WINTER IN EGYPT... Part 11

19 Aug 2015 09:58 13670 Hits 276 Comments Approved by Plimbi

Hingga saat-saat terakhr, Edward masih dan selalu setia menemani Lintang. Bagaimana Edward dan Lintang menerima bagian dari kisah perjalanan hidup mereka? 

WINTER IN EGYPT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Winter in Egypt  Part 1
Winter in Egypt  Part 2
Winter in Egypt  Part 3
Winter in Egypt  Part 4
Winter in Egypt  Part 5
Winter in Egypt  Part 6
Winter in Egypt  Part 7
Winter in Egypt  Part 8
Winter in Egypt  Part 9
Winter in Egypt  Part 10

BAB XI

 

            Monitor yang menunjukkan dengut jantungku kembali normal. Aku melihat tubuhku dan tersenyum, “Makasih, kamu masih memberikan waktu buat aku dan Edward.” Suasana kembali tenang, masih ada mama dan Edward serta orangtuanya.

Mama memegang jemariku, “Mama tidak bisa memberikan kebahagiaan seperti yang kamu inginkan tentang ayahmu.” Kata mama. “Kamu selalu mendampingi dan menguatkan mama.” Sambung mama tersenyum. Wajah mama sudah terlihat lelah kurang istirahat.

Aku ingin memeluk mama, “Keputusan mama sudah tepat. Aku akan selalu ada dihati mama.”  

Orangtua Edward tampak gembira jantungku kembali bernapas. Aku membiarkan mama  pergi dengan orangtua Edward untuk istirahat. Edward kembali duduk disebelah ranjang tempat tubuhku berbaring. Aku merasakan suasana yang nyenyat. Sambil memegang jemariku yang semakin pasi, Edward mengajakku berbicara,

            “Do you remembered first time we meet in chat room. Hon?” Edward mamulai ceritanya, bersama malam yang terus merambat. “Five hours we have chat, until late night. We won’t stop.” Edward tersenyum. “I don’t know, I just like talk with you. “ Sambung Edward. “Honestly I’ve never do chat before, and I did it to get a girlfriend.” Katanya lagi. “I’ve met a lot of girls but no one was like you.” Edward meneruskan ceritanya, aku mendengarkan tersenyum sambil sesekali mengelus tangan Edward yang tak merasakan kehadiranku. “Everyday talk with you makes it a habit, until I fall in love with you.”

            Edward pun tertidur dengan masih memegangi jemariku. Aku memandanginya dengan segenap cintaku. Tiba-tiba nafasku sangat sesak, dan kembali ada cahaya terang yang membawaku. Ke sebuah tempat saat aku menghadiri siding perceraian mama dan ayahku. Mama kelihatan tegar saat itu. Tak ada sedih terlihat diwajah mama. mama menengok kearahku sembari tersenyum dan menganggu, sembari memberi isyarat aku harus kuat. Aku mengangguk, memberi kekuatan pada mama. Aku melihat raut wajah ayah juga tampak tenang, bahkan sedikit arogan. Ia tak berani menatapku. Tapi sekali lagi ia tetap ayahku. Kata mama aku tak boleh membencinya, karena hanya menghabiskan energy yang baik.  Erat tangan mama menggandengku keluar ruang sidang, usai sidang diputuskan. Mama dan aku melangkah ringan menuju mobil.

            Aku kembali ketempat tubuhku berbaring, aku melihat melihat mama dan orangtua Edward berada diruanganku. “Lintang, tadi WOi dan Ajeng menanyakan kabarmu.” Kata mama sambil mengelus jemariku. “Kamu tidak ingiin bicara dengan mereka?” Tanya mama mentap wajahku yang masih tertidur.

“I understand, why he loves  you.’ Kata mama Edward menatap wajahku. “Because you are beautiful, and good women. He love you, honey, don’t make him sad and mad.” Mama Edward menahan kesedihan dalam senyumnya sambil masih menatap wajahku.  Mataku berkaca-kaca mendengar mama dan orangtua Edward.

Aku kembali bicara dengan tubuhku. “Hari ini kamu harus bangun. Jangan permainkan perasaan orang-orang yang mencintai kita.” Kataku tegas. “Tidak ada tawar menawar. Kamu harus bangun hari ini!” Sambungku lagi. “Please..” Aku meminta dengan kesungguhan. Nafasku tiba-tiba sesak dan semakin sesak.

Aku berjalan keluar ruangan meninggalkan Edward, menyusuri lorong, mencari tempat terbuka untuk menghirup udara. Terus berjalan, hingga aku melihat jendela yang berbatas langsung dengan dunia luar. Aku melihat cahaya matahari yang lama tak kujumpai. Pelan aku membuka jendela kaca, menengadahkan wajahku, dan kuhirup pelan-pelan cahaya yang menerpa wajahku. Aku melihat boulevard Alexandria, sungguh cantik.  Aku seperti mendengar Edward memangil namaku.

Aku kembali bersama Edward, menyusuri jalan hingga ketemu penjual roti naan yang baik. Edward menatapku sambil menyuapi aku roti naan. Lalu aku dan Edward berjalan di water front sepanjang boulevard Alexandria, kota mediterania dengan kekhasannya yang elok, nama dan kisahnya dikenal diseluruh dunia, Alexandria. Edward merangkulku, dengan segenap rasa sayang. Udara dingin menerpa halus disela-sela kedekatan kami. Hingga mobil dengan kecepatan tanggi menabrakku dari belakang. Banyak korban jatuh termasuk aku. Edward juga terlempar, tapi tidak separah yang lain. aku tiba-tiba sudah terduduk bersimpuh disamping ranjang tempat tubuhku kembali.

Tak lama aku melihat Edward berjalan menuju kamar tempat tubuhku berbaring dengan baju yang berbeda. Ia menyapaku denga lembut, “Hi, sweetness, good afternoon” kata Edward sambil mencium keningku.

Aku bicara dengan tubuhku ditepi kasur, “Kau lihat, aku ingin merasakan ciuman Edward yang sesungguhnya.” Kemudian Edward duduk dikursi kesukaannya dan memegang jemariku,

“first time I see your photo when we chat, im not trust its your photo, because you looks beautiful.” Edward mengajak ngobrol tubuhku yang diam. “But I trust you are a good women and smart.” Sambung Edward. “I can’t breath when we have skype for the first time, and see you looks more beautiful than your picture.” Edward tersenyum. “I like got angel.” Kata Edward lagi. “We are amazing couple, hon.” Sambung Edward. Aku diam bahagia dan masih duduk didepan Edward. “If you know, actually im late when pick you up at the airport.” Kata Edward jujur. “But don’t be angry, hon.” Edward hendak menjelaskan. “I walk around and go some places to buy flowers, but nothing. Many people just sell vegetables and fruits, here.” Edward kembali tersenyum. “So, impossible I bring carrot to airport.” Aku tersenyum mendengarkan Edward.

Tiba-tiba kembali nafasku terasa sesak, namun lebih parah, kali ini. Cahaya terang membawaku ke kampus tempat kuliahku. Aku sudah mengenakan baju wisuda lengkap. Mama terlihat semakin cantik hari itu. Aku dan mama melangkah memasuki gedung wisuda dengan syukur sekaligus bahagia. Perjuangan mama seorang diri tak sia-sia. Aku tak pernah merasa malu punya orang tua single parent. Mama memberikan rangkaian bunga cantik usai wisuda. Aku sudah tak ingat lagi dimana dan seperti apa ayahku. Karena memang sudah tak ada komunikasi lagi. Mungkin juga ayahku sudah punya anak lagi dengan wanita lain yang bersusu besar.

Aku kembali keruanganku, melihat dokter serta perawat mengerubungiku dengan panic. Monitor jantung kembali tidak stabil. Mama dan orangtua Edward serta Edward, berdiri diluar ruangan dengan suasana panik. Dokter tengah berusaha memberikan pengobatan yang terbaik buatku. Aku hanya diam menyaksikan tubuhku semakin pasi dan melemah. Aku seperti tak mampu lagi memaksa tubuhku. Aku memandang Edward dari kaca. Ia menunduk pilu. Aku ingin berlari dan memeluknya. Aku melangkah kearah tubuhku, memintanya bangun, “Please, beri kesempatan aku dan Edward bahagia.” Pintaku ke tubuhku.  “Aku sudah mengejarnya hingga disini, di Egypt. please bangun.” Pintaku semakin pelan.

Tubuhku tak kunjung bergerak, monitor jantung semakin tidak stabil. Mataku mulai basah. Aku memandang Edward di luar kamar lalu menunduk dan memandangi tubuhku. Perjalanan hidupku sudah sangat indah. Aku punya mama yang baik, WOi, Ajeng, serta Edward kekasih yang akan menikahiku.  Aku tidak perlu menyesali perjalanan cintaku hingga ke Egypt. kebahagian perjalananku dengan Edward sudah lebih dari yang aku bayangkan. Keinginanku untuk datang ketempat kisah cinta Mark Antony dan Cleopatra sudah tercapai. Aku tidak ingin memaksa tubuhku yang memang sudah kesakitan.

Dokter keluar memanggil keluargaku. Aku sudah tak ingin mendengar lagi apa yang dikatakan dokter pada Edward dan mama. Tubuh Edward lunglai memasuki tempatku berbaring. Aku mencoba tersenyum dan ingin mengatakan tentang indahnya perjalananku dengannya.  Edward dan mama duduk bersebelahan. Mama dekat dengan wajahku.

Mama menarik nafas panjang, mengumpulkan kekuatan hatinya, “Mama memberi nama kamu Lintang, karena kamu lahir tengah malam, saat itu langit sedang terang, mama yakin kamu berasal dari salah satu bintang yang paling terang malam itu.” Kata mama mencoba memberikan senyum terbaiknya. mama kembali menarik nafas, “Lintang, mama sudah ikhlas kalau kamu memang harus pergi.” Kata mama mencoba kuat. “Mama akan tetap ada buat kita, dimanapun kamu berada.” Sambung mama. selanjutnya mama diam terpekur seperti tak mampu lagi berbicara.

“Hi, my dear, I don’t know what can I do, I want talk to you.” Edward menangis. “I just want to say I love you.” Kata Edward. Edward lalu berdiri, “Ok, wake up please if you want merry me.” Edward mencoba menhan emosi dukanya. “I want to spend the rest of my  life with you,  Lintang.” Sambung Edward lagi. “I know you heard me… I know…” Kali ini Edward berlutut diranjangku sambil memegangi tanganku. Jantungku semakin tidak stabil. Ia memegangi cincin yang masih melingkar di jariku. Lalu mengusap air mata yang membasahi ujung mataku. “Im sorry hon, I can’t do anything.” Kata Edward.

Aku melihat Edward dan tubuhku bergantian, aku mencintai Edward. Tubuhku tak juga bereaksi. Sebaliknya semakin buruk. “Kau lihat bagaimana ia mencintaiku.” Aku masih mencoba membuat kesepakatan dengan tubuhku. Lama aku menatap wajahku sendiri. “Kalau kita memang harus pergi, kita pergi sekarang.” Kembali aku berbicara dengan tubuhku. “Aku tidak mau melihat Edward semakin tersiksa.” Tubuhku masih tak bergerak. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan?” Tanyaku pada tubuhku. Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin kembali menuju jendela kaca tempat aku bisa melihat matahari. Aku segera melangkah cepat menuju tempat yang kumaksud.

Aku membuka kembali jendela tadi, aku melihat benteng Qaitbay Citadel, tempat Edward melamarku dan menyematkan cincin dijari manisku. Aku mengenakan gaun pengantin warna putih dan Edward mengenakan tuxedo hitam, tampan. Aku berjalan menggandeng lengan Edward menuju benteng utama, membawa seikat bunga warna-warni. Udara dingin dari laut mediterania aku biarkan memainkan gaunku. Aku terpana, bahagia. Aku segera kembali berlari menuju ruanganku.

Monitor jantungku sudah menunjukkan garis lurus. Dokter tampak sudah berupaya maksimal.  Sekali lagi dokter memeriksa denyut jantung dan nadiku. “She’s dead. Im sorry.” Kata Dokter. Edward dan mama tampak lunglai. Aku termangu diam melihat tubuhku yang belum kaku. Perlahan beberapa perawat hendak melepas peralatan yang menenmpel pada tubuhku. Mama mengelus kepalaku dan mencium keningku. “Ada tempat jauh lebih indah disanan, nak…” Kata mama berusaha kuat dengan buliran bening mengalir dipipinya.  Aku masih bingung dengan yang terjadi.

Aku kembali lari ke jendela kaca dengan nafas sesak dan terjatuh, cahaya matahari mengantarku kembali ke Qaitbay Citadel. Aku masih mengenakan gaun pengantin dan menggandeng lengan Edward. Aku lari kembali kekamarku, kali ini aku terjatuh tepat didepan ranjangku, aku tak mampu lagi berdiri. Aku hanya ingin meraih lengan Edward.

Jemari Edward masih memegang jemariku, ia mencium cincin kami, “I love you, baby.  You will always be in my heart.” Edward memutar cincin seperti hendak melepas dari jari manisku.

Aku berteriak dengan segala kekuatan yang aku miliki, “Nooooooo!!” Entah apa setelah itu yang terjadi. Aku kembali bisa merasakan pelukan dan sentuhan jemari Edward.

 

*****THE END*****

TERIMAKASIH UNTUK SEMUA PEMBACA.  TUNGGU KISAH YANG LAIN, DENGAN SUASANA  YANG BERBEDA…. SOON!!!

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel