WINTER IN EGYPT... Part 2

28 Jul 2015 19:26 7252 Hits 138 Comments Approved by Plimbi

Pengalaman  lucu, membingungkan, vulgar, serta tipu daya, dialami Lintang dan sahabatnya Ajeng

WINTER IN EGYPT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut 
Winter in Egypt Part I 

 

BAB  II

            Kesibukan baru setelah jam kantor atau saat ada waktu senggang, yaitu chatting. Memasuki dunia maya yang berkaitan dengan tanda kutip pertemanan, seperti bermain games, atau menunggu lotre. Berbincang dengan orang-orang tak dikenal, beragam karakter, maksud, serta tujuan, tumpang tindih hingga susah membedakan lagi mana yang menggunakan topeng dan tidak. Yang dikatakan Woi hampir semua benar.  Orang dari luar negeri maupun dalam negeri, hampir mempunyai keseragaman kelakuan. Mengucap kata âSayang, Babe, Honey, Sweety, my life, dan sejenisnya.â Kemudian disambung dengan âI love you, I miss you, you are my life in next, you are my moon, dan lain-lain.â Menjadi pemanis sekaligus racun bagi wanita-wanita terutama Indonesia, yang rapuh dan tak mengenal belaian sayang. Tak salah kalau banyak sekali wanita single parents yang menjadi korban penipuan tubuh maupun materi.  

            âWhat are you doing my sweety and my lovely?â Sapa seorang chatter dari luar yang baru kenal 10 menit. âUntung mak gue nggak ikutan chat, bisa habis rumah warisan ini dijual, karena lovely.â Batinku mengomentari sapaan chatter tadi. âPlease switch on your cam babe, I want to see your face, I realy falling in love with you.â Pinta chatter yang sama. âKerjaiin dikit aahh..â Batinku.

âOk, I will switch on my cam.â Jawabku sambil menutup camera laptop dengan kain hitam. Setelah itu aku buka cam. Si mister kembali berteriak. âBabe, why your cam all dark?â aku tertawa sendiri. âAduuhh, mister⦠camera saya kebetulan kesumbat busa buat cuci piring, jadi gelap semua.â Batinku sambil merasa puas. Menebar no phone dan pin BB, bagai menebar jaring untuk mendapatkan keuntungan apa saja. Hanya kalau dengan orang luar, aku masih diuntungkan dengan latihan conversation.  

Memasuki hari ke 21, belum juga aku menemukan cowok seperti dalam dongeng di film-film holywood atau di novel. Aku lebih banyak menemukan cabe-cabean juga terong-terongan. Cabe-cabean itu istilah untuk gadis belia berumur 12 â 14 an yang suka keluyuran tak jelas. Sedang terongan itu istilah untuk anak laki-lakinya. Aku sudah mulai hafal karakter orang-orang diluar Indonesia, seperti India, Pakistan, Arab, Asia, London, dan lain-lain.  âI will see you soon, honey.â Katanya. âI will come to Indonesia, and we will live together, my life.â Sambungnya lagi. âIya, bang.. kesini aja bawa duit yang banyak, buat beli rumah, apartemen, dll..â Jawabku pakai bahasa Indonesia. âWhat are you talking about?â Dia bertanya. âIt means, I will really happy, love.â Jawabku. âDia pikir aku nggak bisa menipuâ¦â Batinku

            Lagi-lagi aku hanya bisa menepuk jidat saat bocah laki-laki terongan memintaku telanjang di depan kamera. Ini hanya penggalan dialog terong-terongan muda, âNggak apa-apa kan, aku panggil kakak, sayang..â Si terong memulai gombalannya.

 âHmmm..â Jawabku.

âSayang, sudah makan belum?â Kembali si terong membual dengan gaya orang dewasa. âKok aku kayaknya mulai jatuh cinta sama kakak sayang deh..â Sambungan bualan berikutnya.

âO ya⦠aduhh terimakasih sekali dedek..â Jawabku mencoba menyadarkan bualannya dengan aku panggil dedek.

âIya sayang, aku jadi horny, nihâ¦â Sambung si terong. âBisa nggak sayang buka baju didepan camera?â Permintaan terong yang sangat berani.

âMabuk minuman oplosan ini si bocah.â Didepan laptop aku mambatin lucu, sethupit, sekaligus aneh. âIni bocah sebaiknya gue kasih jempol kaki monyet biar puas.â Sambung batinku. âKalau chat room dipenuhi adek-adek terong begini.. kapan mimpi gue tercapai..?!â Sambung batinku.  âKalau nggak urusan rayuan, bugil, serta sex⦠urusan tipu menipuâ¦â Aku merasa prihatin melihat kenyataan di dunia maya. âMasa gue harus hamil didepan camera?!â aku masih membatin sambil kepalaku. âGini aja ya, Dek⦠adek pulang gih.. trus tidur sama mamanya, besok sekolah yang pinter.â Jawabku sekaligus mengakhiri chat.

Hal-hal seperti itu, tidak membuatku putus asa atau jengah. Aku bisa menghadapinya. rasa penasaran terus bergelayut dan meyakini, teori kemungkinan tetap berlaku. Bahwa masih ada cowok baik yang bisa aku temukan di dunia maya ini.

            Pantas saja, kalau banyak cabe-cabean dan terong-terongan sampai melarikan diri dari rumah, tidak sekolah, kemudian saat ditemukan si cabe-cabean sudah hamil. Merayu adalah senjata mereka. Saat logika sudah mati dan hanya mengandalkan rasa, maka melambunglah khayalan tingkat dewa, dan selanjutnya tinggal jatuh ketimpa tangga, setelah itu masih ketimpa lemari juga. Sudah di dunia maya, tapi juga masih menggunakan topeng, itulah dunia chat di net. Aku, Ajeng, dan WOi tiada berhenti berkomunikasi dan mendiskusikan hasil chat hingga hari ke 42. Kami bertiga saling meledek, mertawakan diri sendiri, namun juga semakin exiting.

            âMasa gue tiap malem suruh bugil didepan camera sama terong-terongan⦠bisa masuk angin gueâ¦â Ajeng membuka percakapan sore selepas pulang kantor  itu, sambil tertawa. Aku tidak bisa menahan untuk tidak tertawa.

âTrus rayuannya cuma bikin geli-geli, nggak bisa bikin ke puncakâ¦â Sambungku sambil tertawa berdua. âDipikirnya kita cabe-cabean umur 10 tahun yang gampang orgasme..â Sambung Ajeng lagi. âDedek-dedek kecil yang mau cari sex gratis, orangtua nya mana yaâ¦â Ajeng masih melanjutkan celotehnya. âMasa gue harus jadi orang tua asuh sekaligus netekin..â Ketawa kami berdua pun tak terkendali lagi. WOi, Cuma geleng-geleng kepala sambil senyum melihat aku danAjeng.  âBocah-bocah kecil, tumbuh bulu di penisnya juga belum, mau bercinta denga tante-tente gratis.â Kembali Ajeng ngoceh ringan tanpa expresi. Ketawa kami bertiga kembali ramai.

âHoney, I love you so much. Can you help me for send money to my mother? Today is my motherâs birthday. I want give her a beautiful gift. But im in Afganistan, now. So I canât send money to my mom.â  Aku menirukan gaya chatter yang hendak menipuku di net. Ajeng dan WOi sudah tak mampu lagi menahan tawa. Tawa kami bertiga lalu meledak. Aku dan Ajeng seperti menjadi kelinci percobaan untuk diri sendiri.  âLhakk, kepriben mas, nyong wae telanjang tiap malam didepan camera juga belum dibayar.â Aku menirukan jawabanku waktu chat dengan logat daerah Pemalang.

âKalau sampai 3 bulan, kalian belum dapat jodoh, laptop kalian bisa hamil.â Sambung WOi ditengah tertawa kami.

            Memasuki hari ke 56, waktu itu hari Sabtu pukul 05.00. Belum surut semangatku untuk chat, pagi-pagi sudah bangun, dan memulai ritual buka laptop. Kebetulan hari Sabtu kantorku  libur. Seperti hari-hari sebelumnya, sambil rebahan di kursi taman belakang rumah milik ibuku, aku mulai berbincang dengan orang-orang di dunia mimpi tak bertepi. Karena sudah paham dengan dunia maya, maka aku pun tidak menggunakan nama asli ku. Aku menggunakan nama Bulan, pagi-pagi itu. Ogah-ogahan aku menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta chat yang membludak. Sudah banyak para chatter bermain sinetron didepan camera computer di Sabtu pagi itu, sekaligus mencoba mendapatkan bonus, iseng-iseng berhadiah.

            Mata dan perhatianku tiba-tiba tertuju pada seorang chatter bernama Edward Peterson dari Nevada  yang menyapaku dengan gaya berbeda dari chatter lain. Kalimat pertama yang diketik chatter adalah, âHey, asl please.â Seperti sudah menjadi keseragaman tulisan atau memang tidak kreatif, aku tidak tahu. Tapi, satu ini ada yang lain, sapaan yang bisa dibilang cukup sopan dan tidak standart, umurnya 28 tahun.

            âHi, im Edward from Nevada, 28 years.â Kalimat Edward. âCan I know who are you?â Edward kembali menyambung kalimatnya.

            âHello, im Bulan from Indonesia, 25 years.â Jawabku. âOoh⦠very far..!â Jawab Edward. Obrolan semakin menarik menurutku. Edward banyak bertanya tentang Indonesia, Bali, dan lain-lain. Awal perbincangan yang menurutku menarik.

Aku semakin fokus Ke Edward.  Cara bicaranya mulai membuatku bercemas ria, salah tingkah, berdebar-debar, dan senyum sendiri. Jari-jariku menjadi berkeringat dingin mengetik kalimat demi kalimat.  Aku sudah tak menggubris chatter lain, semua aku tutup. Obrolan demi obrolan mengalir dengan alamiah, enjoy, bertukar pengalaman dengan wawasan luas, tanpa sedikitpun ada rayuan gombal. Canda tawa ringan mengiringi sepanjang adegan chatting. 

Aku mencoba mengingat pesan dari WOi untuk tidak hanyut pada obrolan pertama. Namun tidak mudah. Edward cukup menyita minatku hingga belum ingin berhenti berbincang dengannya. Dan yang lebih menyenangkan, sepanjang chatting dengan Edward, tidak ada gangguan disconnected. Tak terasa, 4 jam aku dan Edward berbincang tanpa merasa lelah. Tak peduli laptop sudah berteriak karena kepanasa. Hingga sebelum mengakhiri chatting, Edward memintaku untuk datang di chat room yang sama, setelah tujuh jam terhitung dari kita berdua berhenti, karena perbedaan waktu sebelas jam lebih dengan Nevada.

*****

            Aku masih terdiam didepan laptop yang sudah mati. Hatiku bergejolak, nafasku berdegup cepat karena rasa gembira. Aku langsung menghubungi WOi yang masih belum bangun. WOi menyahut dengan nada yang masih kantuk dan malas.  Aku tak peduli, dan tetap bercerita tentang Edward dengan semangat menggebu.

            âBaru obrolan 4 jam pertama, sudah blingsatan kayak orang mau lahiran.â Komentar WOi. âTenang dulu, masa percobaan tiga bulan, mbak..â Jawab WOi tegas sekaligus bercanda. âBelajar stay cool⦠seolah kamu nggak butuh, walaupun kamu sudah haus belaian kayak kucing..!â sambung WOi lagi. Tidak ada kesempatan buatku membela diri. âSemua aturan masih harus ditaati! Gue mau lanjut tidur lagee.â Begitulah WOi. Tak ada guna dan sia-sia saja buatku berbagi hati yang tengah bersuka dengan WOi pagi itu. Aku hanya bengong seperti kambing bego usai menutup tilpun. Mau tilpun Ajeng, juga dia pasti masih molor.

            Aku lalu mengatur nafasku sendiri, mencoba tenang dan tidak terburu-buru, mengikuti nasehat WOi. Menunggu waktu tujuh jam untuk ber chat ria dengan Edward, dengan mandi, baca, santai, minum sampai kenyang dan tidur. Aku juga tak ingin pergi kemana-mana hari itu. Hanya ingin chat dengan orang bernama Edward.

            Jam yang aku tunggu tiba. Hatiku berdetak kencang saat menyalakan laptop. Aku lihat, Edward belum online. Dua menit kemudian, Edward pun sudah menyapa dengan memanggil namaku, Bulan. Chat kedua dengan Edward suasana lebih cair, berbincang tanpa beban, sama-sama menggunakan logika untuk mencerna diskusi yang saling dilemparkan. Dari sini, secara tak langsung Edward  mengajariku untuk tidak cepat menebar rasa GR di dunia maya. Rasa yang bisa merugikan diriku sendiri, kalau tidak diletakkan dengan benar. Aku mulai bisa mengatur emosiku dengan baik dan tenang.

            Begitulah hari-hari berikutnya. Aku dan Edward selalu berjanji untuk bertemu di dunia maya dengan jam yang kami tentukan sendiri. Rasa ingin tahu tentang pribadi dan kesibukan serta pekerjaan masing-masing mengalir dengan apa adanya. Keterbukaan otomatis mengikuti komunikasi yang terjalin dengan baik. Sama-sama masih single. Edward sudah tahu nama ku yang sebenarnya. Harapanku menemukan cowok seperti kisah film-film roman holywood semakin menggelora dengan teori kemungkinan. Tak ada lagi cerita tentang dedek-dedek terong di chat room. Sudah aku tutup. Satu bulan sudah, aku dan Edward berada dalam permainan dunia maya yang penuh misteri sekaligus menyenangkan. Kami seperti sama-sama menahan untuk tidak saling bertukar photo atau membuka camera. Kami bangun dulu  rasa nyaman dengan berkomunikasi.  WOi dan Ajeng selalu menerima laporanku tiap hari. Mereka berdua mulai serius mengikuti perjalanan chat ku dengan Edward.

            âSaatnya, kamu boleh GR dikit aja, Linâ¦â Kata WOi. âJangan banyak dulu melambungnya, kalau jatuh kamu bisa matek.â WOi menambahkan ringan.

            âKita tetep belum tahu Edward, gue Cuma khawatir dia homo.â Ajeng menambahkan. âTapi Gue ikut deg-degan juga sih..â Kata Ajeng. Aku hanya senyam-senyum, sekaligus berharap-harap cemas menunggu yang akan kulalui selanjutnya. Aku tidak boleh terlalu senang, sedih, atau meledak. Positifnya, aku bertukar cerita tentang Nevada, dan lain-lain.

            Memasuki bulan ke dua pertengahan, tak berkurang sedikitpun komunikasi dengan Edward, meskipun masih lewat chat. Kantuk sering terkalahkan oleh gejolak rasa ingin ngobrol. Logika kami berdua mulai sedikit  terkikis dan terkalahkan  karena ketergantungan. Tak ada hari tanpa memberi kabar, meskipun hanya meninggalkan pesan lewat chat room. Malam itu ditengah kelelahan habis dari kantor dan kurang tidur,  âCoba malam ini Edward kirim photo, ngantuk gue pasti bablas ilang.â Aku membatin. Saat kepalaku hampir jatuh di atas laptop karena kantuk tak bisa lagi diajak mufakat, tiba-tiba Edward mengirim photo dirinya.

Terbelalak mataku bagai disiram air es, melihat wajahnya yang ganteng. âOh, my God.. ganteng banget..â Bisikku sambil melongo. Aku kebingungan salah tingkah dan salah kaprah nggak karu-karuan seperti belum pernah liat orang ganteng. Aku pelototin lagi photo Edward yang tersenyum mempesona. Jemariku bergetar mengetik balasan terimakasih hingga salah ketik. Aku seperti orang katrok dan ndeso. Padahal bisa saja itu juga photo orang lain. Masa bodoh. Aku sudah bisa membayangkan tingginya sekitar 172cm dan berat sekitar 67kg.

            Aku minum air putih didekatku untuk menenangkan diri, namun tak konsentrasi, dan tersedak hingga batuk-batuk. Sempurna sudah kepanikanku, gara-gara foto Edward yang sudah aku tunggu sepanjang hampir dua bulan. Aku menarik nafas panjang dengan hitungan sepuluh, lalu melepasnya. Perlahan mulai tenang. Obrolan kembali mengalun sejuk karena photo Edward. Namun dia tidak meminta aku untuk mengirim photo balik. Sambil terus berbincang, aku berharap Edward miminta aku mengirim photo untuknya. âAyo dong, Edward minta pic aku⦠kenapa sih harus gengsi..?!â Batinku bergemuruh.

Akhirnya dengan kesadaran penuh dan waras serta cool, aku memberanikan diri mengirim gambar ku ke Edward. Karena wajahku juga lumayan menarik, dengan tinggi 160cm, berat 56kg, dan rambut panjang, aku sedikit percaya diri, tidak perlu menipu pinjam photo orang lain. Semua diluar dugaan, âWow⦠you looks very beautiful and smart!â Kata Edward memujiku. Walaupun aku belum tahu pujian itu tulus atau tidak, tapi, sudah cukup membuatku lega. Aku menyimpan photo Edward malam itu dan langsung aku kirim ke WOi dan Ajeng. Aku tahu Ajeng pasti langsung pingsan melihat photo Edward. Bahkan bisa jadi temanku Ajeng orgasme malam itu.

Hari-hari berikutnya, hubungan ku dengan Edward semakin memberi rasa semangat yang berbeda. Semua cerita tentang masing-masing terangkai menawan. Dari kesibukan pekerjaan, sampai kelelahan dan sakit karena jam chat yang melampoi batas menjadi perjalanan unik. Aku selalu membuka photo-photo Edward saat senggang, dan pasti akan tersenyum sendiri. Rasa berdebar yang berbeda, terus mengikuti dan berkembang sepanjang hari. Apalagi saat chatting dengan Edward. Tapi tetap ada yang menggantung dibenakku tentang sosok Edward.

            Ada rasa gemas menunggu Edward yang tak kunjung meminta nomer phone ku, sementara bulan ke 2 hanya tinggal satu hari lagi. âMasa dia nggak punya phone..â Batinku menunggu dengan tak sabar. âKalau liat semua picnya, dia terlihat mapan.â Aku membatin ragu. Chatting memasuki bulan ke dua pun terlewati tanpa berbagi nomer phone. WOi dan Ajeng mulai ikut berdegup menunggu jalan cerita berikutnya. Tapi WOi  masih belum berkeyakinan dengan Edward, walaupun aku sudah boleh berharap banyak dengan teori kemungkinanku.  

            âPositif thingking aja, Lin⦠siapa tahu dia sedang menguji sesuatu.â WOi membesarkan hatiku dengan pemikirannya.

Edward, memang masih membingungkan ku sekaligus membuat rindu. Aku mengikuti saran WOi untuk tetap positif thingking  menghadapi semua. Hal terburuk, seburuk-buruknya sudah aku siapkan andaikan tidak berjalan seperti di film-film roman holywood. WOi dan Ajeng tiada berhenti mendampingiku dan memberi support.

            Menjalani bulan ke 3, photo Edward sudah cukup banyak tersimpan di memory card hand phone ku. Demikian juga, dengan photo yang sudah ku kirim ke dia juga sudah sama cukup banyaknya. Aku sudah bercerita ke Edward tentang WOi dan Ajeng sahabatku.  Rasa kesal sekaligus penasaran terus memberondong hatiku, karena Edward tak kunjung bertanya nomer phone ku. âIni maksudnya apa, sihâ¦?! Masa dia nggak pingin denger suaraku?!â Batinku. Aku coba pancing dengan cara sehalus sutra, tetap tak bergeming. Mungkin memang sifat wanita, pada dasarnya tidak sabaran. Cenderung mau cepat. Kalau hasilnya tidak maksimal dan tidak seseuai yang diinginkan, baru menyesal dan bikin drama tangisan bawang Bombay. 

            Aku memilih tidak mau ada drama dengan tangisan jenis bawang. Mencoba untuk tetap cool. Chatting berjalan seperti biasanya. Dan sedkit mencoba untuk tidak berharap bertukar no phone. Saat aku sudah bisa menikmati kesabaranku, tiba-tiba Edward minta nomor phone  ditengah obrolan kami. âOh my God⦠dia minta nomor phone ku.. God.. thank you..â Batinku terbang. Tak berpikir panjang lebar ataupun luas, dan tak ingin sok jual mahal, aku kasih no phone ke Edward. Dua menit kemudian, hp ku bergetar, aku terperangah melihat seseorang menelponku dengan kode wilayah (+702) diikuti nomor tilpun yang tak kukenal. Aku segera angkat, dan mati aku! Hampir tak percaya, Edward menelponku dari Nevada. Awalnya sangat kikuk, grogi, jidatku juga berkeringat. Aku jalan mondar-mandir tak jelas, hingga kakiku kebentur ujung meja di kamarku.

            âHi, glad to hear your voice, Lintang.â Suara Edward membuat hatiku kacau balau. kembali aku menarik nafas, kali ini hanya dengan hitungan ke tiga, lalu aku menjawab sapaan Edward. âHello, nice to hear your voice too, Edward.â Aku mulai tenang. âHow are you?â sambungku.

            âIâm good, howâs your day?â Jawab sekaligus Tanya Edward. âEverything is ok, here. Thank you for calling me, ya..â Ucap ku berterima kasih.

            âIts ok, no need to say thank you.â Jawab Edward. âIâm sorry for take a long time to call you, hereâs a thing, I want to enjoy this connection  that we have, no drama or something that will bothering us, Lintang.â Hampir tak kuasa aku menjawab penjelasan dari Edward. Bahkan untuk memegang hand phone ku aku seperti tak mampu. Mungkin perasaanku terlalu lebay, tapi inilah kenyataannya.

            âDonât be sorry, Edward. Iâm really appreciate thatâ Jawabku spontan. âIm happy, almost three months we have been chatting, and I feel like everything going just wellâ Sambungku. Aku dan Edward lalu sama-sama tertawa. beberapa menit kemudian pembicaraan lewat tilpun selesai. Hatiku bergejolak tak karuan, tiada yang bisa menandingi kegemberiaanku di hari Sabtu siang itu. Aku joget-joget sendiri, mematuk matuk diri di depan cermin. Dan tak lupa menyimpan nomer kontak Edward. Suara beratnya, masih menggema ditelingaku. Ungkapan-ungkapan senang, tak bisa disembunyikan lagi antara aku dan Edward saat melanjutkan chatting. Selanjutnya, aku mempunyai harapan besar dalam perjalanan dengan Edward berikutnya.

            Masih di hari yang sama, aku bertemu dengan WOi dan Ajeng usai chat dengan Edward. Di tempat ngopi seadanya. Tak penting rasa kopinya, yang terpenting aku bisa mengungkapkan rasa tak karuan pada dua sahabatku ini.

            âEdward tilpun gue dari Nevada, menjelaskan dengan gentle dan dewasa.â Kataku pada Ajeng dan WOi.  âGimana hatiku nggak melayang diatas awan..?!â Aku bertanya sekaligus memberi pernyataan pada dua sahabatku. âLulus kan, WOi, ujiannyaâ¦!? Tiga bulan man.!â Sambungku dengan rasa suka. âBiarpun belum jelas arahnya kemana, tapi paling tidak pergerakannya maju dengan baik.â Aku menjelaskan pada WOi dan Ajeng yang masih menatapku tajam. WOi manggut-manggut tanda setuju dengan pendapatku.

            âBerikutnya, kamu jangan mengharapkan pernyataan cinta dari Edward.â Kata WOi tenang. Aku menatap WOi  dengan pandangan bingung. âTapi kamu lihat saja perhatiannya ke kamu.â Sambung WOi lagi. âOrang asing model Edward biasanya tak suka mengungkapkan cinta, tapi lebih memilih memberi perhatian.â WOi menjelaskan lagi. âSekarang tinggal kamu pilih, bertebaran ungkapan cinta yang gombal, atau perhatian yang mengungkapkan cinta.â WOi tersenyum menatapku. Aku tak kuasa untuk memeluk WOi sahabatku yang sangat baik dan pengertian. Sedangkan Ajeng masih bengong seperti domba kebingungan di padang pasir.

            âNah, gue tiga bulan cuma dapat terong-terongan.â Kata Ajeng dengan tampang tenang tak berdosa. âKayaknya, chat bukan jalanku, jadi aku harus cari cerita roman di dunia nyata didepanku.â Sambung Ajeng dengan mimik lucu. Kami pun kerkekeh siang menjelang sore hari itu.

*****
 

Baca Part selanjtunya ---> Winter in Egypt Part III

 

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel