Dilema KRS, Mahasiswa Tingkat Akhir dan Status

16 Feb 2016 19:28 3416 Hits 0 Comments
Malaikat juga tahu, apa yang jadi permasalahannya

Pusing  pala Barbie. Memasuki bulan kedua di tahun 2016. Hal-hal krusial mengenai masa depan studi di kampus menjadi harga mati. Perjuangan selama 6,5 tahun mencari titel bernama strata 1 akan sirna begitu saja kalau membayar registrasi. Selain itu, perjuangan berpacaran dengan mba skripsweet demi menghadap dengan dosen pembimbing ku kebut hingga menelan waktuku bersama puluhan mantan yang berkala mengajak kencan.

Iya. Bulan yang bernama Februari itu menjadi sejarah “kalang kabut” jikalau kita masih saja nyantai dengan transferan orangtua. Itu sangat mudah bagi mahasiswa kalangan atas. Lha, kalau mahasiswa seperti saya mau bagaiman ? Transfer dari orangtua telah dihapus dari RAPI (Rencana Anggaran dan Pembelajaan Individu) sejak semester kedua. Tentu bukan hal mudah ketika menghadapi bulan registrasi.  Harus silaturahmi sana-sini untuk mendapatkan tembelan keuangan demi kelanjutan perjuangan di kampus menggondol titel strata satu untuk menjadi sarjana desa.

Kampus-kampus kini bukanlah tempat orang-orang kuno yang gagap teknologi. Melainkan tempat orang-orang yang melek teknologi untuk memudahkan pekerjaan. Ribuan LCD, layar, serta benda-benda high technologi menjadi pesanan kampus-kampus.  Barang siapa yang memiliki high technologi maka kampus tersebut akan menjadi kiblat kampus-kampus yang lain. Kalau masih mengandalkan, manual searching buku perpustakaan. Jelas mereka tidak sadar akan tuntutan mahasiswa sekarang.

Bulan Februari yang sangat ramai dengan gerakan para akhi-ukhti mempromosikan tutup aurat nasional bahkan internasional. Tidak berpengaruh terhadap kinerja para praktisi sistem kartu rencana studi (KRS) online di kampus. Mereka masih saja sibuk dengan perkara-perkara bertele-tele.  Membiasakan memberi pengumuman yang mendadak serta mengalihkan isu soal hak-hak mahasiswa dalam pengambilan mata kuliah.

Ini bukan soal hak mahasiswa lain yang mengusik hak mahasiswa lainnya. Melainkan soal professional tidaknya seorang juru laksana menghadapi gelombang pengambilan mata kuliah. Kita tentunya tidak mungkin menata program semudah kartun Doraemon mengabulkan permintaan Nobita untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan sekejap itu selesai. Permasalahan ini bukan mencari-cari siapa salah dan siapa yang benar.  Melainkan jalan tengah untuk mendapatkan jalan yang terbaik.

Mahasiswa tingak akhir semacam saya. Tidak begitu sibuk dengan permasalahan tersebut.  Wong ngurus skripsweet saja selalu gagal di meja guru bimbingan karena kurang rapih dalam pengetikan dan muka kusut yang selalu kutampilkan di depannya. Apalagi ngurus soal KRS-online yang tidak penting sama sekali. Karena “Malaikat juga tahu, siapa yang jadi permasalahannya”

Kegundahan di bulan Ferbruari tentu saja bukan soal hari Valentine yang amat sangat di tentang oleh agama. Menjadikan kelompok-kelompok tertentu membuat acara tandingan agar tetap eksis di instargram, twitter, dan facebook. Giliran facebook dan twitter mau tutup lapak, pada geger mau eksis dimana. Pengalaman demi pengalaman dalam acara valentine ini bukan soal halal dan haram saja.  Melainkan “apatis” terhadap siapa yang melakukannya. Selama dia tidak melakukan pelanggaran secara hukum dunia, maka tidak sepatutnya kita mencela sedemikian dalam.  Walaupun saya sok bijak, ini berkaitan dengan harkat martabat sebagai jomblo terhormat dengan tidak memaki-maki kaum valentinarian.

Beranjak dari hari kasih sayang, saya tidak habis pikir. Persoalan demi persoalan selalu mengejar-ngejar saya bak ular memburu tikus.  KRS yang sudah online menjadi tranding topik dikalangan mahasiswa tertentu. “Mentang-mentang anak kuliah bisa update KRS”  cuit salah seorang akun. Rasanya baca cuitan tersebut menjadi nano-nano.  Sebenarnya dalam dibalik ini semua siapa ? Pihak mahasiswa atau birokrasi kampus ?

Muncul kalimat “Ngurus hati aja nda kelar-kelar, apalagi ngurus KRS”. Mak jleb, jelas itu sebuah doktrinasi yang mencoba meluluh lantahkan dominasi para jomblo yang mengeluh di media sosial mengenai KRS. Mungkin perlu adanya Yasinan atau Tahlil untuk juru laksana agar lebih tegar, segar, serta bugar menghadapi segala marabahaya.

Hemat, saya KRS, Mahasiswa tingkat akhir, serta status merupakan satu dari sekian ribu khazanah permasalahan KRS. Wewe gombel tidak mungkin datang ke kos hanya untuk meminta satu batang rokok. Toh, dia masih bisa jalan ke Alfamart atau Indomaret untuk membeli sebungkus rokok.  Begitupun mahasiswa tidak hanya berkeluh kesah soal KRS-online dengan pacar, mantan, atau sahabat. Melainkan melalui media sosial yang dapat menjadi sebuah gelombang berujung “#save”.

Tapi, tetap pelihara kebiasaan beralasan demi membangun negeri yang lebih lama menuju kemakmuran.

Salam pelem dari R.Lesen

sumber gambar : mutiarasintetis.ga

Tags Ulasan

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel