LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... Part 6

7 Sep 2015 17:13 13695 Hits 308 Comments Approved by Plimbi
senyum anak-anak Arborek, selalu mengembang walau mereka tinggal terpencil di Raja Ampat

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part 1
Langit Sore di Raja Ampat Part 2
Langit Sore di Raja Ampat Part 3
Langit Sore di Raja Ampat Part 4
Langit Sore di Raja Ampat Part 5

 

 

BAB VI

Pukul 07.00 kami kembali melangkah ringan menenteng tas ransel menuju dermaga kecil yang akan membawa kami menuju Arborek. Wilayah terpencil yang cukup banyak terdapat anak-anak usia sekolah dasar, diluar Waisai. Perlengkapan untuk anak-anak Arborek sudah dibawa terlebih dahulu oleh crew Mas Alex. Beberapa penjual ikan di depan dermaga sudah mulai hafal dengan kami, demikian juga dengan masyarakat, yang biasa berada di tepian dermaga di pagi hari. Joe sudah berada diatas kapal, menyapa ramah sekaligus membantuku menaiki kapal dengan menarik tanganku.

“Padi sajakah yang dibantu menaiki kapal, Joe.” Tanya Juna pada si nahkodah

“Ahh…. Tidak usah cemburu, so… sekedar ingin tahu aroma sunblock yang menempel ditangan nona Padi, pagi ini..”Jawab Joe santai sambil mencium tangannya yang baru memegang tanganku menaiki kapal. “Harum sekali..” Sambung Joe, meledek Juna, Nakul, dan Sawa.

“Nona Padi! tidak ingin menengok ikan-ikan disini lagi kah?” Sapa seorang penjual ikan berteriak dari pasar depan dermaga. “Sedang banyak ikan perempuan disini…” Seorang penjual ikan lain berteriak akrab kepadaku.

“Pagi ini kita sedang malas berurusan dengan ikan perempuan, yo…” Jawabku.

“Ah… pasti tadi malam ada ikan perempuan yang marah dengan nona karena merebut kekasihnya, so…” Teriak nelayan lain disambut tawa semua orang disitu.

Tiba-tiba seorang anak perempuan berusia 12 tahun, berteriak kearah kami, “Kaka, mau belajar di Arborek, kah?” Tanya si anak. “Namaku Anastasia… bolehkah saya ikut kesana?” Tanya Anastasia lagi. Aku, Juna, Nakul, dan Sawa tentu saja bingung untuk menjawab. Sementara kapal kami juga masih cukup untuk menampung Anastasia. Saling memandang berempat, lalu kami mengangguk hampir bersamaan.

“Baiklah, Kau boleh ikut dengan kami!” Jawab Juna berteriak. Anastasia tampak girang, langsung berlari kearah kapal, mengenakan baju seadanya, dan sandal jepit usang. Ternyata dia adalah anak penjual ikan yang tadi berteriak kepadaku.  Begitu Anastasia melompat diatas kapal, kami pun melambai pada penjual-penjual bersamaan Joe mengambil haluan.

“Terimakasih, Nona..!” Si penjual ikan, papa Anastasia berteriak.

Terik matahari cukup membuat sengatan pada wajah mereka. Kulitku sudah cukup untuk jadi model exotic. Sunblock seperti sudah tak mempan lagi melawan teriknya matahari. Seperti biasa, Joe membawa kapal cepat dengan kekuatan penuh di laut lepas. Terkadang dari kejauhan nampak satu-dua ekor lumba-lumba sekedar ingin melompat lalu menghilang. Melewati bukuit-bukit karang tak berpenghuni, lalu kembali ke bentangan samudra biru.

“Kau pakai jaket ini.” Kata Sawa sambil menyodorkan jaket ke Anstasia, sedikit berteriak karena angina kencang.

“Terimakasih, tapi tidak usah, kaka. Kita sudah biasa di laut. Nanti jaket kaka kotor.” Jawab Anastasia, tulus. Aku terdiam memandang Anastasia, ada yang berhenti ditenggorokanku. Demikian juga dengan Juna, Nakul, dan Sawa. Aku menarik nafas panjang, berdiri berpegangan pada Bakul dan Sawa, berpindah tempat duduk dekat gadis kecil itu.

“Kau pakai, jaket ini. Nanti kau sakit. Kalau kotor, kita bisa cuci pakai air laut..” Pintaku pada Anastasia, sambil memberikan jaket Sawa yang kedodoran. Polos dia memandangku, lalu mengangguk. Aku melihat Joe menengok ke Anastasia, lalu diam.

“Mamanya meninggal delapan bulan lalu, karena Malaria.” Kata Joe. Aku memegang pundak Anastasia, tanpa tahu harus berkata apa. Juna, Nakul, dan Sawa bersamaan menarik nafas panjang. Belum selesai aku mengatur emosi sedihku, Joe kembali berbicara, “Dua adik Anastasia, meninggal tuga bulan lalu, hampir bersamaan, juga karena malaria.” Aku hanya bisa menunduk diam. Juna mengelus kepala Anastasi, tanpa tahu harus bicara apa.

Kapal terus melaju. Joe, leluasa memainkan speed boatnya diatas gelombang. “Nona Padi, ada beberapa lumba-lumba disebelah sana!” Joe berteriak sambil menunjuk kearah lumba-lumba yang agak jauh. Ada tiga lumba-lumba sedang bermain, melompat tinggi, dan kembali menyelam.

“Sayang, mereka tidak mau mendekat.” Nakul berkomentar.

“Munkin istri lumba-lumba tidak mau suaminya terpikat oleh nona Padi.” Jawab Joe berteriak sambil menggodaku dengan memainkan haluan kapal. Anastasia terkekeh senang.

“Kau bilang pada istri si lumba-lumba, aku disini sudah punya tiga kekasih, juga tidak habis-habis.” Joe terkekeh. Aku menatap Juna, Naku, dan Sawa sambil tersenyum.

“Siaaapp, mas broo..” Jawab Juna, Nakul, dan Sawa teriak berbarengan santai. Kapal pun melambat dan berhenti di kampung Arborek, setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam dari Waisai

Dermaga kayu menjorog ke laut itu sudah terlihat menunggu kapal yang hendak bersandar. Laut dangkal berkelir hijau tua, muda, toska, biru dan bening, memamerkan keanggunannya. Ikan-ikan kecil lincah berkejaran menggoda pada siapapun yang memandang. Hard coral berwarna krem, biru, hijau, dan coklat menyambut kedatangan tamu, menggetarkan hati siapapun yang menyaksikan. Penyangga kayu dibawahnya terlihat masih kokoh. Ditepi samping dermaga dan masih menjorog ke laut, sengaja dibangun beberapa pondok bersantai dari papan berbentuk rumah panggung, nyaman, dan teduh. Wisatawan bisa duduk menikmati sajian bawah laut dan bercengkerama dengan beragam ikan-ikan mungil tanpa harus turun ke pantai. Pohon -pohon kelapa berjajar mengikuti lekukakan sepanjang pasir putih membentang. Gapura selamat datang terpampang diatas dermaga yang berbatas dengan perkampungan masyarakat.

“Mama berasal dari kampong Arborek disini, kaka..” Kata Anastasia, sambil melangkah diatas dermaga kayu. “Oohh..” Jawab kami berempat hampir bersamaan. “Rumah kaka, jauh kah dari sini?” Tanya Anastasia tanpa ada rasa minder, namun menyenangkan.

“Rumah kita jauh sekali dari sini..” Jawabku tersenyum sambil menggandeng tangannya yang kurus.

Anak-anak, mama-mama, dan beberapa bapa-bapa yang sudah menunggu kami, langsung berdiri menyapa Anastasia dengan kekeluargaan yang dekat. Mereka berdiri diatas pasir halus yang panas tanpa alas kaki.  Ini hanya soal kebiasaan dan keadaan. Rambut kriting kekhasan mereka tak lagi berwarna hitam, tapi menjadi berkelir kuning dan oranye, asli, bukan dicat. Ini karena pengaruh air laut tempat mereka mandi setiap saat. Hampir semua mengenakan baju cetar membahana. Mereka harus menyesuaikan warna kulit dan daerahnya.

Mama-mama tertawa memamerkan gigi dan mulutnya yang belepotan pinang. Ini sangat mengurangi belanja gincu.  Anak-anak saling berceloteh, bersuka, mengarak kami menuju tempat teduh. Bahkan kalau ada hiu yang bisa bejalan didarat, mereka akan mengarak kami dengan naik hiu. Seorang bocah perempuan empat tahun dengan ingus basah dan kering memenuhi wajahnya, memilih menggandengku tanpa expresi. Aku menggenggam erat jemari si bocah kecil itu. Ingus sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemiskinan dan terpencil. Kalau tak mau bersentuhan dengan ingus, jangan datang ke tempat terpencil.

Rumah-rumah dikelilingi pasir pantai tertata rapid an bersih. Warna-warni bogenvil tengah mekar menghiasi halaman depan rumah mereka. Karena hanya bogenvil yang tahan hidup di daerah seperti ini. Dikepung oleh pantai dan laut biru, masyarakat terpencil di Arborek hidup mandiri, bersatu, menjujung tinggi aturan adat, dan menjaga alam yang sudah memberi mereka karunia hidup.

Tiba di sebuah tempat duduk ditengah kebun kelapa dan tanaman lain milik masyarakat, mama-mama mempersilahkan rombongan kami istirahat sejenak. Tempat istirahat dari papan terbuka yang cukup luas berukuran sekitar 5x6 meter, disangga oleh empat kayu kuat. Tepian pantai dari berbagai sudut bisa dilihat dari sela-sela pepohonan. Dibawah pohon rindang ini, anak-anak membantu menurunkan tas ransel. Mereka tak malu memperkenalkan diri.

“Kata bapa kepala kampung, kaka mau ajak kita belajar, kah?” Tanya Yoana 12 tahun sambil serius menatapku.

“Betul, tapi nanti kita cari tempat yang luas, supaya semua bisa gambar dan bernyanyi, sambil belajar.” Jawabku.

“Kita disini biasa menggambar diatas pasir. Kalau laut pasang gambar kita akan hilang tersapu ombak, yo.” Daniel 11 tahun bercerita didepan Nakul dan Sawa.

“Kalau begitu, kau pindah saja pasirnya didalam rumah supaya gambar kau tidak tersapu ombak, yo...” Jawab Juna bercanda, disambut tawa ria anak-anak.

“Kita juga latihan berhitung, papan tulisnya pasir pantai disana.” Seorang bocah laki-laki 11 tahun bersemangat. “Begitu pasirnya kena ombak, kita juga ikut lupa hitungannya, karena belum kita simpan, yo...” Sambung bocah laki-laki yang sama dengan santai.

“Ahh… seharusnya begitu kau tulis angka di pasir pantai, angkanya langsung kau ambil dan taruh di otak. Jadi tidak akan kena ombak, so..” Jawab Juna dengan expresi serius seperti mendongeng. Bocah itu pun diam, anak-anak yang lain ikut diam memandang Juna seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Ah… kaka betul sekali.” Jawab si bocah manggut-manggut. “Boleh kah kita coba kaka?!” Tanya si bocah penasaran dan ingin mencoba.

“Boleh sekali… kita coba sekarang!” Jawab Juna bersahabat. Aku berusaha menahan tawa, dengan keluguan mereka. Kami menyuruh anak-anak mengingat dua angka untuk ditambah atau dikurang, lalu menyuruh mereka menuliskan dipasir. Kemudian meminta mereka mengingat lagi sebentar, dan pasir kita hapus. Anak-anak pun bersorak gembira, karena mereka ingat dengan angka yang mereka tulis dipasir tadi. Mereka terus mengulang dengan gembira. Buah kelapa muda yang depetik dari kebun masyarakat, sudah disajikan mama-mama untuk kami.

“Ini minuman kita kalau siang hari, yo… sehat dan segar…” Kata seorang bapa

“Kalau minuman malam hari, lebih serukah bapa?” Tanya Neji akrab

“Jangan keras-keras, anak muda… nanti malam saya bisa dikunci dikamar sama istri, supaya tidak keluar rumah…” Jawab si bapa bercan dan disambut tawa semua

Setelah meneguk air kelapa muda, kami segera mengajak anak-anak ke dermaga. Mereka pun berlari lincah saling mengejar hingga tiba di salah satu pondok yang paling luas. Kami membagikan kertas gambar, pensil, dan crayon.

“Bagus sekali kertas gambanya, kaka….” Komentar anak-anak sambil menciumi kertas gambar.

“Coba, kau kasih gambar diatasnya, akan lebih bagus lagi, yo..” Kata Nakul

Bocah-bocah pun memulai expresinya dengan cara dan gaya mereka masing-masing. Ada yang menggmbar sambil tiduran terlentang, ada yang tiduran tengkurap, dan ada yang mewarna gambarnya di pojok pondok karena malu. Sesuka mereka menggambar yang enak bagaimana. Sedangkan Mas Alex dan crew mempersiapkan beragam hadiah dan makanan buat anak-anak.

Anak-anak tak pernah peduli dimana mereka lahir dan tinggal, dunianya adalah lingkungan mereka. Menciptakan kreativitas dengan cara mereka, tanpa ingin dikekang. Laut, pantai, dan isinya selalu memberikan keceriaan bagi anak-anak kampung Arborek. Bermain pasir, mengayuh perahu, berenang, menyelam, mencari ikan, bersekolah, dan mengasuh adik, adalah dunia mereka. Sebuah sekolah dasar dengan segala keterbatasan berdiri di kampung tak luas ini. Sedangkan untuk melanjutkan ke SMP dan SMA mereka harus pergi ke pulau lain di distrik wilayah.

Semangat anak-anak untuk menuntut ilmu tak surut oleh segala kekurangan. Felix menggambar seorang bocah laki-laki duduk di tepi dermaga, disampingnya berderet beberapa manta besar terkulai diam. Tangan si bocah memegang botol kecil sedang menggosok badan si manta.

“Apa yang dilakukan anak kecil ini, Felix?” Tanya Juna

“Anak kecil itu sedang bersihkan panu di badan manta-manta.” Jawab Felix tanpa expresi dan serius menggambar. “Manta-manta ini kita kasih kalpanak supaya badan mereka tidak gatal-gatal.” Jawab Felix tanpa expresi. Juna hanya manggut-manggut menahan tawa.

“Kau butuh berapa botol kalpanak, untuk gosok manta-manta yang antri minta diobati itu?” Tanya Juna masih penasaran

“Kalpanak nya cukup satu botol kecil, kalau habis kita kasih air cuka, mereka juga tidak tau, so!” Felix menjelaskan. Aku sudah mulai tak bisa menahan tawa. “Karena mereka dungu tidak bisa baca!” Sambung Felix masih dengan expresi santai. Kali ini tawa kami keluar lepas.

Sementara, didepanku ada Maria, sepuluh tahun. Mewarna sambil tiduran tengkurap diatas papan.

“Kau suka mewarna kah, Maria?” Tanyaku                    

“Kita paling senang mewarna, tidak usah menghafal perkalian!” Jawab Maria. “Tapi kita tidak punya pensil warna-warni seperti ini, kaka.” Sambung Maria lagi. Aku masih memperhatikan gambarnya yang unik.

“Itu diatas kepala ikan, ada banyak angka, mereka sedang belajar berhitung kah?!” Tanyaku lagi

“Ikan-ikan disini harus juga bisa berhitung!” Jawab Maria sambil pindah posisi tiduran terlentang

“Siapa kah yang suruh ikan-ikan itu belajar berhitung?!” Tanyaku penasaran.

“Bapa kepala kampung bilang, ikan-ikan itu harus tahu jumlahnya berapa, lalu yang mati atau ditangkap berapa, sisanya berapa.” Maria menjelaskan. Aku melihat Juna sudah terkekeh. “jadi kalau ada pejabat datang dan bertanya, ikan-ikan bisa jawab sendiri, yo!” Jawab Maria dengan expresi datar.  

“Ooohh... Pantas banyak pejabat yang datanya keliru.. Karena mereka ditipu oleh itu ikan-ikan, yo..” Aku menimpali sambil melihat Maria.

“Bapa bilang, kalau kita tidak mau ditipu, kita juga tidak boleh menipu siapapun!” Jawab Maria lugu.

Kami membiarkan anak-anak dengan imajinasinya, mengungkap suasana hati mereka melalui kertas dan pensil didepannya. Lain lubuk lain ilalang, anak-anak kampung Arborek juga mempunyai kekhasan sendiri pada setiap goresan lukisannya.

Martin,16 tahun yang sedari awal ikut bergabung dengan anak-anak lain. Menggambar ikan-ikan yang tengah berjemur di daratan sedang berbincang dengan beberapa burung, tentunya menggunakan bahasa mereka. dia menggambar seperti kisah komik. Di leher seekor burung tergantung gambar celana dalam wanita berwarna merah. Cukup menarik dan matang.

“Mereka sedang berdiskusi atau berdebat kah?!” Tanya Sawa sambil menunjuk gambar Martin

“Ikan-ikan ini sedang berdebat, karena burung-burung adalah binatang paling pintar bergosip.” Jawab Martin.

“Apa yang mereka perdebatkan?” Tanya Sawa.

 “Tentang barang milik bapa pejabat yang tertinggal!” Jawab Martin santai

“Barang apa yang teringgal, hingga mereka harus berdebat soal gosip?!” Tanya Sawa lagi

“Burung itu menemukan celana dalam perempuan di tempat bapa pejabat menginap di pulau.” Jawab Martin dengan senyum nakal. Kami sudah mulai tersenyum.

“Trus?!” Sawa makin mengejar.

“Lalu celana dalam itu dipakai burung-burung bergantian!” Martin menjelaskan. Kami sudah terkekeh. “Hingga suatu hari bapa pejabat menginap lagi di pulau, dengan wanita yang berbeda!” Martin berbisik dengan mimik serius. “Bapa pejabat kaget melihat seokor burung diatas pohon menggunakan celana dalam milik wanita yang dia kenal.” Bersemangat Martin bercerita. “Marah sekali, bapa pejabat dan mengusir semua burung-burung dari pulau itu, so..!” Martin serius menjelaskan gosipnya sambil geleng-geleng kepala.

Agus 12 tahun, duduk bersila membuat gambar perahu diatas lautan biru lalu ada beberapa tiang bendera merah putih menancap dengan tulisan disewakan Rp.10.000. Kemudian ada ikan besar termasuk manta dan hiu berbaris rapi diikuti rombongan ikan-ikan kecil sambil membawa bendera merah putih setengah tiang.

“Sedang upacara kah mereka?” Tanya Nakul

“Ah, tidak..! Ikan-ikan ini sedang menunggu pejabat datang dari kota.” Jawab Agus sambil terus mempercantik gambarnya

“Kenapa benderanya hanya separo tiang?! Ada yang mati kah?” Tanya Nakul

“Karena bapa pejabat hanya bayar sewa separo tiang saja, 5000! Kalau mau bendera satu tiang harus bayar sewa lagi 5000, yo...!” Agus menjelaskan panjang lebar.

Patric, 8 tahun, lebih tertarik belajar berhitung ketimbang menggambar. Dia menarik tanganku untuk mengajari tambah dan kurang. Aku menuliskan soal tambah kurang dengan warna-warni pensil warna. Pelan-pelan mengajari Patric menghitung. Patric cukup cepat untuk mengerti. Dia pun selalu tersenyum setiap menuliskan hasil penjumlahan dan pengurangan dengan pensil warna.

“Jadi kalau warnanya berbeda, hasil tambah kurangnya berbeda pula kah, kaka?!” Tanya Patric Lugu, sambil menghapal angka sesuai warna. Aku memandang santai dan ke Patric yang tengah asyik mengelap ingusnya yang sudah sampai mulut. Aku pun mengganti semua angka hanya dengan pensil warna hitam.

“Ahh… pergi kemana angka warna-warni tadi, so…” Patric mulai kebingungan. “Kalau begitu, harus menghafal angkanya, bukan warnanya, yo..” Patric menggumam sendiri sambil menatapku dengan senyum lebar. Aku tertawa, mengelus kepalanya.

Beragam lukisan dengan keunikan anak-anak muncul tanpa ada pembatas. Keceriaan tulus terpancar tanpa polesan. Ada yang membuat lukisan abstrak dengan coretan tak jelas sambil menungging. Ita 4 tahun, memilih mewarna wajahnya dengan crayon bercampur ingus yang mengering. Ada yang minta tolong Juna menggambar sambil duduk diatas punggung Juna.

Okto, 9 tahun, menggambar banyak bintang di langit malam dengan warna biru, hijau, merah, kuning, dan coklat. Marta dan Julius, 10 tahun, sedang mencoba semua warna crayon pada kulit tangannya yang legam. Lalu berdua mewarna di kertas gambar putih milik mereka. Keduanya tampak bingung melihat hasil warna yang berbeda. Saling menatap lalu bersorak gembira, seolah berdua bisa bermain sulap.

Usai mengumpulkan gambar anak-anak, ditengah panggung dermaga dan terik matahari, kami berkumpul dengan bocah-bocah, membentuk lingkaran, menari sambil menyanyi. Tawa mereka lepas tanpa basa-basi. Expresi wajah asli Indonesia tanpa pupur, gincu, atau alis yang dikerok, terpancar alami. Langit biru beserta guratan awan putih bersih menjadi atap dermaga, sedangkan laut biru menjadi batas bagian panggung.

“Potong bebek angsa masa dikuali.. Nona minta dansa, dansa empat kali...

Sorong ke kanan, sorong ke kiri... Tralala... Lala... Lala.. Lala.. lala..

Sorong ke kanan, sorong ke kiri... Tralala... Lala.. Lala... Lala.. Lala..”

Berulang lagu potong bebek angsa dan beberapa lagu lain terdengar. Tiba-tiba Martha dan Martin maju ketengah lingkaran. Suara khas Papua nya melengking, tapi juga enak didengar. Jiwanya menyatu dengan irama lagu yang disuarakan. Aku terpana sekaligus bergidig mendengarkan suara Martin dan Martha.

“Hadapilah segala tantangan, Mohon petunjuk yang kuasa, Ciptakanlah kerukunan bangsa

Kobarkanlah dalam dada.. Semangat jiwa pancasila...

Hidup tiada mengkin… Tanpa perjuangan, Tanpa pengorbanan.. Mulia adanya...

Berpegangan tangan, dalam satu cita.... Demi masa depan.. Indonesia Jaya....”

Saling merapatkan tangan, berpegangan, pada keindahan pulau terpencil. Semua keterbatasan harus mereka jalani. Tak putus asa, bersama dan berharap Indonesia akan tetap, selalu, dan terus berjaya. Tepuk tangan riuh menutup lagu Indonesia Jaya. Bocah-bocah pun berlari, berpindah ketepian dermaga yang langsung berbatas dengan laut biru. Ada kebolehan lain yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak di pedalaman ini.

Lautan sudah menjadi tempat hidup dari nenek moyang mereka. Bentangannya luas serta dalamnya tak bisa ditebak, tidak membuat nyali mereka surut untuk melaut menuju pulau-pulau lain memenuhi kebutuhan hidup. Felix tiba-tiba berdiri di tepi batas jetty, masyarakat kampung Arborek biasa menyebut dermaga. Mengambil ancang-ancang, dan hanya dalam hitungan detik, dia melompat dengan gaya perenang kelas profesional. Tubuh langsingnya terbang keudara, lalu bagai anak panah badannya meluncur ke kedalaman laut tanpa perlengkapan menyelam. Susul menyusul mereka ingin menunjukkan permainannya.

Maria dan Anastasia, dengan gayanya terbang bagai pesawat, dan byuurr... menjatuhkan badannya di atas air. Agus, dengan posisi duduk sambil mendekap kedua kakinya melompat dengan cara berbalik. Julius, memilih mengambil posisi tiduran terlentang dengan santai, dan air laut seolah menjadi tempat tidur empuk baginya. Martha, bagai perenang indah, memutar badannya di udara sebelum kulit legammnya menyentuh air. Okto, polos tanpa expresi mendadak menjatuhkan badannya seperti yang lain. Beberpa anak masih menyusul melompat dengan kekhasan gaya mereka. Termasuk Marthin.

“Ayo kaka Padi! Kaka bisa lihat ikan dan karang bagus dibawah sini!” Teriak Martha yang sudah mengambang di permukaan air.

“Nanti kaka tidak bisa nafas dibawah air, yo..!” Teriakku dari atas dermaga

“Ada banyak plankton yang bisa bantu kaka kasih nafas, so...!” Teriak Felix

“Mereka pikir kita ini mamanya plankton, yo...!” Jawabku sambil berteriak melompat ke laut.  

“Sawa, turun! Ada putri duyung cantik masih perawan di dalam sini!” Teriakku. Sawa lalu mengambil jarak beberapa meter kebelakang, dan dia pun berlari sambil berteriak melepaskan badannya ke udara dan jatuh di karpet air laut jernih.

Coral-coral mungil berwarna-warni, merah, oranye, biru, menempel elok pada kayu penyangga dermaga. Membentuk kehidupan baru, dan menjadi tempat bermain antara anak-anak dan ikan-ikan lain. Tak ada yang ingin saling mengganggu. Belum selesai kekagumanku melihat anak-anak yang masih menyelam, empat anak-anak lain sekitar 10 tahun, tengah mendayung perahu kayu sederhana menuju ketengah lautan tanpa rasa takut. Anak-anak akan terus mengingat ranah kelahirannya, temannya, tempat bermainnya, dan bumi tempat mereka berpijak.

Terletak di Meos Mansar, Raja Ampat, Papua Barat, kami hanyut dalam kehidupan sederhana para nelayan dan keluarganya di kampung Arborek. Kampung nun jauh dipedalaman, namun masyarakat lebih mengerti budaya kebersihan. Tak ditemui sampah berserakan. Bak sampah bisa ditemui didepan rumah penduduk. Masyarakat yang mengenyam pendidikan sekolah rendah itu, akan memungut sampah berserakan tanpa banyak bicara dan membuangnya di tong sampah.

“Kaka pergi kemari naik pesawat terbangkah?” Tanya Okto pada Sawa. “Betul sekali.” Jawab Sawa tersenyum. Okto lalu melihat ke atas langit.

Mama-mama tak ingin menghabiskan waktu untuk arisan. Selain menangkap lobster dan memproduksi mutiara, mereka berkumpul merajut topi dan noken. Sebuah pekerjaan yang dianggap feminin dan hanya dikerjakan kaum hawa. Kebaikan, perdamaian, dan kesuburan menjadi simbol pada rajutan noken yang memang berbentuk seperti kandungan perempuan. Saat laut surut, mama-mama juga akan menyisir pantai, menapak kaki diatas pasir mencari apa saja binatang laut yang bisa dimakan. Senyum mereka tetap mengembang atas segala karunia didepannya.

“Yang manakah pacar nona Padi?” Tanya seorang mama.

“Hayoo tebak yang mana..?” Jawabku santai.

“Mata ketiga laki-laki muda itu mencintai nona padi. Tapi ada rasa duka pada wajah si kembar.” Jawab seorang mama serius. Aku menatap mama, lalu memandang Nakul dan Sawa dari kejauhan. Pikiranku kosong.

“Mata si kembar tidak ingin meninggalkan nona, tapi si kembar harus pergi.” Kembali si mama berbicara. Aku mencoba tidak menafsirkan apa-apa. Tapi aku kembali diam.

Duduk dipangkuan Juna, Patric terlihat begitu nyaman sambil mengunyah makanan yang sudah kami siapkan. Berkali-kali kami diam menyaksikan ketulusan antara mereka. Anak-anak saling berbagi makanan dengan adil diatas dermaga. Tak ada yang ingin mendapatkan lebih, dan mengucap terimakasih dengan sopan. Yang besar membibing yang kecil, tiada saling mengolok, dan yang kuat tidak merasa berkuasa.

Menyentuh dan belajar dari alam secara nyata. Adat sederhana, berjalan alamiah karena kebiasaan, belum rusak oleh budaya yang membodohkan. Bahkan ketika salah seorang anak tak ada, mereka menitipkan makanan yang menjadi hak anak itu pada orangtuanya. Aku dan Nakul tengah asyik menyuapi empat anak kecil berumur 2 tahun. Juna dan Sawa mengajari anak-anak mencuci tangan sebelum makan. Kami membagikan kantong plastik berisi sabun mandi, sikat gigi, pepsodent, buku tulis, pensil, dan bulpen pada anak-anak.

“Besok kita gosok badan pakai sabun wangi, yo... Tidak pakai batu pantai..!” Maria berceloteh

“Nanti kalau kita meludah, ludah kita warnanya pasti putih, so.. Karena pakai pepsodent, tidak pakai pinang!” Julius menimpali

“Kau harus tau dulu cara gosok gigi dengan pepsodent, yo..!” Agus menasehati Julius

“Pepsodentnya jangan kau taruh di gigi lalu kau sikat! Tapi pepsodentnya kau taruh disikat, baru kau gosok gigi!” Agus menjelaskan panjang lebar, anak-anak yang lain mendengarkan.

Duduk diatas dermaga bercengkerama dengan alam biru, kami saling berbincang, mendengarkan kisah anak-anak. Agus, bercerita tentang purnama yang indah, karenanya dia akan selalu mencintai tanah kelahirannya. Maria, ingin menjadi bidan supaya bisa menolong banyak wanita melahirkan. Julius, ingin tetap tinggal di desanya, melindungi dan menjaga ikan-ikan serta karang supaya tetap elok. Martin, ingin kuliah selesai SMA. Martha, ingin menjadi guru supaya anak-anak di kampung Arborek semakin pintar. Okto, ingin menjadi nelayan tangguh seperti ayahnya. 

Matahari kian condong ke barat. Saatnya semua harus kembali kekehidupan masing-masing. Raut wajah anak-anak berubah diam, saat pamit sudah tiba. Ketulusan tak pernah mengenal berapa lama mereka dekat. Bersama belajar hal kecil dan sederhana, tak harus merasa hebat. Satu persatu saling memeluk, menggenggam hati yang tak pernah pergi. Kemesraan itu akan tetap hangat, seperti matahari yang akan datang setiap pagi. Kamiakan selalu mengingat keindahan pulau dan anak-anak di kampung Arborek. Kami memeluk erat mama-mama yang sudah berdiri di dermaga. Maria dan Martha diam meneteskan air mata. Aku menghampiri dengan penuh kasih.

“Hai, kalau nanti kita bertemu, kaka ingin dengar cerita kalian lebih banyak lagi!” Aku menghibur mereka.

“Kejar cita-cita kalian, jangan putus asa!” Aku terbata-bata dan memeluk erat kedua bocah itu.

“Kaka akan datang kemari lagi kah?” Tanya Okto.

“Kalian yang harus belajar keras, tidak menyerah, lalu bawa cerita ke tempat kaka di Jakarta.” Kata Nakul memberi semangat ke anak-anak.

Berdiri berjajar di tepian dermaga, anak-anak melambaikan tangan, berteriak mengucapkan terimakasih, serta memberi salam selamat jalan dengan raut muka sedih. Dari atas kapal kami melambaikan tangan perpisahan. Kampung Arborek dan anak-anak terlihat makin kecil lalu tinggal lautan biru dan gulungan ombak kecil.

 

ADA MANTA DAN DAN SENJA DI WAISAI YANG SEMAKIN MENGUKUHKAN ELOKNYA RAJA AMPAT.... TUNNGU YA.... LANGIT SORE DI RAJA AMPAT Part 7

*****

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel