Piscok Aroma Cinta

12 Oct 2015 19:03 2866 Hits 0 Comments
“ Wanita yang ada disampingku adalah tunangan yang telah ku pilih akan menemani hidupku sampai akhir hayat “ ucapku dalam pembukaan ulang tahun ku.

Mentari pagi telah memancarkan sinarnya. Tak ada perubahan yang berarti bagiku.  Berangkat kampus, nongkrong bareng sama Riyan, dan pulang ke rumah yang penghuninya entah kemana. Bapak dan Ibu selalu sibuk dengan urusan kantor . Yang ada hanya aku dan bibi Rinah pembantu sejak umur kandungan ibuku, 6 bulan.

Menjelang waktu ashar jalan - jalan ke taman kota menjadi pilihan. Dari pada jenuh di rumah.

"Mau kemana Den, Reno ?" tanya bi Rinah.

"Jalan ke taman kota bi, bosen liat bibi terus di rumah" jawabku sembari ketawa.

"Ya sudah. Hati - hati di sana, jangan lupa bawakan bibi jajan" menyerahkan kunci garasi.

Menginjak umur yang kedua puluh di tahun 2015. Predikat "jomblo nano" masih melekat pada pria yang bernama lengkap Reno Saputro. Jujur sejak dilahirkan dari rahim ibu sampai sekarang aku belum pernah punya pacar.

Nongkrong di taman kota memang sangat miris. Cowo yang katanya ganteng, kaya, dan rendah hati selalu sendiri di samping pagar besi taman kota. Lihat pojok kanan kiri dua sejoli saling memadu kasih. Aku hanya di temani dengan piscok yang selalu ku beli untuk teman melamun.

Tiba  tiba ada muncul wanita piscok yang wajahnya tak asing bagiku.

 "Piscok, piscok, piscok"  terdengar di balik pohon ku bersandar.

"Pesan satu piscoknya" sambil mengacungkan uang.

"Ini kembalianya mas" memberikan senyum manisnya.

"Lho kok kembalian, biasanya harganya Rp. 2000".  tak jadi membalas senyumnya.

"Iya emang sekarang harganya segitu mas" sembari menutup tremos kecilnya dan melanjutkan berkelilingnya.

Serasa ada yang janggal di piscok ini. Kalau berdasarkan pepatah jawa "rego mawa rupa". Jadi, piscok yang harganya Rp. 2000 dengan Rp. 1500 pasti berbeda tingkat ke-enaka-nya. Apa yang terjadi setelah kucoba ?. Ternyata, pepatah itu tak berlaku bagi piscok yang ku makan hari ini. Teman melamun kali ini adalah piscok paling lezat yang pernah ku makan di taman kota. Di tambah penjual yang cukup manis.

Tiba - tiba pikiranku berkecamuk, bertanya-tanya siap wanita penjual piscok itu. Serasa pernah melihat saatku beraktivitas di kampus. Entah itu kakak tingkat atau adik tingkat. Pastinya, wajah seperti itu tak asing di benakku.

Keesokan harinya, aku kembali kembali ke taman kota pada waktu yang sama. Di temani kawan karibku, Riyan Suseno. Kali ini berbeda datang ke tempat itu dengan misi yang berbeda. Menyempatkan waktu untuk mengambil foto penjual piscok yang membuat pikiranku berkecamuk tak karuan.

"Kamu lagi ngapain, nyari sesuatu yang gak penting banget"  ucap Riyan agak aneh

"Misi kali ini adalah menyelidiki wanita penjual piscok itu" balasku sambil berjalan ke sebuah tempat duduk.

Tepat di tempat duduk saat ku membeli piscok pada wanita itu. Semakin yakin dalam hati, bahwa itu adalah penjual piscok yang kemarin. Tanpa pikir panjang aku memotretnya dari kejauhan agar tak ketahuan. Misi hari ini sangat memuaskan diriku. Rencanaku ak an berjalan mulus tanpa fulus.

Mentari pagi belum sempurna menyinari makhluk di bumi. Hari itu adalah realisasi dari rencana gilaku. Berangkat menuju kampus tidak seperti biasanya, bi Rinah pun sempat kaget, karena aku belum sempat sarapan. Menempelkan foto wanita penjual piscok di mading-mading kampus bertuliskan DPO ( Daftar Pencarian Orang ).

Sontak kampus pun menjadi riuh dan ramai. Antara tawa dan cercaan di lancarkan kepada wanita yang foto nya ku tempelkan di mading kampus. Tiba - tiba cewe itu menghampiri salah satu mading yang terletak di pojok laboratorium biologi.

"Ada apaan ini, kok rame banget ?" tanyanya penasaran.

"Masa gak tahu, itu loh asisten penjaga laboratorium yang jadi DPO" jawab salah seorang pembaca.

"Masa sih ?" sambil mendekat ke mading.

Hati yang langsung tersentak. Membuat tangannya meraih semua foto - foto yang tertempel untuk di sobek - sobek. Sambil menumpahkan kekesalan, aku berlari menuju kamar kecil. Diriku bertanya - tanya, apa salahku ?. Hingga orang itu tega mempermalukannya di depan umum.

Lain tempat, rasa sedih masih menghiasi wanita penjual piscok. Membawa termos kecil yang terbiasa dengan semangat kali ini hilang dan hanya termenung di bawah pohon beringin yang berumur tua.

"Beli piscok neng ?".  ucap Reno sambil memberikan senyum pada penjual.

"Ambil saja mas" balas kecut.

"Ambil semuanya aja" sembari mengambil termos dan memberikan uangnya.

Aku merasa iba terhadap apa yang ia hadapi. Itu memang di luar ekspektasi rencana gila. Tak kira ia hanyalah mahasiswa biasa yang tiap hari kuliah terus pulang dan jualan piscok di sini. Usut punya usut, dia malah salah satu asisten laboratorim di fakultas biologi.

Menemaninya saat sedih, aku berniat untuk meminta maaf kepada wanita yang belum ku ketahui namanya.

"Aku minta maaf ya ?" ucapku lirih.

"Emang salah apa ? Mas tau aku juga enggak ?" balasnya cuek bebek.

"Aku itu yang menempelkan foto - foto saat kau menjual piscok" terucap dari mulut dengan satu nafas.

Sejenak suasana hening menyelimuti kami. Entah apa yang akan dilakukan oleh wanita penjual piscok. Pentingnya aku sudah meminta maaf yang setulus hati ku. Wanita itu menyudahi duduk di bawah pohon beringin. Ia menjulurkan tangan pada ku yang kemudian ku balas.

"Terimakasih telah membuat saya lega dan terkenal" ucapnya bernada datar.

"Iya sama" balasku di tambah senyum.

"Plak, plak" pipiku di layangi tamparan yang keras.

"Apa - apaan maksudnya, lelaki gak sama sekali gentleman kaya gak punya harga diri sama sekali. Aku paling sebel sama lelaki yang kaya, manja, dan gak gentleman" ucapnya nada arogan.

"Tapi aku pengen kenalan sama kamu" memegangi pipi yang tertampar.

Wanita itu pun meninggalkanku tanpa pamitan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula pribahasa yang pantas untuk diriku. Sudah tidak jadi kenalan di tambah kena tamparan. Nasib belum berpihak padaku, seganas - ganasnya macam pasti iya lumpuh terkena timah panas.

Hari itu memang kurang bersahabat bagiku. Aku pulang kerumah sudah ada Riyan yang menunggu di sana. Karena malam harinya aku harus menemani Riyan datang ke pesta ulang tahun alumni kekasihnya.

"Asisten penjaga laboratorium fakultas mu siapa sih ?" tanyaku.

"Masa gak tahu, itu loh Citra Fadhilah yang kemarin foto lagi jualan piscok yang ada di mading" jawabnya dengan lengkap.

"Oh" balasku ketus.

"Emang kenapa ? Kayanya ada yang mengganjal deh. Apa jangan- jangan kamu suka ? Atau mengagumi dia, maklum lah kan asisten laboratorium di fakultasku cantik" sambil meledekku.

"Apa - apaan, ah itu prolog belaka" ucapku.

Berkali - kali aku minta maaf. Berkali juga maaf ku di tolak mentah  -mentah. Riyan yang selalu memberi masukkan padaku perihal ide - ide romantis meminta maaf juga kehabisan akal. Sampai akhirnya aku menghampirnya ketika berjualan piscok di taman kota.

"Aku harus bagaimana sih biar kamu maafin kamu ?" ucapku meminta pengampunan.

"Iya udah. Nih jualin daganganku sampai habis, inget jangan di beli sama uangmu ! " balasnya ketus.

Berkeliling taman kota pertama kali membawa dagangan piscok. Tadinya kurang percaya diri, tapi demi permohonan maaf terbalas dengan kata maaf aku memberanikan diri. Lumayan buat pengalaman diri sendiri dan yakin bahwa aku bisa.

Keyakinanku terbalas oleh habisnya jualan itu. Meski harus di tertawakan oleh anak - anak kecil bahkan gadis - gadis abg itu tak membuat tekadku meminta maaf  putus di tengah jalan. Pelajaran hidup memang ada dimana - dimana. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Selain itu, muncul rasa suka

"Sudah lama jualan piscok di sini ?" tanyaku.

"Sudah sekitar 5 tahun, ini mata pencaharian bapakku. Tapi waktu itu bapakku harus pulang ke pangkuan Tuhan. Jadi aku harus menggantikanya. Iya beginilah nasib jadi orang kekurangan. Enak kalau kamu, mau apa apa tinggal bilang dan bisa diturutin sama mamah atau papah. Sedangkan aku ? Apa Tuhan sudah adil ?" sampai mengeluarkan air mata.

Reflek telunjukku menutupi tangan Citra "Jangan begitu, Tuhan sudah se adil" adilnya membagi rezeki kepada kita. Dialah yang maha adil dan tak tertandingi.

"Iya makasih. Ternyata kamu baik dan tak seperti yang ku bayangkan dulu" sambil mencubit pipiku

Aku pun berniat untuk membalasnya. Tapi Citra malah lari. Kejar - kejaran ala orang pacaran pun terjadi. Taman kota menjadi saksi bisu, betapa bahagianya diriku di maafkan dari rencana konyolku.

"Dari pada kamu jualan piscok keliling terus, mending kerja sama. Kamu yang jual aku yang ngasih modal" capku.

"Iya juga, tapi aku gak mau kamu ngasih modal. Nanti kalau sudah ada uang, ku kembalikan" balas Citra.

"Oke, tapi aku yakin kamu bisa jatuh kepelukanku" penuh dengan kepercayaan.

Pulang ke rumah rasanya senang sekali. Angan - anganku melayang jika Citra menjadi pacarku sekaligus pacar pertama dan terakhir bagi si "jomblo nano". Apapun akan ku kerahkan untuk mendapatkan cinta pertama ini. Karena pernah ku berjanji, cinta pertama akan ku kerahkan apapun yang kumiliki sehingga dia akan kumiliki selamanya.

Esok pertama ku berjualan piscok di taman kota. Dengan mendirikan tenda - tenda kecil di tambah dengan jajanan kecil dan juga piscok khas Citra yang menjadi produk unggulan. Kedai Piscok "Citra Rasa Selera" nama yang cocok. Selama berjualan aku dan Citra saling bertukar senyum, melempar bualan bahkan tak segan aku menggombali dia.

"Ratih kamu anaknya tukang sampah yah ?"

"Iya, kenapa ?"

"Karena kau telah memungut cinta pertamaku"

Hari pertama sungguh luar biasa. Promo pertama sudah banyak pelanggan yang tertarik dengan piscok. Bukan itu juga, hari ini aku mau nembak si Citra. Sebuah peristiwa pertama kali bagiku.

"Cit (panggilan akrabnya) kamu mau menerima cintaku ?"  ucapku grogi.

"Apaan si kamu ?" balas Citra.

Citra salah tingkah anehnya bukan dengan kata kata penerimaan itu. Melainkan dengan ciuman di pipi kiri ku."Ini bukti penerimaanku padamu."  ucapnya.

Malam itu aku juga mengeluarkan isi hati dari lubuk yang paling dalam. Selain itu aku mengajak Citra untuk menghadiri pesta ulang tahunku yang ke 22. Ku rasa hari esok adalah hari yang terindah bagiku.

"Besok hadir dengan pakian tercantik yang Citra" ucapku,

"Iya, aku pulang dulu iya" sambil meninggalkanku.

"Hati - hati iya" sambil melambaikan tangan.

Pulang ke rumah dengan penuh kebahagian. Inilah malam pertama ku menyatakan rasa cinta pada seorang wanita. Seperti es campur, apapun isinya tetap terasa manis. Apapun rasa di malam ini, tetap terasa manis. Hari esok adalah istimewaku, selain ulang tahun. Aku akan mengumumka bahwasanya Citra adalah tunanganku. Kantuk pun tak bisa terelakan, memejamkan mata dengan sendirinya.

Malam yang kutunggu telah tiba. Ini lah saatnya aku si "jomblo nano" yang katanya jomblo lama banyak alasan mempunyai tunangan yang akan menjadi teman hidup.

"Wanita yang ada disampingku adalah tunangan yang telah ku pilih akan menemani hidupku sampai akhir hayat " ucapku dalam pembukaan ulang tahun ku.

Tiba - tiba Citra merebut mikrofon dari tanganku

"Terimakasih kekasih hatiku. Lelaki gentleman ini sudah memungut hati anak yatim ini" dengan penuh percaya diri.

Sungguh menakjubkan bagiku, wanita yang sangat jutek saat pertama ku kenal. Kini telah berubah, semuanya karena cinta. Cinta adalah pengorbanan, sehingga tak ada cinta yang berleha - leha. Harus ada perjuangan untuk meyakinkan keduanya.

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel