WINTER IN EGYPT...... Part 9

13 Aug 2015 18:35 12484 Hits 223 Comments Approved by Plimbi

Janji setia Lintang dan Edward terukir di benteng Qaitbay Citadel. Seperti Antony dan Cleopatra. Akankah janji setia itu akan terwujud??

WINTER IN EGYPT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Winter in Egypt  Part 1
Winter in Egypt  Part 2
Winter in Egypt  Part 3
Winter in Egypt  Part 4
Winter in Egypt  Part 5
Winter in Egypt  Part 6
Winter in Egypt  Part 7
Winter in Egypt  Part 8

BAB IX

            Bergegas pagi itu, aku dan Edward memasuki mobil travel lalu meluncur ke Alexandria. Aku tak bisa tidur nyenyak semalaman karena sibuk dengan urusan hatiku sendiri yang sedang bahagia.  Aku tak ingin menebak apa yang akan terjadi hari ini di Alexandria. Mencoba menenangkan diri tanpa bertanya banyak hal ke Edward. Mataku mengikuti pemandangan sepanjang jalan. Namanya di Mesir, pemandangan yang kami temukan adalah padang pasir. Namun, tak sedikit aku dan Edward melihat lahan pertanian nan subur. Dari Cairo menuju Alexandria biasanya ditempuh dalam waktu 3 jam dengan kecepatan tinggi dan tidak menggunakan ritual macet. Keledai masih banyak dijumpai sebagai pengangkut hasil perkebunan seperti jeruk, tebu, dan lain-lain. Sebenarnya aku masih belum yakin kalau keledai itu sering membuat kesalahan yang kemudian menjadi simbol kedunguan. Walaupun wajah keledai memang seperti hewan yang terkena down syndrome. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam, kami pun beristirahat di tempat peristirahatan yang ada  fasilitas pom bensin, minimarket, toilet, serta tempat makan.

            “Are you ok, hon?” Tanya Edward ditengah istirahat. “Yes, Im ok hon.” Jawabku. “You looks tired.” Kata Edward sambil mengelus rambutku. “Did you sleep well last night?” Tanyanya lagi.

            “I can’t sleep well, because I think about us.” Jawabku apa adanya. “Why? Tell me.” Pinta Edward. “I feel really happy and shock about  what you’ve told me yesterday.” Jawabku tersenyum. “Ooohh… you make me worry.” Kata Edward tampak lega dengan jawabanku. “just Try to get rest in the car, until arrive to Alexandria.” Pinta Edward. “I will” Jawabku. Kemudian  Eddward menggandeng tanganku menuju mobil.

            Aku pun tidur dipundak Edward, mengikuti sisa perjalanan, hingga mobil tiba di Pompeys Pillar. Situs peninggalan romawi yang berbentuk tiang terbesar di luar kota Roma dan konstatinopel. Memiliki tinggi 25 meter dengan diameter 9 meter. Dinamakan Pompey karena mengira Pompey disemayankan ditempat ini, padahal beliau melarikan diri ke Mesir setelah kekalahannya dengan Julius Caesar. Pillar dari batu granit merah. Serta patung-patung disekitarnya dari granit hitam. Didepan tiang Pompey terdapat bathtub, pemandian suci zaman romawi. Kemudian dikiri kanan terdapat patung kepala manusia berbadan singa. Ditempat ini juga terdapat Serapeum, kuil tempat pemujaan dewa Serapi

            Udara dingin bertiup lumayan kencang, karena Pompeys Pillar memang terbuka. Kami berdua berjalan berkeliling komplek sambil sesekali berbincang ringan.  “Everytime we spent together with you make me feel happy.” Kata Edward. “Me too, I will be sad when back to Jakarta, without you.” Jawabku. “Don’t’ worry about it, I have plan for us after Egypt.” Edward tegas dengan rencananya. Ada kebahagiaan melebihi batas siang itu di Pompeys Pillar. Aku semakin melihat kesungguhan Edward dan ingin segera menelpon mama, WOi, dan Ajeng. “Im happy, hon.” Kataku saat Edward mengeratkan gengnggamannya. Usai dari Pompeys Pillar, kami segera menuju kota Alexandria.

Kota yang menjadi saksi cinta Antony dan Cleopatra, raja wanita yang terkenal cerdas, pintar, menguasai beberapa bahasa, sekaligus piawai dalam memikat hati laki-laki.  dengan suasana mediterania. Kisah cinta keduanya yang tak lekat dimakan jaman. Hingga Alexandria juga dijuluki sebagi kota yang romantis, sekaligus  menjadi kota kedua terbesar setelah Cairo. Didirikan oleh Alexander the Great. Raja dari Roma, sekaligus panglima perang yang terkenal kehebatannya dalam menaklukkan Negara-negara besar. Memasuki mesir 332 SM. Orang sering menyebutnya Alexndria atau Iskandariyah. Nuansa bangunan khas Eropa yang berwarna putih gading dan kecoklatan mendominasi sepanjang masuk kota Alexandria. Kehidupan masyarakat disini juga tampak berbeda dengan Cairo. Lebih baik dan mapan.  Alexander the Great selalu meninggalkan Negara jajahannya dengan menyisakan sebuah kenangan berupa bangunan atau kisah yang akan dilihat dan dikenang orang sepanjang masa.

Aku dan Edward menuju Qaitbay Citadel. Dulunya menjadi benteng Yang sangat penting untuk melindungi Mesir dan sepanjang  laut tengah. Benteng ini dibangun oleh Sultan Qitbay Al Zahiri. Sosok yang menyukai seni dan arsitektur. Sehingga bentuk benteng pun seperti castile yang indah. Aku dan Edward berjalan memasuki pelataran bentang yang luas, kokoh, serta menawan. Petugas keamanan lengkap tampak ada disudut-sudut strategis didalam benteng. Edward membimbingku berjalan keatas menuju benteng utama. Sangat cantik, seperti persembunyian rahasia milik putri dalam dongeng Cleopatra.

Berdiri di bagian belakang benteng langsung berbatasan dengan laut mediterania, menyaksikan bentangan laut serta kapal-kapal yang berlabuh dan pergi. Angina dingin kembali memainkan rambutku. Aku menyembunyikan tanganku ke lengan Edward. Membiarkan pikiran kami berimajinasi masuk kedalam peristiwa dahulu kala.

“Hon, do you know what Lintang’s means?” Tanyaku ke Edward. Edward memandangku dengan menawan, “What is it?” Tanyanya penasaran. “Lintang, means the stars. Hope I can light the dark sky.” Jawabku. “Aawww… very nice!” Edward menanggapi. “Ok, I can be the sky, so you will always have me.” Sambung Edward. “Sky in Indonesa called, Langit.” Aku menjelaskan. “Ok, call me , Langit, now.” Kami berdua pun tertawa mengeratkan hati. Bukan mengertakan genggaman lagi.

Tiba-tiba Edward merogoh sesuatu dari coatnya. Hatiku nggak karuan saat melihat kotak cincin berwarna hita, beludru. Jiwaku bergolak karena panic, aku membatin mudah-mudahan ukurannya pas dijariku. Padahal belum tentu itu isinya cincin dan belum juga itu untukku. Aku kembali mengatur nafasku untuk tenang dan tidak katrok. Edward membuka kotak hitam, dan benar, cincin berlian yang manis tampak anggun dikotak kecil itu. Ini bukan soal berliannya. Ini tentang kesungguhan cinta. Tapi siapapun wanita juga akan bersungguh-sungguh saat melihat berlian cantik dan mahal. Kakiku mulai berdiri kaku. Aku masih belum percaya kalau Edward akan melamarku di tempat exotic ini. Saat ia memegang tanganku, bak Antony hendak menikahi Cleopatra.

“Lintang, im Langit. Will you marry, me?” Edward melamarku sekaligus memberi cincin tanda keseriusan cintanya.  Aku tak kuasa lagi menahan mataku yang sudah basah. Wajah mama seolah hadir di benteng indah siang itu. “I do.” Jawabku bergetar, dan buliran bening membasahi pipiku. “I will always stand by your side, happy or sad, sick or healthy, poor or rich.” Janji Eward. “Thank you.” Air mataku makin deras. Aku tak kuasa lagi menjawab kalimat Edward. Edward menghapus airmataku,  lalu memkaikan cincin ke jari manisku dan memelukku erat. Edward mengikrarkan kesetiaan cintanya padaku. Aku berharap, kisahku tidak berakhir tragis seperti kesetiaan cinta Mark Antony dan Cleopatra.

“I will move to Asia soon, after we get married in Indonesia.” Kata Edward sambil menggandeng tanganku. “Yes, we have much time to see each other and  won’t be far from you.” Jawabku sekaligus mewakili Keinginanku. “Of corse, I can’t wait.” Jawab Edward memberi kepastian. “After marry in Indonesia, we will have party to Nevada too, with my family, and my friends.” Edward menjelaskan panjang. “How about in December?” Tanya Edward. “Im ready for it. And I will talk to mom.” Jawabku juga pasti. “I will come to Jakarta, after Egypt and see your mom.” Kata Edward.

Kemudian aku langsung menelpon mama sebelum menelpon orangtua Edward. Mama tak kuasa untuk bicara. Aku dan mama sama-sama terdiam. “Mama akan selalu ada buat kamu.” Kata mama haru. “Kalau kamu yakin itu pilihan hatimu, jalani dengan segala ketulusan.” Sambung mama. Aku mengerti apa yang diarasakan mama, antara bahagia sekaligus haru karena kami bertunangan sendirian di Egypt. suaraku dan mama juga sama terdengar parau. Sementara Edward memeluk pundakku dan menguatkan kalbuku. Edward kemudian bicara dengan mama, menyampaikan segala niatnya. Setelah itu kami berdua menelpon orangtua Edward. Hal yang sama terjadi, aku meliha kebahagiaan dari suara orangtua Edward.

“We will come to Jakarta soon and see your mom.” Kata mama Edward. “Please do.” Jawabku. “You can discus with Edward, now, when the good time for merry this year.” Pesan mama Edward. “I will.” Jawabku.

Setelah itu aku menelpon WOi, “Kamu sahabatku yang sekarang sudah dewasa.” Kata WOi. “Aku tidak ragu lagi dengan Edward.” Sambung WOi lagi. “Kamu sudah seharusnya mendapat yang terbaik dalam hiupmua.” Kata WOI dengan ketulusan. “Awwww” Jawabku.  “Yang penting kamu sduah tahu ukuran sepatu dan celana dalam Edward kan…“ WOi kembali bertanya, dan kami berdua terkekeh seperti biasanya. “Ukura CD Edward sudah tahu, tapi belum bisa memakai CD dia.” Jawabku cuek. Tawa kami tak terelakkan lagi. Jadi, hasil chat, happy ending nih…” WOi menggodaku.

Tak ketinggalan aku juga menghubungi  Ajeng. Tak peduli berapa aku harus bayar tagihan tilpun nanti di Jakarta. Ditengah tangisnya, Ajeng masih selalu menggodaku, “Udah, ahh… jangan nangis kan udah dapat berlian.” Kata Ajeng yang tak pernah kehabisa kalimat untuk meledek. “Ini bukan soal berliannya.” Jawabku mencoba membela diri. “Untung kamu ketemu Edward sehingga dapat berlian. Kalau ketemu terong, paling kamu dapat pulsa handphone doing.” Kata  Ajeng masih dengan suara paru. Lalu kamu tertawa berdua, lirih. “Pulang dulu, baru hamil. Jangan kebalik.” Ajeng kembali berceloteh. aku merasa kebahagiaan hari itu lengkap. Aku juga sudah tidak perlu mempermasalahkan lagi soal bebet, bobot, dan karebet. Edward membimbingku berjalan keluar benteng.

Aku dan Edward menuju perpustakaan yang terletak didepan laut Mediterania. Perpustakaan besar dengan atap dari kaca serta ditopang baja. Dihalaman depan masih ada kolam besar dan jernih. Bayangan gedung yang megah dan kokoh serta cantik bisa terlihat jelas memantul dari kolam. “Wow” Komentarku. “Really beautiful design.” Edward menambahkan.

Kami berdua lalu melangkah masuk perpustakaan yang termashur itu.  Banyak sekali pengunjung, baik orang local maupun wisatawan asing. Namun suasana didalam begitu hening. Mereka para pengunjung tahu apa yang harus dilakukan diperpustakaan. Membaca, menyimak, atau sekedar melihat koleksi buku, tanpa membuat gaduh. Menyimpan buku-buku bersejarah peninggalan masa lalu dari berbagai Negara, cukup banyak dan terkenal. Aku masih berdecak kagum dengan yang aku lihat, sambil mengikuti Edward melihat dan membuka beberapa buku, lalu kami diskusi sebentar dengan berbicara sangat pelan. Aku berusaha bisa mengimbangi pengetahuan umum yang ia milik, tanpa harus merasa bisa. Aku bertanya saat aku tidak mengerti. Membaca sudah menjadi kebutuhan bagi orang-rang seperti Edward. Didalam perpustakaan ini Juga ada galeri yang berisikan patung Socrates dan replica Caesar Augustus.  

“Someday we will come here again and only for read book.” Edward masih menyimpan keinginan dan kekaguman buku-buku yang di perpustakaan Alexandria. “Ya, we can do it.” Jawabku memastikan. Aku akan menjalani hidup bersama dengan Edward segera. Keyakinanku yang kembali melambung, kali ini aku tak peduli.

Usai memuaskan diri dengan buku-buku spetakuler di perpustakaan, aku dan Edward sengaja berjalan kaki menyisir tepian kawasan water front sepanjang boulevard Alexandria. Sepanjang pantai dibangun tembok kokoh sebagai penahan ombak. bersih sekaligus berbatasan dengan jalan aspal yang bagus. Menyatu dengan pejalan kaki lain serta remaja-remaja yang tengah bercengkerama dengan kekasih, teman, atau sekedar menikmati aroma pasir dan udara laut. Aku biarkan angin dingin menerpa wajah dan segala isi hatiku yang tengah memeluk ketenangan disamping kekasihku. Mobil travel mengikuti kami dari belakang, tak jauh. Tepat diseberang jalan berdiri hotel-hotel megah yang menjual keindahan laut Alexandria, romantisme, sera tempat peristirahatan raja Mesir.

Kebahagiaan kami berdua sedang bertumpuk seperti tumpukan roti naan yang tak pernah habis. Aku tak pernah tahu apa-apa, tiba-tiba aku merasa tubuhku terpelanting sangat keras oleh sebuah mobil. Dan hanya terdengar suara teriakan-teriakan panic orang-orang di jalan. Aku sempat melihat wajah Edward berlumuran darah sambil memgang tanganku dan memanggilku. “Hon, wake up. You will be ok. Im here for you.” Hanya itu yang aku dengar dari Edward. Setelah itu aku hanya melihat warna putih. Tak terdengar lagi apa-apa. Hanya sunyi dan putih.

 

APAKAH MASIH ADA KELANJUTAN ….?? MENUNGGU DULU KOMENTAR PEMBACA…

*****

Lanjut.... Winter In Egypt Part 10

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel