Tuhan, Mengapa Tak Seindah Dulu?

20 Dec 2015 00:04 2425 Hits 1 Comments
Hidup tak selalu indah. Karena faktor lingkungan.

Pagi hari belum cerah, matahari laha-lperlahan memberontak menunjukan keperksaannya. Saat itu aku sudah berada di sebuah emperan rumah yang begitu kumuh. Apalagi ditambah dengan debu-debu pasir yang berhembus terbawa angin ke depanku. Tanah kering dan sungai surut, bunga-bunga layu bahkan tidak ada lagi yang harus harus kusirami karena mati satu-persatu. Aku masih duduk sembari membayangkan keindahan dulu semasa masih kanak-kanak.

Dalam sebuah desa kecil dan terpencil. Aku masih ingat sepuluh tahun yang lalu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Disinlah aku bermain dengan udara yang bersih dan air berlimpah-luah sebelah selatan kampung Pamedaran yang terletak di kecamatan Ketangungan-Brebes desa ini terpencil dari keramaian kota. Tak jauh darisana hutan yang begitu lebat, pasti bilang menyeramkan bagi orang pertama kali melangkahkan kakinya ke hutan tersebut. Hutan yang menjadi lahan sapi untuk menyantap reruputan. Angon atau gembala sapi masih banyak dilakukan oleh orang-orang desa. Aktivtas masyarakat selain ke sawah ke hutan juga sebagai lahan mata pencaharian.

“ Diki...Diki...”, ibuku memanggil-manggil. Setiap kali aku pulang sekolah, aku disuruh untuk menyusul kakakku yang sedang angon di hutan. Aku selalu dilibatkan untuk mengurusi sapi-sapi yang tidak banyak jumlahnya. Tapi aku merasa senang aku masih bisa bermain dengan kakakku yang selalu setia mengusrusi sap-sapi di hutan. Manusia memang tak lagi egois terhadap dirinya sendiri selalu rakus dengan memakan harta yang dengan segala cara untuk mendapatkanya. Aku datang menghampiri ibuku untuk mengambil masakan yang sudah disiapkan dalam sebuah buntelan pelastik hitam. Biasanya ibuku menyiapkan dua bungkus nasi, yang satu untuk Kakak dan yang satu untuk Bapak.

“Nanti bawa ya bungkus nasinya di atas rak, antarkan buat kakakkmu”, ibu memerintah aku suruh membawa bungkusan nasi itu, “ iya bu ini yang satu buat bapak ya? ”, jawabku. Sebenarnya akau sudah mengetahui bahwa yang satu bingkisan untuk Bapak yang biasanya Bapak menggarap sawah menanam padi dan jagung saling bergantian seusai panen. Bapakku masih bisa mengatur dalam bercocok tanam sesuai dengan kebutuhannya. Karena irigasi air yang berlimpah-subur mengalir dari hutan yang hampir setiap saatnya bisa menikmati dan melihat begitu suburnya Negeri ini.

Kesuburan itu membuat diriku betah dan bangga menjadi seorang petani. Bisa menghasilkan bahan-bahan poko pangan, yang selalu dibutuhkan oleh orang banyak. Dengan petani kita bisa memberi makan orang-orang yang selalu membutuhkan makan setiap harinya. Alangkah negerinya Negeri ini andai saja petani tidak mau lagi bercocok tanam. Siapa yang akan memberi makan Rakyat Indoensia ini. Indonesia akan kerepotan dengan sendirinya, dengan menginpor beras dan bahan-bahan pokok pangan lainya dari luar Negeri ini membuat semakin miskin Negara kita.

Aku berjalanan membawa bingkisan, bingkisan ini untuk kakakku yang sedang bekerja keras mengurusi sapi-sapi yang ada di hutan. Biasanya dia selalu ada di tempat yang sama, selain mengurusi sapi kakakku menyiapkan kayu bakar yang sudah berserakan di bawah untuk nantinya di bawa pulang untuk memasak. Inilah sekilas kehidupan yang masih  terbayang dalam benaku, "musim kemarau ya kekeringan, musim hujan ya kebanjiran"  aku berkata dalam benaku. Hutan gundul akibat penebangan liar, dan sungai kekeringan tanpa air mengalir, ketika hujan banjir pun tidak bisa dihentikan.

Pagi ini aku masih duduk termenung dengan terpaan angin. Aku sudah sadar dengan hidup ini, orang-orang yang merusak lungkungan, sumber daya alam tanpa perasaan mereka menggaruk semua dari huta. Tak ada lagi air bersih, tak ada lagi kayu, tak ada lagi hewan-hewan tak ada lagi yang harus kubanggakan sebagai seorang petani. walaupun hujan terus mengguyur yang ada hanya banjir dan sawah basah sesaat, air langsung surut.

Ini juga bisa membuktikan bahwa hukum yang ada di bumi pertiwi ini menjadikan lebih lemah, bukannya hukum tersebut semakin kokoh.

Sumber Foto: frewaremini.com

Tags

About The Author

Jaedin el-Barbazy 25
Novice

Jaedin el-Barbazy

Jaed, penikmat lagu dewa. Mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Jaedin el-Barbazy