LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... Part 8

14 Sep 2015 20:10 11657 Hits 300 Comments Approved by Plimbi
Malaria dan perjalanan menuju Wayag, mengajarkan hal tak terduga pada Padi, Juna, Nakul, dan Sawa

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part 1
Langit Sore di Raja Ampat Part 2
Langit Sore di Raja Ampat Part 3
Langit Sore di Raja Ampat Part 4
Langit Sore di Raja Ampat Part 5
Langit Sore di Raja Ampat Part 6
Langit Sore di Raja Ampat Part 7

 

BAB VIII

 

Langit semburat merah sudah memayungi bagian laut di sebelah barat, dipantai Wisai. Sebuah pulau dengan rerimbunan hutan dan pohon kelapa dibawahnya berubah menjadi siluet. Perahu nelayan tradisional bergerak lambat dibawah senja, menuju lautan luas. Gemerlap kilau cahaya timbul tenggelam sambung menyambung mengikuti gelombang air karena pantulan sang surya. Berdiri berjajar didermaga kecil, kami memandang kearah sama. Membiarkan pikiran larut bersama pesona keindahan serta kesederhanaan para nelayan dengan segala keterbatasannya. Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, sengaja menghabiskan sore di pantai Waisai Torang Cinta atau WTC, yang tak jauh dari penginapan.

Duduk di taman kecil tepian pantai sambil makan jagung manis, “Besok terakhir kita menjelajahi Raja Ampat, di Wayag.” Kata Nakul, disebelahku. “Jun, jaga Padi baik-baik.” Kata Nakul lagi sambil memandang kearah senja.

“Aku juga mau minta kau jagain, Padi…?!” Kata Juna juga dengan santai sambil menguyah jagung manis.

“Kok kita jadi kembar tiga siam… aku juga punya pikiran yang sama…” Kata Sawa disebelah kiriku. Ketiganya bersamaan menatapku.

“Bagoooss… pada lempar tanggung jawab, nggak ada yang mau jagain toko, aku…” Komentarku santai pada ketiganya. Juna, Nakul, dan Sawa, mulai tersenyum pertanda ingin saling menjatuhkan lagi.

“Jualan apa, buk, tokonya…?” Tanya Juna

“Ada dalemannya bra, dalemannya cd, masih banyak lagi dalemannya daleman.” Jawabku santai. Kami berempat terkekeh.

“Kebanyakan merenung, kalian bertiga… buntutnya saling ngalah supaya persahabatan tetap jalan… iya, khaannnnn??!!” Tanyaku langsung menembak.  Juna, Nakul, dan Sawa sama-sama terdiam.

“Ok, aku jagain tokonya Drupadi, lengkap dan orisinil.” Kata Juna tegas.

“Aku juga mau jagain tokonya itu…” Kata Sawa.

“Eiitss… aku giliran jaga pertama… biar ngantuk sampai nungging, aku jagain, Promise, hony!.” Kata Nakul, sambil mengacungkan dua jari, diikuti Juna dan Sawa,  symbol ungkapan bersalah atas ucapan mereka bertiga. Aku menatap mereka dengan senyum menggoda juga.

“Kayaknya, Joe lebih pas jaga toko, aku…” Kataku sambil menggigit jagung manis, gigitan terakhir. Bertiga saling memandang, tenang.

“Angkat, Jun!” Kata Nakul , dan bertiga mengangkat tubuhku membawa ke tepi pantai. Aku mencoba untuk tidak berteriak.

“Lemparnya, ke air pelan, yo….” Kataku santai. Juna, Nakul, dan Sawa, terbahak dan memilih untuk tidak melemparku ke pantai, tapi membawa aku ketempat kami duduk semula.

Waisai menjadi ibu kota dari kabupaten Raja Ampat, terletak di pulau Waigeo. Dikelilingi oleh hutan dan laut. Selain masyarakat pendatang, suku asli seperti suku Biak, Maya, dan Ondoloren lebih mendominasi wilayah ini. Masyarakat suku asli lebih banyak hidup dalam kesederhanaan. Untuk mempermudah dan memperpendek waktu jarak tempuh menuju ke kepulauan Raja Ampat, Wisatawan lebih memilih singgah di Waisai. Kota kecil dengan ketenangan alamnya, kekhasannya, serta masyarakat yang terbuka.

“Siapa kira-kira nelayan itu, dan mau kemana?” Aku membayangkan si nelayan

 “Mungkin saja dia pejabat negara dengan wanita simpanannya yang sudah berumur.” Jawab Sawa.

 “Dibawah senja merona, si pejabat negara membaluri tubuh wanita tua simpanannya dengan lembaran dolar Singapura.” Aku menimpali dengan cuek.

“Kenapa kira-kira si pejabat pilih wanita tua buat simpanan?! Dia gosok-gosok pula badannya pakai dolar?!” Suasana saling terkekeh mulai tak terhindarkan. Kami semua diam sejanak.

“Ahh.. mata kau pasti salah lihat! dia belum tua! Tapi setengah matang!” Jawab Juna.

“Mungkin wanita setengah matang itu mau jual lagi ke Singapura! Makanya di gosok badannya pakai dolar supaya sampai di sana mengkilap lagi!” Nakul menimpali dengan cuek.

“Semua kekayaan negara sudah di jual! habis negara ini tidak punya apa-apa, so!” Kata Sawa.

“Kau salah lagi,Sawa! Itu bukan kekayaan negara! Itu simpanan pejabat negara! Bisa dijual kapan saja.” Kataku, santai. Sambil kami berlari menuju penginapan.

 

*****

 

Pukul 06.00,  kami berempat bersamaan melangkah menuruni tangga penginapan, hendak makan pagi sebelum menuju Wayag. Kami kaget melihat Yonathan berdiri di front desk , sedang berbicara dengan petugas didepan.

“Hai, Yonathan, apa kabar kah?” Juna menyapa.

“Kabar kita baik…” Jawab Yonathan. “Kabar Dani yang sedang tidak baik.” Sambung Yonathan. Kami bingung berempat, sesaat.

“Ada apakah dengan Dani?” Tanya Sawa

“Tadi malam, Dani masuk rumah sakit, karena malaria. Kondisinya sudah tidak baik.” Yonathan menjelaskan.

“Tidak baik bagaimanakah?” Tanyaku

“Dia sudah tidak sadar, badannya terlalu panas sekali, tadi malam kejang-kejang.” Dani menjelaskan. “Pusing kita disini menghadapi nyamuk-nyamuk penghisap darah yang mematikan itu.” Yonathan tampak kesal.

Setelah berdiskusi dengan Mas Alex, karena waktu juga masih pagi, kami pun memutuskan untuk menengok Dani ke rumah sakit, sebelum menuju Wayag. Bergegas, menggunakan mobil travel, mobil yang disetiri Mas Alex, keluar dari penginapan. Melewati jalan hutan yang masih tanah dan sepi.

“Malaria sekarang, kalau datang ke tubuh kita sudah tidak pakai tanda-tanda lagi,  langsung main hajar saja, yo...” Yonathan menjelaskan dengan bahasanya.  Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, prihatin sekaligus bingung dengan kondisi yang tidak mudah merubahnya. Tapi, masyarakat sendiri seperti sudah biasa dan akrab dengan yang namanya malaria. Bisa jadi, masyarakat juga sudah menyiapkan mental maupun badan, kalau sewaktu-waktu terkena malaria dan meninggal. Walaupun yang kemudian sembuh juga banyak.

“Bukannya ada tanda-tanda panas sebelumnya?” Tanya Nakul

“Itu dulu, sekarang langsung orangnya tidak sadar!” Mas Alex menimpali.

“Kalau nyamuk  yang mau menggigit permisi dulu, pasti kita cari solusi untuk supaya sama-sama enak..” Kata Yonathan tetap santai.

Tiba dirumah sakit yang terletak tak jauh dari hutan, sangat sederhana, dengan fasilitas pas-pasan, aku mulai pasrah. Kondisi alam Papua yang masih tertutup hutan dan beriklim basah, menjadikan Papua sebagai ladang paling subur untuk tumbuh dan berkembang biak nyamuk Anopheles dan parasite malaria. Ditambah perubahan iklim, ikut memicu penyebaran nyamuk dengan subur. Ditambah lagi persediaan obat yang sangat minim. Lengkap sudah. Karena itu, siapapun yang baru datang ke papua, diharapkan mengikuti saran dokter untuk minum odat malaria sebelum berangkat, selama di Papua, hingga beberapa hari setelah pulang.

Kondisi Dani memang terlihat sangat lemah, infus dan oksigen dipasang ditubuhnya. Dia juga tidak sadar. Dani yang menemani kami di teluk Mayalibit dan kampong nelayan Warsambin. Belum lama, dan memang serangan malaria cepat sekali. Berulang aku menarik nafas panjang melihat keadaan Dani. Sang mama yang menunggu disamping Dani, terlihat tenang, entah pasrah karena sudah biasa, atau berserah, keadaannya sudah menyatu. Setelah merasa cukup, Mas Alex meminta ijin untuk pamit.

 

Sepanjang  perjalanan menuju dermaga, kami berempat juga Mas Alex, lebih banyak diam. Sementara, Mas Alex dan Yonathan tampak biasa dan santai.

“Mas Alex, sudah pernah terserang malaria kah?” Tanyaku. Karena Mas Alex selalu berinteraksi dengan alam dan masyarakat Papua setiap hari dan dalam waktu yang lama.

“Belum pernah.” Jawab Mas Alex. “Resepnya, jaga kesehatan mulai makanan hingga kebersihan sebaik mungkin.” Sambung Mas Alex. “Minum air putih yang banyak setiap hari. Karena si nyamuk anopheles ini, ada dimana-mana.” Mas Alex menambahkan. “Sedia obat-obatan penurun panas, dll, sendiri.” Kita masih mendengarkan Mas Alex. “Kalau badan kita ada terasa tidak enak dan berbeda, kita sudah tahu apa yang harus dilakukan.” Kata Mas Alex.

“Misalnya seperti apa kah?” Tanyaku lagi.

“Kita harus langsung makan yang bergizi, makan buah atau minum juice buah, dan minum obat, termasuk vitamin, trus ke dokter.” Jawab Mas Alex. “Dan berdoa, itu penutupnya.” Sambung Mas Alex lagi. “Kalau hanya pendatang atau wisatawan, belum pernah terjadi.” Mas Alex menambahkan. Aku manggut-manggut.

“Proses dari digigit dan sakit, itu makan waktu yang lama. Apalagi umumnya wisatawan selalu minum pil anti malaria, sebelumnya, so..” Mas Alex menambahkan.

“Itu yang tidak kita lakukan, Nona Padi.” Kata Yonathan. “Susah, juga tidak tahu, kadang juga tidak punya uang,yo..” Yonathan menambahkan. “Sudah tahu badan panas, malah minumnya tuak.” Kata Yonathan santai.

“Obat-obatan disini juga susah, yo… kita selalu bawa sendiri dari Jakarta.” Kata Mas Alex yang ternyata juga tinggal di Jakarta. Tapi sudah bertahun-tahun bekerja di Raja Ampat. Odbrolan kami berhenti, saat kami tiba di dermaga. Dan ternyata Yonathan juga akan membantu kami ke Wayag. Dani yang sedang tergolek di rumah sakit, seperti terlupakan begitu saja. Malaria, barangkali sudah menjadi dessert bagi kehidupan masyarakat asli. Harus dihadapi dan dijalani, karena hidup harus terus berjalan.

 

*****

 

Seperti biasa, penjual ikan dan beberapa nelayan sudah menyapa ramah pada kami.  Masih pukul 07.30.

“Hari ini, nona akan berkunjung kemanakah?” Tanya seorang nelayan.

“Kita akan ke Wayag, bapa.” Jawabku berteriak

“Hati-hati, cuaca sedang sesuka hati dia!” Kata si bapa nelayan. “Apalagi melihat nona cantik, mungkin cuaca hari ini akan menggoda nona!” Nelayan lain menggodaku.

“Terimakasih, bapa..” Jawab kami berempat serentak.

“Hai, anak muda! Jaga kekasih kalian dengan baik diperjalanan, so..” Pesan si nelayan

“Pasti, bapa…” Jawab Juna, Nakul, Sawa, Yonathan, Mas Alex, Joe, dan crew lain bersamaan.

“Pusing kita! Banyak sekali kekasih, nona!” Kembali si nelayan berteriak, disambut tawa kami. Nakul, Juna, dan Sawa menatpku bersamaan, dan tersenyum. Sawa mengelus kepalaku dengan pandangan yang cukup dalam.

Joe, sudah mengambil haluan meninggalkan Waisai. Kami sudah mengenakan baju hangat dan pelampung. Waktu yang akan kami tempuh sekitar enamg jam. Kapal cepat terus melaju, angina kencang dan dingin serta cipratan air, mengiring sepanjang perjalanan. Memasuki perairan dalam, Dua speed boat dengan kecepatan penuh yang membawa kami menghentak keras diatas gelombang tinggi.  Kami harus berpegangan erat pada badan kapal. Tas yang berisi perlengkapan makanan dan baju mengelinding kedepan-belakang tanpa bisa dikendalikan. Demikian pula dengan speed boat satu lagi yang berisi beberapa crew dan perlengkapan untuk anak-anak. Baju hangat dan pelampung yang sudah kami dikenakan, seolah tak mampu menghalau udara dingin dan liar di perairan laut dalam.

Wajah dan sebagian baju ku sudah kuyup oleh air laut. Sementara sepanjang mata memandang hanya hamparan lautan dengan ombak menggulung tinggi.  Awan gelap tiba-tiba menutup langit biru, semua berubah menjadi gelap dalam waktu cepat. Juna membantuku memakaikan jas hujan sambil terhuyung dan tetap saling berpegangan.

Kami masih harus menjaga tas berisi kamera yang tentu saja harus aman dari jangkauan air. Kilatan petir mulai terlihat susul menyusul pada langit abu-abu gelap diikuti suara gemuruh. Hujan lebat disertai angin, turun bersama gelombang semakin tinggi. Air dari depan maupun samping seperti ditumpahkan masuk dalam kapal. Joe terlihat tetap tenang menguasai medan jelajah. Kami saling  menguat kan diri untuk tidak panik dan tidak lutah. Nakul mengeratkan tali pelampung yang aku pakai.

Berada ditengah samudra lepas, terkepung hujan lebat dan ombak tinggi menuju Wayag, Waegio Barat. Menjadi tantangan tersendiri bagiku, Juna, Nakul, dan Sawa. Tapi aku juga tidak membayangkan kalau cuaca memberikan sambutan yang sangat meriah kepadaku. Suasana semakin menggila. Hujan belum ingin mereda, sebaliknya semakin lebat disertai angin dan kabut. Juna, Nakul, dan Sawa, berusaha maksimal membantu Joe dan crew untuk memberi tahu situasi sekitar karena jarak pandang menjadi pendek.

Harapan kami hanya ingin segera melewati zona hujan dan gelombang tinggi. Sudah hampir satu jam, kami harus bertahan pada kondisi cuaca tidak baik. Bayanganku tentang kejadian di teluk Mayalibit, bermain dibenakku. Aku memegang erat tangan Juna yang masih berdiri membantu Joe, memberi tanda. Demikian juga dengan Nakul dan Sawa. Udara semakin dingin, Sawa memberiku masker yang diambil dari kantongnya. Joe masih mengendalikan kapal dengan tenang. Wayag masih jauh, perjalanan sudah empat jam. Mas Alex yang berada di kapal satu lagi juga mengalami hal yg sama, dan masih memberi kami tanda untuk tenang.

Ombak, hujan dan angin semakin tidak terkendali. Kami berusaha keras untuk tetap tenang, hentakan kapal sudah terasa sakit. Aku memejamkan mata, saat kapal miring kekiri karena terseret ombak. Nakul dan Sawa langsung menarikku ke kanan untuk menyeimbangkan kapal. Sawa memelukku, sedangkan Juna berusaha menahan air yang mengguyur kearah kami. Aku merasa tidak sendiri, ada orang-orang yang menyayangiku selalu berdiri disebelahku. Saat kami harus berserah, Sawa mencium keningku, Juna erat memegang dan mencium tanganku, Nakul masih berdiri disebelah kami bertiga sambil berpegangan pada tiang kapal, mengelus kepalaku dengan lembut.

Kali ini, aku merasakan gejolak kalbu dari Juna, Nakul, dan Sawa, seperti cuaca yang sedang bergolak. Aku tidak bisa pungkiri lagi getaran dalam hatiku. Namun sekaligus aku juga sedang tidak bisa memanjakan diri, karena cuaca yang masih mengombang-ambingkan kapal. Rasa yang menggelora, aku biarkan membentang seperti lautan, mengikuti kemana gelombang membawaku.

 

MAMPUKAH MEREKA TIBA DI WAYAG?  AKANKAH CUACA MEREDA KARENA KETULUSAN CINTA PADI, JUNA, NAKUL, DAN SAWA. Ikuti terus cerita selanjutnya diLANGIT SORE DI RAJA AMPAT Part 9

*****

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel