LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... Part 11

26 Sep 2015 10:03 14988 Hits 326 Comments Approved by Plimbi

Puisi Saijah dan Adinda, mengiringi keberangkatan mereka berempat kembali ke Jakarta. Apakah akhir kisahnya, akan sama...??

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part 1
Langit Sore di Raja Ampat Part 2
Langit Sore di Raja Ampat Part 3
Langit Sore di Raja Ampat Part 4
Langit Sore di Raja Ampat Part 5
Langit Sore di Raja Ampat Part 6
Langit Sore di Raja Ampat Part 7
Langit Sore di Raja Ampat Part 8
Langit Sore di Raja Ampat Part 9
Langit Sore di Raja Ampat Part 10

 

BAB XI

 

Aku dan Juna yang sudah selesai packing barang, bersamaan menuju kamar Nakul dan Sawa yang belum juga keluar. Sedikit kaget saat Nakul membuka pintu kamar, ia memakai kaos kembar dengan Sawa, hal yang sudah lama sekali tak aku lihat. Keduanya juga terlihat segar dan ganteng.

“Wow… ngliat auranya, habis bikin anak nih kayaknya, tadi malam…” Komentarku santai sambil masuk kamar, keduanya.

“Lah… bukannya sama kau tadi malam, nona Padi….” Jawab Nakul sambil ngecek barang-barang.

“Masa, sih… dikamar mana, ya…?” Penyakit saling menjatuhkan sudah dimulai.

“Tutup pintunya, Jun…. bikin kenang-kenangan sebelum sampai Jakarta..” Kata Sawa sambil mematuk di depan cermin.

“Jangan disinilah, cuuii… ini tempat tidunya kan kecil banget.. bunyi lagi kayunya…” Jawabku santai. Tawa kami berempatpun tak terhindarkan lagi.

“Ada yang masih ingin datang lagi ke tanah Papua kah?” Tanya Sawa pada kami bertiga.

“Masih banyak yang bisa kita lakukan disini, meskipun hanya hal kecil.” Jawab Juna.

“Ini jadi PR besar kita, setelah sampai Jakarta, yo…” Sambungku.

Mas Alex sudah teriak dari bawah, kami berempat bergegas turun membawa barang masing-masing. Mas Alex hanya senyam-senyum penuh curiga melihat kami berempat turun dari tangga.

“Wajahnya, berseri-seri semua, berempat..” Komentar Mas Alex melihat kami.

“Nanti kalau wajah kita ditekuk-tekuk, orang pikir kita tidak berbagi surga dengan adil, yo..” Jawab Juna. Tawa Mas Alex lepas pagi itu

Kami langsung memasuki mobil, menuju dermaga Waisai naik feri yang akan membawa kami ke Sorong. Badanku lumayan capek dan pegel-pegel. Kali ini kita berempat sedang tak ingin bertukar tempat di kelas ekonomi. Tetap menempati ruang VIP. Juga tak ingin berbincang banyak. Aku duduk antara Nakul dan Sawa yang mengenakan kaos kembar seperti mau dikhitan. Kapal belum jalan, aku sudah terlelap dipelukan Sawa. Dan kami berempat juga tertidur nyenyak hingga tiba di Sorong.

Di Sorong, kami masih harus menginap semalam sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, esok hari. Malam itu, kami juga tidak ingin keluar hotel, menghabiskan waktu di kamar berempat sambil main kartu. Yang kalah akan mendapat coretan lipstick. Kebetulan aku memang tidak begitu mahir bermain kartu, hampir sepanjang permainan aku kalah. Wajahku sudah tentu penuh coretan lipstick, tidak ada tempat lagi buat bikin batikan. Akhirnya tangan dan kakiku pun habis kena batikan. Tinggal bikin tarian khas Papua.  Dan daripada aku harus buka baju hanya untuk mencari tempat buat batikan lipstick, akhirnya permainan kartu kami stop.

Diluar hotel gerimis masih belum ingin berhenti, aku membuka gorden, menikmati suara yang selalu aku suka. “Di sini masih hujan, rintiknya membentuk nada simfoni yang cukup lembut, menjadikan malam makin tenang, tiupan anginnya menambah dingin malam ini.” Aku berbicara menghadap kaca, sekaligus sedikit berpuisi ria.

“Hujan akan menenteramkan hatimu ketika kau di kamar, Padi.... Juga rintik-rintiknya pada buliran bening, yang menetes di kaca jendela, itu.“ Jawab Juna sambil duduk menghadap televisi. Aku tersenyum senang, menatap mereka bertiga.

“Apa yang kau risaukan darinya, dinginnya... akan membuat kehangatan di hatimu.” Sawa menyambung lebih romantis.

“Rintiknya.... Menjadikan kutahu pancar binar matamu, nona...” Sambung Nakul.

“Aaawwww…” Kataku, lalu kami berempat saling berpelukan. Tanpa harus hanyut dalam suasana gerimis yang romantis. Aku merasa hati kami semakin dekat. Sudah sulit bagiku untuk berjauhan dari mereka bertiga. Apapun rasa ini, aku tak ingin jauh dari mereka.

*****

Ada yang aneh dengan hatiku pagi itu. Ada bunga-bunga banyak sekali dalam kalbuku. Warna-warni bunga yang diberikan Juna, Nakul, dan sawa. Apakah ini jatuh cinta atau cinta yang sudah kedaluwarsa baru kami berempat sadari, aku tak tahu. Aku hanya mengikuti bagian yang paling dalam dari hatiku. Dan ternyata indah untuk dirasakan. Aku mematuk-matuk diri dalam cermin, mencari kalau ada yang kurang dari penampilanku. Aku melihat Juna yang sudah mengetuk pintu kamarku juga terlihat makin ganteng. Aku berpikir, kami berempat sedang dirundung cinta yang sedang bersemi.

Tiba direstaurant lebih dulu, kembali aku dan Juna melihat Nakul dan sawa memakai kaos yang kembaran lagi. Ini tentu saja mengundang perhatian beberapa gadis muda yang ada di restaurant untuk sarapan. Selain keduanya memenuhi persyaratan body yang mereka cari, juga karena mengenakan kaos kembar. Beberapa gadis ayu mencoba mencari perhatian Nakul dan Sawa. Aku tahu sekali, karena aku memperhatikan mereka, ada sedikit was-was juga, tapi tak banyak.

“Khawatir, Nona?” Tanya Nakul menggoda. Ternyata Nakul dan Sawa juga menyadari menjadi perhatian.

“Kalau masih melirik boleh lah…. Kalau sudah mulai tanya no hp, air putih didepan mereka bisa jadi kopi semua…” Jawabku santai sambil melirik ke meja gadis-gadis yang sedang senyam-senyum dengan Juna, Nakul, dan Sawa.

Bertiga tidak bisa menahan tawanya. Lalu, sengaja aku ingin sedikit menunjukkan keperkasaanku sebagai betina, aku kecup pipi, Juna, Nakul, dan Sawa, bergantian. Dan kembali aku duduk makan roti, santai.

“Cara kalian menatapku, itu sudah menunjukan dalamnya rasa.” Kataku pada mereka.

“Ucapanmu barusan, adalah dessert breakfast yang paling enak pagi ini…” Nakul berkomentar. Kami bertiga kembali tertawa renyah.

“Kayaknya, kita berempat sedang mengalami jatuh cinta barengan…” Kata Sawa. “Liat aja, kita berempat, ingin tampil prima dan menawan..” Sambung Sawa. Kami berempatpun tidak bisa memungkiri, karena memang benar adanya. Kami pun menertawakan diri sendiri, sekaligus merasa semakin dekat, tanpa ada yang harus dikhawatirkan untuk saling mengalah atau menjauh. Juga tidak ada drama pengorbanan oleh tokoh utama untuk sebuah sinetron cinta. Walaupun aku tak tahu kemana akhir perjalanan nanti, aku tetap menikmati kebersamaan dan kebahagiaan dengan mereka bertiga. Waktu tidak akan pernah salah.

Usai sarapan, kami langsung menuju bandara didampingi Mas Alex. Bandara Sorong yang hanya 10 menit dari hotel. Mas Alex yang sudah membawa tiket dan KTP kami, menuju tempat check in yg tidak begitu besar. Cukup lama kami menunggu. Kami berempat, melihat dan mendengar Mas Alex rebut dengan petugas Check in. Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, lalu mendatangi Mas Alex.

Ternyata, Nakul dan sawa tidak mendapat tempat duduk. Awalnya, petugas check in, yang hanya pegawai didepan, tidak mau menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Petugas itu hanya berusaha menutupi sesuatu yang tidak jelas. Setelah kami paksa, akhirnya si petugas menjelaskan, mendadak ada pejabat yang membutuhkan tumpangan ke Jakarta. Pesawat yang sudah penuhpun harus mengorbankan dua penumpang yang bukan pejabat. Hal yang sering terjadi dan akan terus terjadi, siapapun pimpinan Negara.

Dengan memaksa seperti tak bersalah, petugas mengantikan pesawat Nakul dan sawa di jam berikutnya, selisih dua jam, tanpa kompensasi apa-apa. Kami yang pergi dengan uang sendiri, dibuat untuk tidak punya pilihan. Mas Alex sudah bicara dengan teriak, tetap kami yang harus mengalah. Emosi dan umpatan hanya akan mengotori hati kita. Kami memilih menerima dengan hati keruh. Bagasi Nakul dan Sawa juga sudah aku bawa sekalian. Kami berjanji akan menunggu di bandara Soeta, Jakarta. Nakul menelpon orangtuanya, ada perubahan jam terbang dan terpisah denganku.

“Jun, hati-hati bawa nona satu, ini…” Pesan Sawa tenang sekali, tanpa emosi

“Hati dan fisiknya harus dibawa dengan cara yang beda, Saw.” Jawab Juna, aku mendengarkan dengan cuek.

“Yup! Kalau dapat hatinya aja tanpa fisik juga hambar, Jun.. rasa garamnya ilang.” Komentar Nakul. Dan kami tertawa.

“Kalau dapat fisik aja, tanpa hatinya… yang ada malah uasiinn thok!” Expresi Juna kocak dengan logat Jawa.

“Jun, sudah ada keputusan belum…udah 27 tahun, nih…?” Tanyaku pada Juna cuek. Bertiga menatapku sambil tersenyum.

“Keputusannya, kita tidak akan meninggalkanmu, nona padi…” Jawab Juna dengan mimik tenang. “Meninggalkanmu, itu adalah pilhan sethupith.” Sambung Juna menatap serius kearahku.

“Yo wisss, lahhh…. Apa kata kalian… aku melaksanakan tugas sebagai drupadi, aja..” Jawabku juga santai. Mas Alex yang masih emosi, kali ini tersenyum lebar dengan ulah kami sambil geleng-geleng kepala. Kami masuk keruang tunggu berempat, karena waktu boarding aku dan Juna sudah dekat. Melambai pada mas Alex seraya berucap terimakasih.

“Nakul, Sawa…. Kita tunggu kalian di Bandara Soeta, jangan tidak datang…  aku tidak mau seperti Saijah dan Adinda..” Kataku.

“Kita pasti akan datang, Adinda…. Max Havelaar akan merubah ceritanya…” Jawab Sawa.

“Saijah remuk, dan dia kan sadar, yang tak diam dengannya hanya waktu.” Aku menghafal cuplikan puisi dibuku Saijah dan Adinda, lalu mencium pipi Nakul serta Sawa, dan menuju pesawat yang sudah boarding.

“Aku tak tahu dimana kan mati.” Nakul menjawab cuplikan puisi dari Max Havelaar juga.

*****

Pesawat yang membawaku transit di Makasar, tapi tidak lama. Kami pindah pesawat dan menuju Jakarta. Perjalanan yang lumayan lama, pegel-pegel badan semakin terasa. Aku beriringan dengan Juna, menuju tempat pengambilan barang.

“Nakul, belum kasih kabar, ya… seharusnya sudah sampai Makasar.” Kata Juna. Aku lihat hp ku juga belum ada pesan atau tilpun masuk daru Nakul maupun Sawa. Barang-barangsudah keluar semua. Aku dan Juna hendak menunggu di tempat ngopi yang nyaman. Saat hendak melewati petugas pemeriksaan keluar, seorang petugas bicara dengan petugas lain kalau pesawat dari Sorong hilang dari radar. Aku dan Juna sama-sama menghentikan langkah.

Juna kembali memastikan gossip yang diucapkan seorang petugas tadi, dan jawaban si petugas sama. Aku dan Juna bersama lari menuju maskapai penerbangan yang dimaksud.  Orang sudah sudah penuh berkerumun didepan maskapai.  Hatiku sudah berdegub tidak karuan. Keringat dingin terus mengucur sekujur tubuhku. Juna terus menggandengku sambil mendorong troly. Mataku mulai berkaca-kaca. Saat aku akan menelpon orangtua Nakul dan Sawa, mama Nakul sudah menelpon duluan. Karena sudah mendapat telepon dari pihak maskapai.

Suara mama Nakul dan Sawa sudah parau, aku tdk bisa menahan lagi untuk tidak menangis. Wajah Juna memerah sambil memelukku. Juna langsung pro aktif ke maskapai penerbangan. Mengecek ulang nama Nakul dan Sawa. Dan benar mereka berdua termasuk dalam daftar penumpang pesawat yang tiba-tiba menghilang.

Aku sudah tak mampu lagi menyangga tubuhku. Tubuhku gemetar sekaligus ingin berteriak, Juna tak bergeser sedikitpun dari sebelahku. Langit mendung seolah runtuh. Air mataku terus membasahi pipi. Aku menjatuhkan badanku dipelukan Juna, beberapa kali aku memukul pundaknya tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Semua tersekat di tenggorokan. Juna lebih mampu menahan emosinya, walaupun hatinya juga lusuh. Ada ilalang tajam yang menggores jiwa kami.

Tidak ada yang bisa aku, Juna serta orangtua Nakul dan Sawa lakukan, kecuali hanya berserah. Bayangan langit sore di Wayag masih terlintas jelas. Pelukan Nakul maupun Sawa, masih membuatku berdesir. Canda dan tawa kami masih tengiang jelas ditelingaku. Aku terus mencoba menanangkan diriku sendiri. Ada rindu dengan Nakul dan Sawa yang tiba-tiba muncul. Senyum keduanya saat melambai di bandara belum lepas dari benakku.  Orangtua kami bertiga juga sudah berkumpul di bandara.

 “Nakul dan Sawa, sangat menyayangi kamu, Padi..” Kata mama Sawa Parau. Mama Sawa lalu menunjukkan sms terakhir dari Nakul sebelum boarding.

“Ma, titip jaga Padi buat aku dan Sawa. Sampai ketemu di Jakarta, ma..” Sms dari Nakul. Aku dan Juna sama-sama menarik nafas panjang. Erat mama Nakul memelukku, buliran bening itu kembali membasahi pipi kami berdua. Juna melihat tas milik Sawa di troly kami. Ada tulisan diatas kertas dan dimasukkan dalam plastic, lalu disolasi di badan tas. Juna melepas tempelan kertas itu, kami membacanya.

“Ada yang berbeda di musim hujan penghujung tahun kali ini.... Derainya terasa sepi, pulir-pulirnya menghempaskan suara yang indah... namun jari-jari tangan kemesraan itu tetap terasa.... Yach... kita selalu bertemu...  dalam sajak yang sepi.... Dalam diam ... walaupun di antara hujan....”

Nafasku semakin sesak, aku terus berusaha menerima yang sedang teradi. Jam sudah berganti hari, pesawat yang ditumpangi Nakul dan Sawa tak kunjung ditemukan. Menunggu dan terus menunggu kabar yang tidak pasti akan datang, membuat semakin remuk, jiwaku. Hari sudah berganti minggu, dan akhirnya kami pasrah, berserah menerima segala yang sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Orangtuaku, dan Juna tiada henti mendampingiku. Sebagian dari kalbuku menjadi ada yang kosong. Terlalu cepat Nakul dan Sawa meninggalkan kami. Max Havelaar juga tidak akan pernah mengubah ending cerita Saijah dan Adinda.

Aku dan Juna membongkar tas milik Sawa dan Nakul, juga kamar mereka berdua. Merapikan semua yang harus kami berdua rapikan. Aku dan Juna sengaja memasang  photo pesanan mereka berdua terakhir, tentang senja di Wayag, pada dinding kamar kosong itu. Didalam photo aku selipkan tulisan sedikit tentang Saijah dan Adinda, “Disanalah Adinda akan lewat…, dan tepi kainnya akan terdengar lirih menyentuh rumput…, aku akan mendengarnya...”

Photo kami berempat juga menghiasi dinding ruang kosong itu. Tak ketinggalan photo anak-anak di Arborek dan Wayag. Aku dan Juna diam beberapa saat menatap photo kami berempat. Segala rasa bertumpuk didadaku. Ada pilu, yang belum ingin pergi. Juna menggenggam erat jemariku. Kami berdua tetap merasakan kehadiran Nakul dan Sawa disebelah kami. Hati kami tetap saling menggenggam. Tidak pernah saling meninggalkan.  Cinta dan gemuruh kalbu kami, telah menggores tajam di langit sore Raja Ampat.

*** THE  END ***

 

TERIMAKASIH UNTUK SELURUH PEMBACA…. SAMPAI BERTEMU DI KISAH LAINNYA

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel