? Trus kesibukan dia sekarang apa? Sibuk mau ujian, masa mau ujian aja lupa nanyain ceweknya? Nanyain gue kan nggak ada satu tahun Nad."

            "Sebagai sahabat elo gue nggak tega ngomongnya."

            "Elo nggak perlu nggak tega sama gue, gue malah makin tersiksa kalo elo nggak ngomong yang sebenarnya," aku sedikit menggertak Nadya.

            "Tapi elo janji ya, nggak kenapa-kenapa?" Aku hanya menganggukkan kepala.

            "Tegar emang jarang nanyain elo, dia tau elo di rumah sakit karena gue yang kasih tau," kata sahabatku sedikit terbata-bata.

            "Tega bener si Tegar, emang selama ini yang dilakukannya itu apa? Sibuk?"

            "Dia emang lagi sibuk mau ujian akhir, tapi akhir-akhir ini gue sering liat dia sama Naya," volume suara Nadya berkurang.

            "Naya?!! Si Naya yang baru masuk beberapa bulan di sekolah kita itu?" Tanyaku dengan perasaan sesak. Nadya hanya mengangguk pelan.

            "Ternyata yang gue duga selama ini bener, udah waktunya gue mutusin dia."

            Aku merasakan perasaan yang sangat sesak dalam hati, seseorang yang selalu mengatakan cinta untukku, kini kepercayaanku terhadapnya telah dia hapus dengan tangannya sendiri. Entahlah, perasaan cintaku terhadapnya juga sudah semakin meluntur, kala aku menemui pujaan hatiku yang sekarang.

J L J

            Semakin hari ragaku memang berangsur sembuh, namun rasa sakit dihati ini semakin menebal seakan melemahkan ragaku yang berangsur sembuh itu. Entah, meski aku kini menaruh hati pada seseorang yang baru aku kenal, namun bayang-bayang Tegar masih melekat dihati ini, ketika aku melihat binar matanya aku merasa cinta itu tulus. Namun kini dia menodai sendiri kepercayaanku terhadapnya.

"Sayang, sudah hampir satu minggu kamu di sini, badanmu sudah enakan?" Tanya seseorang yang sudah mengorbankan segalanya untukku, namun membuatku  kesal karena perhatiannya kurang.

            "Entahlah ma, mama sendiri jarang nemenin Gadis di sini, sampai mama nggak tau kan gimana perkembangan kesehatan Gadis?" Jawabku dengan nada tidak bersahabat.

            "Gadis, maafin mama nak. Biar mama sibuk, tapi mama nyempetin nemenin kamu di sini kan?"

            "Taulah ma! Gadis pusing! Masalah Gadis itu banyak, mama sendiri nggak pernah mau tau!"

            "Selamat malam!" Tiba-tiba ada suara dari luar. Ternyata seorang pujaan hati.

            "Selamat malam!" Jawab mamaku.

            "Gimana, sudah baikan? Mau pulang kapan? Infusnya diganti dulu ya?" Tanya perawat itu sambil mengganti infusku.

            "Kalo besok Gadis sudah merasa badannya enakkan, ya mungkin akan pulang," jawab mamaku datar.

            Aku merasa senang andai aku besok bisa keluar dari tempat ini, namun ada sesuatu yang menyelimuti hati ini, yang membuatku enggan meninggalkan tempat ini.

            "O…begitu, kalo sudah keluar dari sini, jangan lupa dijaga kesehatannya jangan sampai kecapekan lagi," ia memberikan sedikit nasehatnya.

            Aku hanya menggangguk pelan.

            "Sudah malam, kalo gitu selamat istirahat ya Gadis semoga cepat sembuh. Selamat malam bu," Ia mengakhiri perkataannya dengan ucapan selamat malam sambil tersenyum ramah kepadaku dan ibuku, sementara aku dan ibuku hanya menggangguk sambil membalas senyum ramahnya.

J J J

            Pagi ini langit tidak secerah biasanya, hamparan yang luas itu hanya menampakkan kesendu muramannya dan menumpahkan segala beban yang dipikulnya, menjadi rintik-rintik air dengan suara yang terdengar alami dan menyejukkan hatiku yang terasa kering. Hari ini mungkin aku tidak jadi keluar dari rumah sakit, karena derasnya hujan yang membasahi kawasan kota paling besar di Jawa Barat itu, kota yang senantiasa menampakkan kesejukannya. Kini perasaanku mulai menampakkan kesesakan karena hadirnya seseorang yang selama ini aku harapkan, namun karena kelakuannya membuat hati ini berubah seratus delapan puluh derajat.

            "Maafin aku, bukan maksud aku ngebohongin kamu, aku sibuk buat persiapan ujian akhir," Tegar mencoba meluluhkan hatiku dengan wajah tanpa dosa dan membawa sebuket bunga. Bunga kesayanganku.

            "Sibuk ujian akhir? Dan baru bisa nengok aku, setelah aku mau pulang? Bukannya di sekolah kamu enak-enakan, karena udah ada penggantinya aku?!" Kataku ketus.

            "Maksud kamu apa?" Tegar pura-pura tidak mengetahui apa yang aku maksud.

            "Kamu pura-pura tidak tau? Teman-teman satu sekolah udah pada ngerti, kalo sekarang kamu deket dan mungkin udah jadian sama  si Naya!"

            "Si Naya? Kita berdua cuma temenan doang, nggak ada apa-apa kok."

            "Kamu masih mengelak? Semuanya itu udah pada tau termasuk aku, emang kamu pikir karena aku di rumah sakit, aku nggak tau?"

            "Ok! Aku akuin kalo aku deket sama Naya dan aku udah nembak dia, sekarang mau kamu apa?"

            "Aku hargain pengakuan kamu, tapi kamu udah bikin hati aku sakit, sekarang aku minta hubungan kita sampai di sini!"

             Tidak terasa mata ini mengeluarkan bebannya, beban yang mengucur deras seperti hujan dipagi ini diiringi kekecewaan di hati, mengapa dia yang aku banggakan kini harus aku lepaskan. Tanpa aku sadari disaat aku dan Tegar sedang berbicara, ada seseorang yang berjalan setengah berlari di depan rumah sakit tempat aku di rawat, dia menyusuri derasnya hujan dan masuk ke rumah sakit sambil membawa setangkai mawar merah yang basah karena hujan, langkahnya seperti tergesa-gesa. Sesampainya di rumah sakit, dia melepas jaket yang menutupi kepalanya, badannya basah kuyup terkena kucuran air hujan. Ternyata dia adalah perawat ganteng itu, dia menuju kamar perawatanku namun langkah kaki panjangnya terhenti ketika dia melihat Tegar sedang berbicara denganku. Dia mengurungkan niatnya untuk memasuki kamar perawatanku, dari raut wajahnya tertangkap kekecawaan. Entah apa arti kekecewaan itu, yang jelas kekecewaan itu seperti perjuangannya yang sia-sia.

L L L

            Langit mulai tersenyum kembali, ada satu kelegaan dalam hatiku. Kini Tegar tidak lagi membayang-bayangi aku dan siang ini aku akan keluar dari rumah sakit dan menjalani hari-hariku seperti biasanya. Namun ada sedikit kekecewaan di dalam kelegaan itu, aku tidak akan melihat perawat ganteng lagi, mengapa aku harus bertemu dengan dia pujaan hati yang mungkin hanya dalam mimpi.

"Dis, barang-barang kamu cuma ini? Yang lain mana?" Tanya ibuku yang sedang membereskan semua barang-barangku selama di rumah sakit.

            "Cuma itu doang kok, nggak ada yang lain," jawabku yang sedang duduk di ranjang dan sudah mengganti pakaian.

            "Kamu kenapa? Kok bengong? Mau keluar dari rumah sakit kok cemberut, kayak nggak seneng kalo kamu udah sembuh," ibuku menangkap raut kesedihan diwajahku.

            Aku hanya terdiam.

            "Sebentar lagi papamu mau menjemput kamu, dia juga minta maaf karena nggak bisa nemenin kamu selama kamu sakit, karena ada proyek di luar kota, tapi papamu selalu telpon mama nanyain perkembangan kesehatan kamu."

            Aku tidak mendengarkan kata-kata ibuku, aku turun dari ranjang dan bermaksud untuk beranjak dari tempat itu.

            "Eh, kamu mau kemana? Kamu baru sembuh Gadis," ibu heran dengan apa yang aku lakukan.

            "Gadis mau ke ruang para perawat dulu sebentar ma, ntar juga balik lagi ke sini, tenang Gadis nggak akan lama kok."

            "Tapi hati-hati ya nak!"

            Aku bermaksud menemui perawat ganteng itu untuk terakhir kalinya, aku ingin mengucapkan terima kasih karena selama ini telah membantuku. Namun aku tidak menemukan wajah ramahnya, aku hanya melihat seorang perawat perempuan keluar dari ruangan membawa setangkai mawar merah.

            "Permisi mbak!" Aku menegur perawat perempuan itu.

            "Ya, ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya ramah.

            "Perawat ganteng itu, maksud aku mas Tony ada?"

            "Oh, Tony. Dia nggak jaga siang, untuk minggu ini dia shift malam," jawab perawat itu mengecewakanku.

            "Shift malam mbak? Jadi dia tidak ada siang ini?" Tanyaku dengan nada lemah.

            "Dia memang bagiannya shift malam untuk minggu ini, tapi tadi pagi saya melihat dia ke rumah sakit entah tujuannya apa, yang jelas dia membawa mawar merah ini. Dia cuma menaruh mawar ini di mejanya lalu pergi lagi," Jelas perawat itu sambil menunjukkan mawar yang dipegangnya.

            "Dia tidak mengatakan apa-apa?" Tanyaku menginterogasi perawat itu.

            "Dia cuma bilang, katanya mawar ini buat salah satu pasien tapi sudah terlambat dan dia tidak mengatakan siapa pasien itu, katanya sih pasien itu mau keluar dari rumah sakit pagi ini, dan mawar ini sebagai kenang-kenangan buat pasien itu, tapi pagi tadi tidak ada pasien yang keluar, adanya juga mbak tapi mbak keluarnya siang ini kan? Aneh nggak biasanya Tony seperti ini, kayaknya pasien ini special. Namanya aja masih bujang usianya aja baru 23 tahun," jelas perawat itu panjang lebar. 23 tahun ternyata prediksiku salah. Aku berkata dalam hati.

            "Trus mawar itu mau dikemananin mbak?" Tanyaku.

            "Dibuang, daripada ntar layu, lagian saya nggak suka mawar," jawabnya santai.

            "Buat saya aja mbak kan sayang kalo dibuang saya suka mawar merah loh." Aku meminta mawar itu.

            "Ya udah deh, ini buat mbak. O ya, ada suratnya juga nih, belum dibuka. Buat mbak aja, siapa tau mbak pasien yang dimaksud," perawat itu memberikan mawar yang dipegangnya untukku.

            Apakah benar apa yang dikatakan perawat perempuan itu, benarkah ini bunga dari Tony untukku, mungkin surat yang aku pegang ini jawabannya. Aku mencoba membuka amplopnya, kubaca kata demi kata itu.

To Gadis….

                        Bila kegundahan hati datang melanda

Jadikan gundah itu indah dihati kita yang dapat mendatangkan   kebahagiaan

Seperti mawar ini….

Meski dia berduri namun tetap cantik dengan hiasan warna merah merona dan meski hanya setangkai semoga dapat menggantikan kegundahan hatimu menjadi kebahagiaan

Lekas sembuh ya Gadis manis……

                                                                        Tony Wira P.

Aku tidak percaya, ternyata mawar ini untukku. Aku sangat menyesal disaat aku terakhir kalinya di rumah sakit ini, aku tidak melihatnya. Ucapan terima kasih tak sempat kusampaikan, dan tidak mungkin aku menunggunya sampai malam, ku putuskan dengan hati yang berat, bahwa aku harus keluar dari rumah sakit, siang ini juga. Penyesalan kini menghinggapi sanubariku, meski tidak ada kata yang dapat kuterjemahkan sebagai arti cinta, namun nuraniku mengatakan ada cinta semu yang hanya dapat dimengerti oleh perasaanku. Cinta yang tidak semua orang dapat mengerti, atau hanya kepercayaan dalam diriku, aku tidak dapat menyimpulkannya. Setangkai mawar merah dari Tony lebih berarti daripada sebuket mawar merah dari Tegar. Sekuntum mawar merah ini akan aku simpan dan maknanya akan aku jadikan hiasan dalam hati. Tony Wira Prayoga, meski hanya sesaat namun mengukir kesan yang mendalam. Entah mengapa, langkahku sangat berat untuk kembali ke rumah.

SEKIAN

 

 

Tags

About The Author

robby 37
Ordinary

robby

opo wae sing ono ing alam iki sejatine iku ilmu
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel