WINTER IN EGYPT... Part 4

2 Aug 2015 16:47 6817 Hits 138 Comments Approved by Plimbi
Lintang harus menerima hal yang tak terduga dari Edward. Semua sudah dianggapnya usai. orang-orang tercinta tetap ada mendampingi saat ia harus merangkak bangundari mimpinya. Benarkah Edward telah meninggalkannya? Kemanakah Edward menghilang? 

WINTER IN EGYPT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut 
Winter in Egypt Part I 
Winter in Egypt  Part II
Winter in Egypt  Part III




BAB  IV

Aku sengaja menahan cerita pada WOi ataupun Ajeng. Detik, jam, hari aku lalui dengan tersenyum dan tersenyum. Impianku tentang kisah romantic film-film holywood tak mampu lepas dari pikiranku. Bayangan wajah Edward dan segala yang akan aku lakukan di Egypt nanti sudah tergambar dalam benakku. Aku menyanyi senang saat di mobil, mematuk diri didepan cermin saat terima pesan pendek dari Edward, berdandan cantik, agar saat skype aku terlihat menarik. Kalau cermin itu bisa bicara, pasti dialah pihak yang sangat diuntungkan. Aku merasakan Edward juga senang, dengan rutinitas messagenya yang makin meningkat. Seperti voting suara. Bahkan aku dengan percaya diri sudah membeli baju hangat untuk persiapan musim dingin di Egypt.

Printilan untuk persiapan bertemu Edward terus aku siapkan dengan lebih percaya diri. Aku juga mencari informasi harga ticket untuk ke Egypt. Persyaratan perlengkapan visa sudah aku siapkan dengan semangat tinggi, tinggal menunggu konfirmasi tiket, kemudian ke kedutaan Cairo.

Tapi, ada yang sedikit mengganjal. Ada keraguan di wajah mama. Walaupun mama mencoba tersenyum senang dengan hari-hari yang aku lalui. Ada kekhawatiran yang disembunyikan mama. “Yang mama pikirkan apa?” Tanyaku.

“Hmm.. ya.. banyak.. kalau Egypt itu dekat, mama nggak khawatir.”Jawab mama. “Kalau Edward kurang ajar bisa tak kamplengi.” Sambung mama. Aku tertawa mendengar kalimat mama. “Disana kamarnya juga misah, ma…” Jawabku menggoda mama. “Kamarnya pisah, tapi turunya barengan, piye?” Debat mama santai, aku tertawa dengan cara bicara mama. “Ya, Edward nya, ganteng gitu ma… apa mampu aku untuk sendirian di room.. ” Jawabku juga santai. Mama tertawa. “Yo wess lah.. yang penting ditampungnya jangan didalam.” Sambung mama tersenyum menggodaku. Aku tertawa ngakak dengan cara mama menasehatiku. “Iya, ntar aku taruh dikaleng krupuk aja, ma.” Jawabku. Kamu terkekeh berdua. Aku memahami semua nasehat mama, walaupun disampaikan dengan bercanda.

Setelah hampir dua minggu aku mengumbar jiwaku di angkasa paling tinggi, dan tiket dari travel sudah ada, aku baru bercerita pada WOi, dan Ajeng. WOi diam saat aku bercerita tentang rencana Edward. WOi punya pemikiran yang sama antara exiting sekaligus ragu. Dia memilih menasehatiku untuk tetap tenang dan stay cool. Sedangkan Ajeng seperti biasa, selalu heboh. “Jangan lupa bawa kondom, dari pada kamu hamil dengan chatter.” Nasehat Ajeng meledek. “Daripada tumpeh-tumpehh…” Sambung Ajeng. “Yang tumpehhh susu nya kalii..” Jawabku. Kami bertiga kembali terkekeh. Hatiku mencoba menarik kegemberiaanku dari langit tinggi ke langit level tiga karena keraguan mama dan WOi.

*****

 

            Hari itu, genap delapan bulan pertemuanku dengan Edward. Aku bangun pagi dengan segudang rasa tiada tara, seperti mutiara. Membuka hp, membaca message dari Edward, sudah menjadi ritual tiap pagi. Aku merasa ada yang aneh, karena tidak ada message dari Edward yang aku terima. Aku coba restart hp ku, tetap tidak ada pesan masuk. Ada yang mengusik hatiku ingin menghubungi dia, tapi aku tahan. Usai mandi, kembali aku meraih phone yang tergeletak di meja, Edward belum juga mengirim kabar. Aku memilih menelpon Edward agar  kegundahanku tidak semakin menjadi. Dan, hanya pesan operator dalam bahasa Inggris yang menjawabnya. Berulang aku coba, lagi-lagi opertator laki-laki yang menjawab. Aku tak bisa berfikir apa-apa, saat phone Edward ternyata mati. Duduk tak berdaya di kursi depan meja biasa chat, aku seperti orang linglung. Ribuan tanya memenuhi pikiranku, mulai yang terjelek sampai mencoba tetap positif thinking. Jam terus bergeser ke siang dan sore. Edward tak kunjung mengirim kabar.

            Mama mengetuk pintu kamar ku, karena aku belum keluar kamar dari pagi. Berusaha tenang mendekatiku, saat melihat aku bersandar di kursi dengan tubuh, hati, serta pikiran yang sudah tak berdaya.  Mama menyandarkan kepalaku diperutnya sambil berdiri. “Mau berbagi dengan mama?” Tanya mama pelan. Aku menceritakan semua dengan suara parau. Berulang, mama menarik nafas panjang. Semakin erat memelukku. “Tetap positif thinking dulu, supaya energy kita tidak habis.” Kata mama menasehatiku. Sore sudah berganti malam. Aku seperti berada di penghujung waktu tanpa batas, saat sehari tak terhubung dengan Edward. Mama membuatkanku teh manis dan susu, serta tak ingin memaksaku untuk makan dan  menemaniku sepanjang malam.

            Mama menunjukkan album, saat mama masih remaja, aku melihat kecantikan dan ukuran badannya masih sama. Aku diam saat melihat foto pernikahan mama dan ayahku. Senyum kedua orangtuaku itu tampak bahagia. “Mama tidak membenci ayah?” Tanyaku. “Kebencian hanya akan menguras energy positif kita.” Jawab mama tenang. Aku pindah duduk dipangkuan mama.

            “Bagaimana awal mama menjalani semua, setelah perceraian dengan ayah?” Tanyaku memandang mama. “Mama harus bersikap matang, semakin kuat dan mandiri, hanya sesekali menengok ke balakang.” Jawab mama tegas. “Live must go on.” Sambung mama. Aku menatap mama dalam. Mencoba berpikir jernih. Mama menjalani semua jauh lebih berat karena kelakuan ayahku. Sementara aku yang baru sehari tak terhubung dengan Edward, rasanya semua seperti runtuh. “Mama hebat.” Kataku pada mama. “Mama akan merasa hebat, kalau anak mama berhasil melewati ini.” Mama memelukku erat, segala kasih dan kejujuran tercurah malam itu. Kembali, aku tertidur dipelukan kasih mama.

*****

            Mama sudah membuka jendela kamarku. Matahari belum muncul. Udara segar memasuki ruang kamarku dengan aura yang mulai berbeda.  Mama menggoda dengan menyodorkan hp ke aku, “Mau check sms lagi?” Tanya mama. Aku tersenyum dan mengambil hp dari mama. Berdebar aku mengecek sms dari Edward. Namun, tak kudapati juga. Aku menggeleng sambil menatap mama. Aku mencoba cek email, juga tak ada pesan masuk dari Edward. Aku menunduk sesaat, mencoba menerima dan mempersiapkan hal terjelek. Menyadari, tiga perempat dari diriku dan Edward masih berada di dunia maya. Hanya seperempat yang masih nyata dengan intensnya komunikasi.

            Usai mandi, mama tersenyum melihatku duduk di meja ruang makan. “Ternyata lapar juga, ya…?!” Tanya mama menggoda. “Iya, ma. Cinta tak bisa membuat kita kenyang.” Jawabku mencoba menghibur diri. “Jadi, kamu pilih cinta apa makan?” Tanya mama memojokkan. “Hmm… aku pilih cinta yang nggak membuatku lapar.” Jawabku. Mama tertawa sambil menyodorkan omelet kesukaanku. Baru satu suapan, WOi dan Ajeng sudah muncul diruang makan. Aku membatin, pasti mama menelpun mereka berdua.

            WOi menatapku penuh sahabat, lalu mengelus kepalaku. “Kita tunggu sampai besok.” Kata WOi. Aku menatapnya. “Sekarang jangan berpikir apapun. Kalau sampai Selasa belum ada kabar, baru kamu berpikir tentang selanjutnya.” WOi menepuk pundakku, lalau duduk dan menyantap omelet buatan mama dan roti. “Dengerin WOi, aja deh… aku nggak bisa kasih pendapat.” Kata Ajeng. “Kalau aku yang ngalami. paling sudah mewek sambil gulung-gulung.” Ajeng masih berkomentar sambil menguyah roti.  “Mas Edward, kalau pergi pamit dong… jangan bikin ati ini ambruk..” Masih santai Ajeng mencoba menghiburku. “Masa harus balik cari terong-terongan di chat buat ganjal celana dalam.” Kali ini, aku tak bisa nahan ketawa dengan ulah Ajeng sahabatku.

            Aku sudah lebih baik menata hatiku karena orang-orang terdekat yang selalu mencintaiku. Hari itu pun, aku mencoba melewati jam dengan berdebar menunggu sms dari Edward. Sms yang masih tak kunjung datang. Malam ke dua berlalu dengan kosong. Hatiku menjadi hampa. Aku hanya memutar hp yang tak bersalah diatas kasur sambil tengkurap. Mataku menatap baju hangat yang tergantung didekat lemari yang sudah aku beli. Buliran bening mulai membasahi seprei. Janji keindahan dari Edward untuk bertemu di Egypt, masih aku simpan dalam hatiku. Aku baca berulang kalimat-kalimat Edward dari hp, yang membuatku senang hingga hari itu. Aku tak yakin mampu melewati hari ke tiga esok dengan kekuatan baik. Aku yang biasanya guling-guling bahagia, kini bisa jadi gulung-gulung seperti kue dadar gulung.

Berangkat ke kantor hari Senin pagi diantar mama, aku hanya diam. Badanku agak demam karena energiku mulai habis. Hari ini, memasuki hari ke tiga Edward menghilang. Aku mengikuti nasehat WOi, menunggu tanpa tahu harus berbuat apa. Di kantor juga tak tahu apa yang aku kerjakan. Semua seolah berhenti. Pikiranku buntu. Tak sedikitpun aku bisa fokus. Hp aku bawa kemana-mana, hanya menunggu berita dari Edward. Sampai ke toilet aku juga bawa hp. Siang, lalu sore pun berlalu dengan hampa. Aku mulai pasrah, menarik nafas panjang dan mencoba melangkah pulang dengan sisa kekuatanku.

Duduk diam disamping mama yang menyetir, mataku menerawang jauh, memandang sunyi kearah hiruk pikuk jalanan. Senja sedang turun bersama sorot lampu jalan, mobil, rumah, maupun gedung-gedung. Jiwaku semakin lusuh. Tapi, aku harus menerima semuanya. Kehadiran Edward dalam hatiku lewat dunia maya, sudah mampu membuatku senang. Kalau sekarang harus berakhir hampa, tak ada yang harus disalahkan. Sudah cukup menjadi bagian cerita dengan keluargaku nanti. Aku juga tak perlu menjadi bodoh untuk hal ini. Karena semua sudah terlanjur. Aku merasa yang kena tipuan di chat pasti juga banyak. Aku tak sendirian. Jadi sesama korban penipuan jangan terlalu mabuk duka. Aku juga tak perlu malu dengan baju hangat yang sudah kubeli.

Aku tersenyum menatap mama yang ikut diam. “Sudah selesai semua, ma…” Kataku. “Aku harus bangun.” Sambungku. Mama menggenggam jemariku sambil masih menyetir. “Jadi, kita ke Egypt berdua cari Edward yang lain, nih…” Goda mama terkekeh. Aku menatap mama, “Iya boleh, sayang baju hangatnya kalau nggak dipakai.” Kami berdua tertawa, aku menertawakan diri sendiri, lalu menggelitik mama. “Akhirnya, aku ketipu juga dengan madu yang terlalu manis.” Mama masih tertawa. “Madu yang terlalu manis itu memang biasanya palsu.” Jawab mama.

Ajeng menelponku hanya memastikan aku masih waras. “Kita beli aja gambar Pyramid trus kita pasang dikamarmu.. gimana..?!” Suara Ajeng ditilpun membuatku tertawa. “Iya, ntar kepala Firaun, diganti sama kepalamu.” Jawabku.  “Trus singanya diganti macan tutul Sumatra.” Tertawa kami berdua membuat aku semakin kuat. Masih ada orang-orang tercinta disebelahku.

*****

Masih penasaran... ? Baca selanjutnya di  Winter in Egypt Part 5

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel