Jose Mourinho, Wangsit, dan Tontonan Bohay

1 Jun 2016 18:20 8931 Hits 0 Comments

Wangsit dan Tontonan untuk Jose Mourinho

Belakangan, jagat sepakbola republik ini diramaikan oleh Jose Mourinho. Suksesor si kulit bundar dari Portugal itu mau diangkut oleh Menpora ke Gelora Bung Karno. Alhasil, karena niat Imam Nahrawi itu nama Mourinho semakin jadi buah bibir di tanah air kita, yang memang ia selalu menjadi buah bibir di mana-mana.

Namun, pelatih pengangguran usai ditalak kedua kalinya oleh Chelsea itu, menggelengkan kepalanya atas niat baik menteri berkumis hitam kita (kalau Imam Nahrawi berkumis ubanan, mungkin Mourinho mau. Sebab, sesama orang ubanan dilarang saling menolak, Kang, ha-ha). Mourinho masih ingin duduk di kursi panas Eropa, khususnya di tanah Britania. Ia ingin mengetahui rasanya ditendang dari Teater Impian Old Trafford (mudah-mudahan tidak ditendang seperti Louis van Gaal ya. Mudah-mudahan pisahan baik-baik setelah tiba waktunya pisah).

Sungguh-sungguhkah Mourinho menolak karena alasan itu? Entahlah. Yang pasti, Mourinho adalah sebagaimana playboy hendak udahan dengan wanita-wanita yang dikibulinya: pandai menghadiahkan berkarung-karung alasan (Mourinho memang pandai membuat alasan terutama saat tim yang dikomandoinya kalah atau menang lewat taktik memindahkan gedung parlemen ke mulut gawang, ha-ha). Yang tidak pasti, Mourinho bisa jadi tidak ingin memperoleh wangsit ketika menterinya Jokowi yang ngurusin pemuda dan olahraga menggelontorkan wacana peminangan itu.

Nah, itu dia masalahnya, Gas, Mourinho gak benar-benar tau kalau di dunia ini ada wangsit. Kalau Mou tau, sudah pasti ia akan mau. Kenapa? Karena dengan melatih timnas kita, Mou berpeluang sangat besar mendapatkan wangsit di samping peluang sangat kecil untuk memperoleh trofi—yang jangankan di tingkat kejuaraan dunia, di level Asia Tenggara saja kita dikangkangi Malaysia.

 

Wangsit dan Tontonan untuk Jose Mourinho

Apa pula wangsit yang akan didapat Mourinho bila ia melatih timnas kita? Pokoknya ada dan sangat bohay. Di antaranya, Mourinho akan memperoleh tontonan yang tidak akan ditemui di Eropa. Yakni, (melatih) dan menonton pertandingan sepakbola sekaligus menonton federasi sepakbola kita bertanding dengan pemerintah yang diwakili tim Menpora. Itu pun belum lagi tontonan menarik yang ditawarkan oleh PSSI sendiri, terutama yang berlangsung satu dekade terakhir dan bisa jadi terus berlanjut tiada akhir (yah, mudah-mudah tidak begitu).

Jadi, kalau Mourinho melatih timnas kita ada tiga hal penting yang akan ia dapatkan. Pertama, menonton pertandingan sepakbola. Kedua, menonton pertandingan PSSI versus pemerintah. Dan ketiga, menonton para elit PSSI yang mengelola sepakbola nasional kita sambil naik kuda beragam warna yang secara khusus dipinjam dari peternakan kuda di Senayan.

Khusus yang ketiga, rasa-rasanya itu tontonan yang lebih menarik daripada pertandingan sepakbola, terutama sejak dipopulerkan oleh Nurdin Halid. Era Nurdin ditandai dengan naik daunnya istilah “dualisme” di akhir-akhir kepemimpinannya. Dengan “dibantu” oleh Arifin Panigoro di kubu seberang, istilah dualisme melaju ke permukaan: dualisme liga dan dualisme klub. Istilah dualisme liga dan klub semakin mentereng di awal kepemimpinan Djohar Arifin menduduki kursi PSSI menggantikan Nurdin Halid. Bahkan, era Djohar menambah daftar dualisme. Yakni, dualisme federasi: PSSI di tangan Djohar dan KPSI di tangan La Nyalla Mattalitti. Dua kubu sama-sama mengklaim yang paling layak memutar roda sepakbola Indonesia (yang beginian tidak ada lho di Eropa, Ho. Mourinho).

Lalu, istilah “dualisme” meredup macam artis Yutub tanah air yang tenar mendadak dan cepat tengelam setelah PSSI-KPSI kawin kontrak. Perkawinan PSSI-KPSI itu melahirkan tontonan yang semakin menarik dan tentu saja semakin memuakkan karena ternyata publik bola tanah air dikibuli: Djohar dan La Nyalla tidak benar-benar kawin alias akting kawin-kawinan. Keduanya saling menyimpan dendam dan menyatakan perang terbuka dengan manuver-manuver masing-masing setelah La Nyalla naik ke tampuk kekuasaan PSSI dua tahun kemudian menggantikan Djohar, terutama sejak dimulainya konflik terbuka antara PSSI dan pemerintah.

Kini, publik sepakbola tanah air menantikan kelanjutan dari serangkaian episode melelahkan sepakbola tanah air yang terus disodori PSSI dengan belutan konfliknya. Episode kali ini mengerucut pada pertandingan La Nyalla versus Imam Nahrawi yang sudah berlangsung setahun dan titik terang bernama kebaikan terhadap sepakbola tanah air timbul-tenggelam dan samar-samar. Bahkan mungkin masih jauh (dubilah ya, Yu, amit-amit ya, Kang).

Pusara konflik PSSI sejak era Nurdin Halid, era Djohar Arifin, sampai era La Nyalla itu, tentu saja berdampak sangat buruk terhadap sepakbola tanar air (soal ini tidak perlu dibicarakan dulu ya, karena terlalu menyakitkan, duh-duh).

Mari kembali ke Mourinho saja. Andai Mourinho memberikan sinyal mengangguk atas wacana Menpora itu mungkin ia sudah bisa menyaksikan secara live sebuah tontonan yang akan terlihat asing baginya. Yakni, poin kedua: pertandingan antara pemerintah versus PSSI. Atau kalau tidak live, Mourinho mungkin akan ngeyutub dan menonton pertandingannya, paling tidak pertandingan setahun terakhir. Lebih bagus semua episodenya (bagaimanapun, kalau Mourinho melatih timnas kita ia harus tahu kekisruhan PSSI demi menyiapkan mental karena siapa tahu ia diseret-diseret untuk ikutan berkonflik di luar lapangan).

Dengan Mourinho melatih timnas Indonesia, ia akan tahu bahwa PSSI lebih senang berkonflik daripada memajukan persepakbolaan tanah air (meskipun yang berkonflik berdalih demi memajukan sepakbola tanah air tapi sampai sekarang tidak ada bukti shahih-nya). Itu wangsit pertama (wangsit semacam ini tidak akan Mourinho dapatkan di tanah Inggris).

Wangsit kedua, Mourinho akan tahu rasanya bersabar tingkat tinggi. Ia akan tahu bahwa sesabar-sabarnya pencinta sepakbola di dunia ini tak lain adalah rakyat Indonesia. Kesabaran yang tidak ada tandingannya. Kurang sabar apa coba, pecinta sepakbola tanah air dalam menghadapi kenyataan sepakbola negara ini yang terus-menerus dirundung malang karena orang-orang yang duduk di kursi PSSI terus naik kuda Senayan? Wangsit ketiga, Mourinho akan tahu rasanya dikecup Syahrini atau Julia Perez yang sudah pasti tidak akan ia peroleh di benua biru (barangkali hanya ini tontonan bohay karena dua selebritis ini memiliki body yang aduhay, ha-ha).

Ketiga wangsit ini nyata lho, Ho. Bukan perkara gaib yang harus disuntuki dengan kemenyan. Iya, nyata. Kecuali mungkin wangsit yang  ketiga, hi-hi.

Nah, pertanyaannya, apa gunanya ketiga wangsit itu untuk Mourinho? Toh ia lebih menyukai kursi panas Setan Merah Manchester daripada wangsit. Mourinho juga akan mati muak kalau ia menyaksikan secara live pertandingan PSSI versus Menpora yang kini sudah mengerucut pada isu Kongres Luar Biasa setelah sebelumnya berkubang dengan pembekuan-pembekuan (baik pembekuan Menpora maupun FIFA).

Terakhir, mari kita berharap semoga konflik tidak produktif PSSI segera berakhir dan sepakbola kita diurus dengan becus, baik, dan benar oleh para pengurus PSSI. Siapapun mereka.

 

Sumber foto: www. kokofeed.com

Tags

About The Author

RACHEM McADAMS 26
Novice

RACHEM McADAMS

penyuka prosa & kucing | sesekali menulis cerpen & novelette
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel