Postcard Waerebo

11 May 2016 16:17 12358 Hits 296 Comments Approved by Plimbi

Pernikahan yang sudah batal, mogol , dan bantet, masih dihadapi dengan santai oleh Ayu. Bahkan rencana perjalanan ia siapkan dengan matang ditengah hiruk pikuk hatinya. Kemanakah Ayu akan pergi?

POSTCARD WAEREBO

BAB 1

Cakrawala pagi dibuka dengan pertunjukan drama yang dibuat oleh tunanganku alias calon suamiku alias si kampret. Udara sejukpun menjadi lembab, sinar matahari menjadi buram, burung-burung penyebar gossip berkicau seolah meledek nasibku.  Tentu saja cerita bersambung tentang hubunganku dengan kampret akan menjadi berita utama keluarga paling tidak sepuluh hari kedepan. Aku minta maaf sebelumnya pemirsa, kenapa aku harus memanggil calon suamiku yang tidak jadi itu dengan kampret, karena memang menurutku sudah tak layak lagi aku memanggil namanya. Bahkan untuk mengeja “kampret” dengan “k” menggunakan huruf  besar, juga rasanya tidak pantas.

Rasa malu dari kedua belah pihak antara keluargaku dan keluarga si kampret tentu tak bisa dihindarkan, karena pernikahan kami kurang empat puluh satu hari lagi. Di apartemennya yang aman dan nyaman, kampret telah kepergok olehku memakai narkoba bersamaan dengan memakai perempuan yang bagian dadanya lebih berisi dariku. Walaupun dadaku sendiri bukan dada yang rata.  Ini bukan soal ukuran dada, tapi menyangkut mental.

Jadi ceritanya, pagi itu aku bergegas ke apartemen kampret untuk ambil surat-surat yang diperlukan KUA, yang sudah disiapkan kampret. Entah kenapa, aku juga tidak tilpun dia dulu, karena sehari sebelumnya kampret memang pamit tugas di luar Jakarta. Aku hanya tilpun mama si kampret. Karena aku juga punya kunci apartemen dia, maka aku membuka kamar. Awalnya, diruang tamu depan TV, terlihat sepi. Tapi, dikamar kampret terdengar suara dua orang laki perempuan sedang bergembira diatas tempat tidur. Sesaat, pikiranku sangat kacau dan tidak enak. Aku berharap itu bukan kampret.

Aku pun memberanikan diri membuka pintu kamar kampret, dan darahku seperti mendidih, bergolak menahan emosi yang sudah tumpah dan mbludak, melihat calon suamiku kampret sedang bersuka ria dengan perempuan lain, telanjang, bugil, kuntil,  berdua sambil mabok sabu-sabu. Mataku nanar sesaat, aku memandang sinis pada dua orang didepanku beberapa saat. Aku juga tak ingin bicara apa-apa lagi, apalagi harus berteriak marah. Buatku semua sudah lewat, dan aku tidak mau buang abab didepan orang yang menurutku tak berguna ini. Lalu aku pergi meninggalkan apartemen kampret dan tidak perlu lagi mengambil surat untuk KUA.

Keputusan dari keluargaku dan aku tentu saja sudah jelas, membatalkan pernikahan. Tak peduli dengan persiapan yang hanya tinggal menunggu hari H ke pelaminan. Mestinya yang lebih malu lagi adalah si kampret. Tapi akupun juga pasti ikut menanggung malu.

Aku dan orangtuaku memilih mendiamkan segala omongan yang beredar diluar, berbentuk ramuan gossip dengan bumbu paling sedap buat mereka. Dari model bumbu paling pedas dan nyegrak, pedas sedang, hingga yang pedasnya soft semua ada. Aku harus bisa menerima, dan menjalini hari-hari dengan berusaha cuek. Aku harus beriringan jalan dengan sang waktu untuk membendung semua pembicaraan yang semuanya negative. Cuma aku belum tahu caranya, karena pikiranku masih sedikit buntu. Dua tahun lebih tiga bulan perjalananku dengan kampret, hancur babak belur hanya dalam satu hari. Semua rasa masih berkecamuk dipikiranku, dimukaku, dibadanku, dan tentu saja dihatiku. Entah aku yang bodoh atau terlalu lugu, atau terlalu percaya, atau terlalu cinta, pada kampret, aku juga bingung.

Duduk di balkon depan kamar, aku pandangi pohon kamboja yang sudah berumur tiga belas tahun didepanku. Batang-batang dan daun-daun hijau  menjulur dari halaman bawah hingga depan kursi tempat aku duduk, mengantar kembang warna kuning yang bermekaran. Aroma khasnya yang exotic, menjadi pelengkap langit sore yang cukup menawan, walaupun di Jakarta.   

“Hi, kalau kamu melawan dengan kebencian, pemulihan hatimu akan lama…” Mama mengagetkan lamunanku sore itu.  “Kamu maafkan dia, tapi tidak untuk balik lagi bersama. Itu akan lebih mujarab buat hatimu.” Sambung mamaku denga sabar tapi tegas.

Aku diam memandang mama, sementara langit sore dari arah barat memberi warna lembayung sekaligus sendu, “Aku coba ya ma... “ Jawabku memandang mama, yang selalu ada buatku.

“Kalau kemarin si kampret ikut datang ke acara pengembalian lamaran, pasti sudah mama tonjok mukanya.” Kata mama dengan kalimat yang berubah tidak suka.

“Tadi mama bilang, jangan dilawan dengan kebencian.. piye toh, mah..” Aku melirik mama sambil menahan senyum.

“Ya, teorinya begitu, nduk… supaya kita kelihatan kuat..” Jawab mama sambil ikut duduk disebelahku dengan santai.

“Trus… mama ngapain ikut duduk disini…?” Tanyaku ke mama sambil masih menahan senyum.

“Pingin lihat senja sore ini… bagus ya…?!” Jawab mama cuek sambil memandang kearah langit sore.

“Di pedalaman, senjanya lebih keren, ma…” Aku berbicara pada mama

“Ya sudah… ke pedalaman aja, sana…! Sudah empat bulan kamu absen.. ngurusi pernikahan yang gagal…” Kata mama cuek. Tawaku tak terhindarkan lagi melihat expresi mamaku. Mama selalu bisa menghiburku dalam kondisi buruk.  

“Mama nggak malu, khan.. nggak jadi mantu dan belum jadi punya mantu ..?” Tanyaku santai.

“Yang malu itu bukan kita, cah ayu… yang malu, ya si kampret itu..” Jawab mama sans, alias santai. “Lebih baik kamu mikirin ingus anak pedalaman… dari pada kamu mikirin ingusnya si kampret yang sudah kemana-mana..” Sambung mama tanpa expresi. Kami berdua terbahak di balkon sore itu.

Bisa jadi, yang diusulkan mama benar, mungkin itu akan menjadi cara untuk kompak dengan waktu, mengurangi gosip-gosip sedap. Tidak ada gunanya, aku terus memikirkan pernikahan yang sudah batal, seperti kue bantet yang salah adonan. Keluar jauh ke pedalaman, menemukan kembali kesukaanku, aku pikir itu yang terbaik untuk saat ini.

Belum selesai aku berpikir, tiba-tiba suara sahabatku Jane Kuro dan Anom sudah ikut meramaikan panggung di balkon sore itu. Kami bersahabat sejak di SMA, sudah menjadi keluarga dekat. Jane Kuro lahir di Madiun, aku biasa memanggilnya Kuro. Dia baru saja kawin dan tentu saja setelah menikah, punya pekerjaan bagus. Sedangkan Anom lahir di Filiphine, peranakan Madura dan Jawa. Tinggi dan berat badannya seimbang, menarik luar dalam, wawasannya juga luas, punya pekerjaan bagus, punya penghasilan cukup besar untuk usianya yang sama dengan aku, serta masih lajang. Berpetualang ke pedalaman, bertemu dan berbagi ilmu dengan anak-anak hebat nun jauh tak terjangkau, juga menjadi kesukaannya.

Mama pun memilih turun setelah ngobrol sebentar dengan Kuro dan Anom. Semenjak keputusan pembatalan pernikahan, Kuro dan Anom mencoba selalu tidak ikut panic di depanku. Keduanya bergantian selalu berkunjung kerumah, atau menjemputku pulang kantor.

“Lama-lama kamu bisa bunting sama Bethoro Kolo, penunggu matahari sore..” Anom menyelutuk, mengomentari kerjaanku beberapa sore ini, selalu di balkon mengikuti turunnya senja.

“Kalau sama mas Bethoro Kolo, bukan bunting tapi kembung…” Balasku ke Anom. “Trus, kalau kentut lewatnya telinga,” sambungku. Kami bertiga mulai terkekeh.

“Tiket bulan madu, kamu kasihkan bibi dan tukang kebun aja, buat gathering berdua...” Kuro menasehatiku sakaligus meledek.

“Kata mama, ora bulan madu ora patheken…” Jawabku sans, ke Kuro dan Anom.

“Ngomong-ngomong soal bunting, aku positive hamil, nih…” Kuro memandang aku dan Anom dengan mata berbinar bahagia.

“Awwwwwww….” Serempak aku dan Anom berkomentar. Kami bertiga pun berpelukan.  Keberadaan Kuro dan Anom sangat membantu memulihkan jiwaku yang pasti masih limbung. Saatnya aku memang harus pergi, meninggalkan bayang-bayang kampret yang sudah semu, ajur mumur.

Aku, Violetta Ayu 28 tahun, kebanyakan orang memanggilku, Ayu. Tinggi 164 cm, berat 52kg, keturunan jawa asli. Parasku lumayan manis, mempunyai pekerjaan cukup bagus di perusahaan swasta, sekaligus gagal menikah. Dengan kriteria yang aku sebutkan, menurutku tidaklah sulit kalau untuk mencari pengganti si kampret, kecuali Tuhan berkehendak lain. Dengan kriteria diatas, tentu saja akan sayang buatku kalau harus trauma dengan kisah – kasih kampret.

Aku harus beranjak pergi dari segala amarah, duka, dan semua rasa tidak nyaman. Waerebo di Flores menjadi pilihanku, karena dari dulu aku ingin melihat bangunan unik dengan arsitektur tradional diatas gunung yang menakjubkan, sekaligus akan ada upacara adat Penti disana. Walaupun anak-anak di pedalaman seperti Waerebo tetap menjadi fokus utamaku. Kali ini Anom tidak bisa bergabung denganku karena alasan pekerjaan yang tak perlu aku jelaskan.

Uang untuk persiapan pernikahan yang belum terbayarkan, aku manfaatkan sebagian untuk rencana kegiatannku yang jauh lebih bermanfaat dari pada memikirkan nasib yang sudah kedaluwarsa. Dibantu penuh Anom dan Kuro segala persiapan aku mulai. Mulai dari promosi lewat social media dalam dan luar negeri, proposal untuk donasi, hingga sms dengan orang-orang dekat.

Aku mendapatkan hatiku kembali, hariku tak lagi letoy, meyakini didepanku adalah hal yang terbaik. Gossip ria di kantor pun perlahan mulai sepi. Diluar dugaan, sambutan dari proposal yang aku sebar ke beberapa company maupun perorangan, mendapat sambutan positif, dalam arti mereka mau memberikan donasi.

Dari social media, mulai komentar, ringan, sedang, berat, namun tidak mengeluarkan donasi, hingga sekali tanya tapi mengeluarkan dana, semua ada. Hari itu, seseorang bernama Kae, katanya berjenis kelamin perempuan, dan katanya juga berada di luar Indonesia, mengirim pesan lewat messenger menggunakan bahasa Indonesia, berkaitan dengan programku di Waerebo. Beberapa pertanyaan ia tanyakan untuk mendapatkan sebuah keyakinan bahwa benar aku bukan sekedar menjual jamu. Namun, kemudian menghilang begitu saja setelah ludahku habis memberi pemaparan. Namanya juga di social media, hal yang lumrah kalau orang tiba-tiba muncul dan menghilang.

Malam itu, selesai kantor Anom menjemputku untuk bertemu Kuro.

“Jadwal vaksin untuk bayi sudah dicatat semua, dong…?!” Anom mengomentari kandungan Kuro yang masih tiga minggu.

“Bahkan jadwal les piano, kumon, berenang, melukis, les fisika, sampai jadwal mengikuti OSN, semua sudah aku pasang di tembok.” Jawab Kuro cuek setengah kesal sambil mengunyah roti bakar kesukaannya. “Kamu ke pedalaman, jangan kelamaan,Yu… ntar kamu balik keponakanmu yang didalam sini lahir, nggak kenal siapa tantenya…” Sambung Kuro menyampaikan pesan ke aku sambil memegangi perutnya yang masih tipis.

“Apalagi kalau keluar pedalaman, gue udah jenggotan panjang, bugil, trus bawa panah..”  Jawabku. Kuro serentak menghentikan minumnya menahan tawa takut tersedak, mendengar jawabanku.

“Kalau bisa kamu ambil gambar sebagus mungkin disana, Yu. Trus kita adakan pameran photos, hasil pembelian kita gunakan lagi untuk donasi daerah pedalaman lain.” Anom memberikan usul yang bagus ke aku.

“Sedap….!” Aku menanggapi usulan Anom.

Beberapa saat kami bertiga melanjutkan diskusi tentang program di Waerebo. Tiba-tiba, hp ku bergetar. Kembali aku mendapatkan pesan lewat messenger dari orang bernama Kae yang sudah lima belas hari menghilang setelah mendapatkan penjelasan dariku tentang program ke Waerebo. Kemudian ia menanyakan nomer rekeningku, nomor tilpun, data pribadi lengkap, dari warna  rambut, tinggi badan, mata, jadwal keberangkatan serta kegiatan dengan detail, hingga pesawat yang akan membawaku.

Karena dunia social media adalah dunia ngambang. Mulai yang paling baik sampai paling busuk ada. Maju - mundur, seperti kura-kura tuli akan menyeberang jalan tol, aku berdiskusi dengan Anom dan Kuro. Ada kekhawatiran yang bersinggungan dengan data diri, itu pasti. Walaupun tidak menyangkut kepemilikan paling pribadi seperti isinya celana dalam atau isinya bra. Soalnya isi-isi itu sudah bersertifikat. Kami bertiga kembali harus berfikir cepat.

“Positive thinking aja… tinggal kamu kasih data diri, dijelasin semua, dan selesai..” Anom berkomentar menggunakan keyakinan hatinya.

“Siapa tahu dia memang lagi banyak duit, tapi nggak berani ke Waerebo sendirian. Takut kena panah yang bugil tadi. ” Kuro menambahkan, dan kami bertiga pub terkekeh.

Aku mengikuti nasehat dua sahabatku, aku jawab semua pertanyaan Kae. Sepuluh menit kemudian, aku terima pesan pendek dari nomor yang tidak aku kenal, dengan kode area (+61) berarti Negara Australia. Dan Kae memperkenalkan diri dengan kalimat pendek.

“Hi,aku Kae.” Begitu bunyi pesan pendeknya alias tulisan smsnya.

Aku, Kuro, dan Anom, saling memandang, sekaligus punya pertanyaan dan tebakan yang sama dalam hati kami bertiga. Aku menyimpan nomor tilpun Kae. Ternyata Kae juga memakai layanan whatsapp danviber, namun tidak ada gambar dirinya disana. Kami bertiga memilih tidak berkomentar, menunggu, dan mengunyah roti bakar dikombinasi dengan kopi pahit. Aku lalu menjawab sms Kae juga dengan pendek.

“Thank you, salam kenal, Ayu.” Itu jawabanku.

Sms dari aku tak berbalas, dan aku juga tidak peduli. Tiga puluh menit kemudian, saat kami bertiga hendak meninggalkan warung roti bakar, tiba-tiba ada pesan lewat whatsapp. Kae mengirim picture. Aku diam, melongo, bingung, kaget, terkejut, dan tentu saja gembira, saat membuka picture. Terbaca bukti pengiriman uang lewat western union yang ditujukan pada namaku terbilang, dua puluh lima juta rupiah. Masih ada keraguan dalam pikiranku, Kuro, dan Anom.

Anom mencoba memperhatikan dengan detail picture yang baru saja dikirim Kae. “Ini benar, asli, bukan penipuan.” Kata Anom yakin.

Tiba-tiba, pesan pendek dari Kae muncul kembali, “Donasi untuk anak-anak Waerebo.” Sms dari Kae.

Aku menjawab sms Kae dengan ucapan terimakasih  sedikit panjang, tanpa basa-basi tapi tegas. Dan kembali ia menjawab sms ku, “Sama-sama, terimakasih. Semoga sukses!” Hanya itu jawaban dari Kae. Tentu saja membuat kami bertiga makin penasaran, apalagi Anom sebagai laki-laki, rasa ingin tahu tentang Kae tak bisa ditahannya.

“Mudah-mudahan, Ayu baik hati ngenalin gue sama Kae…Kayaknya feel ku mulai bekerja dengan cewek ini.” Kata Anom memohon sekaligus membuat pernyataan.

“Sabar, Mas Anom… feel nya Kae juga belum tentu klop sama feel kamu.. jangan sok yakin, nanti gagal nikah kayak aku, modar!!” Jawabku.

Hari-hari berikutnya, aku selalu memberi laporan ke Kae seperti donator lainnya. Seperti biasa, jawaban Kae hanya pendek. Aku baru sadar, dan ingin mencari tahu tentang Kae lewat facebook. Karena pertama kali terjalin komunikasi lewat messenger. Ternyata tak ada informasi apa-apa yang aku dapat. Aku tidak banyak tahu siapa Kae sebenarnya. Pernah sekali aku menanyakan, tapi pertanyaanku tidak direspon, dan buatku itu sudah jadi jawaban. Jadi, sangat tidak etis, kalau aku kemudian menjadi sok kenal dan sok dekat untuk mengenalkan Anom pada Kae.

*****

Keberangkatan menuju Waerebo kurang sepuluh hari lagi. dan tentulah bukan waktu yang lama. Selesai confirm ticket aku langsung mengirimkan bukti tiket ke Kae. tak berharap banyak, Kae akan menjawab message ku. Aku sudah mulai terbiasa dengan reaksi Kae yang cool. Anom sudah mulai mengirim buku-buku menuju Labuan Bajo, diteruskan contact person ke Denge. Persiapan lain terus berjalan. Anom masih beberapa kali menanyakan tentang Kae. Dan jawabanku masih sama.

“Sekali lagi, sabar Mas Anom, jangan terburu nafsu. Kamu berdoa saja mudah-mudahan imajinasimu segera terlaksana denga Kae.” Jawabku.

“Ini sudah kebanyakan berimajinasi, Yu.. sampai loyo semua.” Balas Anom ringan sambil memasukkan crayon dalam keranjang.

“Loe sudah loyo.. gue kebanyakan mlongo..” Tambahku.  Seperti biasa, kami berdua pun kembali terkekeh.

Sehari sebelum keberangkatan, semua persiapan selesai. Duka tentang pernikahanku yang mogol, sudah terlupakan, hatiku gempita menyambut keberangkatanku esok hari. Saat sedang asyik ngobrol dengan Kuro, Anom, Mama, dan Papaku, tiba-tiba hp ku bernyanyi. Nomor tak dikenal memanggilku. Aku berusaha tenang saat mendengar suara dari dunia lain menyapaku, si kampret menelponku. Nada salah tingkah yang ditutupi lewat sapaan tak bersalah dengan menceritakan tentang dirinya sendiri, aku tanggapin sambil mengunyah krupuk. Tak ada kalimat yang keluar dariku, kecuali nada gigitan krupuk. Untuk kampret paham tanggapanku, lalu dia pun pamit. Aku tak ingin berdebar, panic, atau bingung. Semua sudah selesai. Esok aku akan terbang menuju negeri didalam awan.

***BERSAMBUNG***

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel