Memori Perjalanan Meraih Mimpi (04)

26 Feb 2016 14:05 2187 Hits 0 Comments
Rumah tangga perjaka tanggung

sambungan  Memori Perjalaan Meraih Mimpi 03

---------------------------------------------------------------------------------------

“Bubar barisan jalan” perintah pimpinan pleton.

“Satu, Dua, Tiga” suara serentak seluruh peserta

Bubar dari barisan kami berdelapan bergegas menjenguk Yadi yang berjalan sempoyongan di-bopong oleh dua bidadari yang muncul di siang bolong.  Sosok lelaki yang tangguh ketika berhadapan dengan traktor di sawah berhektar-hektar sedang ketiban duren di lapangan tandus yang sewaktu-waktu bisa membuat kita pengap. Akibat sapuan debu kesana-kemari tanpa pandangan bulu.

“Beruntung sekali kau Yad ?” ujar Amrih sambil memegang kepalanya.

“Ini rejeki nomplok yang perlu kau syukuri, kapan lagi digotong selir” timpal IU.

Meski ditenda orang lain. Kami tidak canggung untuk memojokkan Yadi dengan bahasa-bahasa yang sinis. Tubuh gempal dengan kulit sawo matang, sungguh aneh jika harus sempoyongan menghadapi terik matahari yang panasnya jauh dibanding membajak sawah di Klapa Sawit. Alasan untuk mengundurkan dari lapangan upacara, mungkin tipu muslihat untuk untuk di-bopong dua dewan kerja tadi.  Kalau toh dewan kerja yang akan menolong tidak sekinclong mereka berdua. Besar kemungkinan, Yadi hanya kebelet buang air kecil.

“Haha. Jangan pada ngiri. Rejeki sudah ada yang mengatur masing-masing” tawanya meledak-ledak.

“Kalaupun, dua wanita tadi tak kinclong. Pasti sempoyongan bakal tertunda” ledek Riyan.

Terlihat geromblan dewan sedang berkeliling akan melewati tenda yang kami tempati untuk berledek ria. Satu per satu tenda di periksa oleh masing-masing dewan.  Kami pun lantas menyudahi duduk santai untuk kembali ke habitat asal. Melewati tenda-tenda wanita, melihat mereka begitu semangat dalam mempersiapkan dinner pertama di bumi perkemahan.  Tak dinyana, Kak Yasin sudah duduk manis sambil melamun di depan tenda.

“Darimana kalian ?” tanya Kak Yasin.

“Habis jemput raja, kak” jawab Amrih.

“Hah ? Siapa ?” raut mukat keheranan.

“Yadi, kak.  Habis dikerubuti dua selir sekaligus di siang bolong.  Masa Cuma sempoyongan di-bopong sama Kak Febi dan Kak Maryuni. Sungguh ketiban duren, kak” menjawab keheranan Kak Yasin.

Tetangga sebelah sudah mulai sibuk dengan ritual mengolah bumbu-bumbu dapur.  Ada yang bagian “pengairan” sedangkan lainnya merapihkan tenda serta pagar-pagar.  Depan gapura disediakan semacam meja kecil dengan buku dan pulpen untuk para pengunjung. Hampir semuanya sibuk mempersiapkan dinner serta kenyamanan malam pertama.

“Is, ambil air di sungai ?” perintah Aji.

“Siap, ayo IU” ajakku.

Bertindak sebagai koki Aji tidak menyia-nyiakan waktu untuk meramu masakkan serta menghidupkan pawon. Regu kami sepakat tidak menggunakan kompor, pertimbangnnya membiasakan hidup sederhana serta batang bawaan agar tidak terlalu berat. Membuat pawon ala kadarnya, dari 8 biji batu pata yang ditemukan ditempat serta mengambil ranting-ranting kayu di sebelah lapangan sebagai bahan bakar.  Pria bertubuh kurus, memulai menggoreng. Asap pembakaran yang dihasilkan membuat tetangga tenda terkena imbasnya. Ibarat kebakaran hutan di Riau, negara-negara tetangga akn terkena dampak penyebaran asapnya, begitu juga pawon.

“Walah pakai pawon. Pantas saja asapnya main kemana”  kata Peni tenda sebelah.

“Nda, punya uang buat beli minyak tanah” jawab Aji sambil tertawa.

Memasak dengan pawon bukan hanya sehari ini saja. Melainkan selama menjalani hidup di Jembangan. Riyan, Munir, serta Wahyu mencari ranting-ranting untuk memenuhi persedian bahan bakar. Berutugas sebagai pegairan alais pengangkut air dari sungai ke tenda.  Amrih dan Aji sebagai bapak rumah tangga yang disibukkan dengan urusan dapur.  Layaknya rumah tangga, kami berperan sesuai tugas demi menunju rumah tangga yang sakinah, mawaddah, serta warahhmah.

Tepat sebelum matahari terbenam, seluruh masakkan sudah siap untuk disantap. Kawan-kawan yang sudah segar bugar setelah mandi di kali belakangan bumi perkemahan. Lauk berupa tempe kering, mie serta sayur sop sudah siap santap. Tiba-tiba dari depan datang sosok dewan yang terkenal garang, Kak Lukman alias Komeng.

“Ayo solat dulu, makannya nanti !” perintahnya.

“Iya, Kak” serentak kami menjawab.

Malang tak bisa ditolong.  Perut yang sudah keroncongan setelah ditahan sejak siang hari. Setelah semua siap santap, malah sosok itu datang.  Kalaupun ngeyel  makan dulu bisa brabeh jadinya.  Kak Lukman, dewan yang bisa dikatakan killer, kaku,  serta tak pandang bulu.  Hampir setiap minggu regu kami bertemu dilapangan.  Tak ada, kata-kata manis kalau atribut serta anggota tidak lengkap. Bayang-bayang minggu ke minggu selalu saja begitu. Meskipun rasa bosan semakin menghujam, tapi kenyataan sebuah proses yang harus di lalui.

Sambil berjalan berduyun-duyun dibelakang Kak Lukman menuju depan  secretariat. Disana kami sudah ditunggu dengan belasan tikar yang meminta di hamparkan sebagai alas untuk beribadah.  Sementara IU dan Yadi mempersiapakn pengeras suara.  Pak Muhajir yang sudah memerintahkan Adzan, Yadi langsung tancap gas mengumandangkan panggilan solat.  Iring-iringan pujian sebelum solat membuat suasana bumi perkemahan. Solat berjamaah di alam terbuka, akan dilaksanakan selama  3 hari. Berlanjut pembacaan surat yasin serta tahlil sebagai ritual memohon perlindungan serta keselamatan kepada Tuhan. Rangkaian ibadah ba’da maghrip di akhir dengan solat isya berjama’ah.

Perut keroncongan yang sudah ditahan sejak sebelum solat magrib.  Seakan  cacing di perut sudah meniupkan terompet pertanda lapar. Aku langsung ke belakang, sebelum selesai do’a. Ternyata Aji dan IU sudah stand by di tenda mempersiapkan makan malam pertama.  Ternyata dibelakang langkahku, Riyan, Supri, Wahyu, Yadi dan Amrih membuntuti. Cacing mereka senasib denganku.  

“Serbu !” ujar Yadi.

“Kalem, Bro !” timpal Aji.

Sembilan tangan berkumpul dalam satu tempat.  Makanan yang tak jelas rasanya, tak ubahya  duren di padang pasir.  Kebersamaan sesungguhnya kenikmatakan yang tak tertandingi  harganya. Sekat-sekat perbedaan karekater, kepercataan hingga gebetan tidak pernah menjadi masalah selama tetap ada keinginan untuk musyawarah. Satu rumah uang pun, tidak bisa membeli kebersamaan yang sudah mengakar sejak dini yang akan meimbulkan rasa   rindu di masa mendatang.

“Sudah kenyang, ada yang kurang ?” ucap Yadi

“Kurang asing masakanku ya ? Sory” jawab Aji.

“Kurang rokok bro “ disambut gelagak tawa.

Bersiap-siap mengenakan pakaian pramuka untuk mengikuti apel malam. Hari yang sudah mulai gelap, udara dingin menyelimuti bumi perkemahan.  Aji dan IU sengaja di tinggal di tenda untuk menjaga keamanan tenda.  Hal tersebut sesuai dengan intruksi dewan kerja, supaya tidak meninggalkan tenda dalam keadaan kosong.  

Berkumpul di lapangan mendengarkan  cerita inspiratif dari seorang pengusaha keset, Irma Suryati asal Kebumen. Tubuhnya yang sudah terkena dampak polio sejak lahir.  Ketika mendirikan usaha pertama kalinya, ia benar-benar kebanjiran pesanan. Kala itu ia masih memiliki toko di tanah abang. Naas, tokonya terbakar ludes sampai-sampai tidak ada yang bisa diselamatkan. Ketika ia terjatuh, justru Irma kembali ke Kebumen. Mencoba kembali usaha yang sebelumnya ia geluti.  Tahap demi tahap ia lalui dengan kerja keras.  Sampai-sampai Rustriningsih, Bupati Kebumen saat itu. Menemuinya untuk melihat secara langsung proses pembuatan keset.  Irma tidak cukup canggung, sehigga Ibu Bupati menyarankan agar ikut memberdayakan kaum difabel.  Selain itu Irma Suryani sudah mendapatkan penghargaan sebagai Wirausaha Teladan dari kemenpora tahun 2007 dan Perempuan Berprestasi oleh Bupati kebumen Rutriningsih pada tahun 2008. Sungguh luar biasa, panji-panji semangat wirausaha dari beliau.  Ibu Irma sedang menyebar benih-benih wirausaha kepada segelintir anak bangsa yang sedang menahan kantuk di tengah lapangan. Sehingga sampai kaget mendengar komando dari pimpinan pleton.

“Siap grak”

“Hey, Bangun !” raungan itu terdengar sampai kupingku.

Tanpa cang-cing-cong. Kami semua dibubarkan untuk menikmati malam pertama di bumi perkemahan. Meski ada beberapa yang memilih untuk curhat dengan teman di malam hari atau menahan kebelet pipis.  Tapi endapan angin serta rasa kantuk sudah merasuk kedalam jiwa.

-----------------------------------------------------------

Tags Ulasan

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel