Postcard Waerebo Bab 2

15 May 2016 17:43 13888 Hits 302 Comments Approved by Plimbi
Perjalanan Ayu dari Denpasar menuju Labuan Bajo, bertemu dengan orang-orang yang tak terduga tapi sangat diharapkan. Siapakah mereka?

Postcard  Waerebo

Bagi yang belum membaca bagian petama, silkan klik link berikut
Postcard Waerebo Bab 1

 

BAB II

Tas ransel isi kebutuhan tubuhku, tas camera, tas kecil identitas diri, bergelantungan dipunggung dan pundakku, masih ditambah tentengan tripot. Maklum, troly terakhir didepan area keberangkatan terminal dua Soekarno Hatta, sedang dipakai penumpang-penumpang lain. Sebuah pesan pendek dari Kae, kembali aku terima, saat check in.

Have a nice trip.  Padat dan berisi. Mungkin seperti itu isi otak Kae. Aku juga menjawab pendek.

I will, thank you. Jawabku.

Aku memilih tidur di dalam pesawat menuju Denpasar, karena aku masih akan menempuh perjalanan panjang satu hati. Aku tak mengingat mimpi apa, hanya khawatir aku ngorok atau ngences saat tidur, karena pesawat sudah tiba di Denpasar. Tapi semua sudah terjadi, jadi aku tak peduli. Transit di bandara Ngurah Rai - Denpasar, aku harus pindah pesawat dan kembali menggotong semua barang bawaan dengan semangat untuk meneruskan perjalanan menuju Labuan Bajo. Tak ada yang harus dibuat menjadi ruwet.

Perjalanan menuju Labuan Bajo aku tidak ingin tidur, karena ada beberapa hal, selain bentangan laut biru dan pulau-pulau kecil dari jendela pesawat tampak sangat keren, juga hampir satu pesawat kecil ini berisi bule-bule muda, ganteng, hendak menuju Flores yang memang exotic. Juga ada bebera wajah cowok Indonesia yang tak kalah keren. Yang jadi masalah adalah aku lupa pake deodorant waktu berangkat. Aku harus berusaha tenang, supaya keringat diketekku tidak bau.

Tentu saja, senyum suka cita dari lubuk hatiku yang paling dalam aku keluarkan. Apalagi, satu pesawat hanya ada dua wanita, aku dan seorang wanita asli flores yang sudah berumur. Jadi aku pasti sedikit unggul. Seorang bule muda disebelahku mulai mengajak ngobrol yang berkaitan tentang Flores.

Beautiful.. Kata si bule sambil melihat kearah kaca disebelahku. have you been here, before? Tanya si bule kepadaku, berumuran sekitar tiga puluhan lebih.

Yes, sure. I went to Komodo Island. Jawabku. And I will go to Waerebo, now.  Tambahku

Ooh.. cool. Jawab si bule. Im with my friends will go to Waerebo too, we want see Penti. Tambah si bule. Hatiku langsung seperti meletup kena dorongan gas yang kencang, tapi tentu saja aku tunjukkan dengan sikap jinak-jinak serigala.

How long will you stay in Flores? Tanyaku.

We will go to some places, to Wae Rebo, Komodo Island, Kilimutu, and Nusa Tengara Barat.

Wow.. cool!! Jawabku.  Lalu aku dan si bule pun berkenalan. Namanya Alex. Dia juga mengenalkan aku dengan empat teman-temannya, berasal dari Negara yang berbeda. Stefan, Tom, Noel, dan San, yang punya wajah Indonesia. jangan ditanya soal wajah dan pawakan tubuh mereka berlima, yang pasti aku merasa beruntung gagal nikah dan bertemu mereka. Dari cara bicara mereka terlihat matang, umurnya di angka tiga puluh lebih.

Hanya dalam beberapa menit, kami sudah akrab. Hal yang wajar, sama-sama wisatawan, jauh dari rumah, ada kesamaan rasa senasib. Pesawat seperti terbang cepat, dan tiba di Bandara Komodo - Labuan Bajo. Langit yang tadinya biru, tiba-tiba mulai berubah menjadi abu-abu. Maklum, musimnya memang sedang penghujan.

Duduk sebentar  bersama penumpang lain menunggu bagasi, aku dan kelompok Alex masih melanjutkan obrolan. Keinginan mendapatkan nomer contact mereka meletup-meletup seperti air direbus. Tentu saja aku harus menahan gengsiku. Jadi resikonya, lima cowok keren didepanku akan lepas begitu saja, kecuali Tuhan berkehendak lain. Juga sedikit ada harapan, karena tujuan mereka sama ke Denge sebelum Waerebo.

Pius dan Ferdy yang menjadi contact person sekaligus tour guideku, tiba-tiba sudah menyapaku. Kelompok San juga ikut menyapa ramah ke Pius dan Ferdi. Tak lama, bagasiku sudah ditangan Pius dan Ferdy. Semakin tipis dan musnah harapanku untuk lebih dekat dengan mereka lagi. Apa daya, aku pun harus mengucapkan selamat tinggal pada mereka.

Hi, guys.. See you in Denge! Kataku dengan hati berat

Take care, Ayu.. have a nice trip! Jawab Alex

Hati-hati, Yu¦Kita ketemu di Denge. Pesan San sambil bersalaman ala anak muda.

Makasih¦ Jawabku dengan hati berat. Kami saling melambai.

Mobil yang dibawa Ferdi pun keluar bandara komodo, membawa hati yang diam sekaligus penuh harapan di Waerebo. Ferdi berputar-putar dulu ke kota Labuan Bajo yang tak begitu besar, lalu mengisi bensin dan mampir ke supermarket kecil untuk beli makanan ringan serta minum. Hujan mulai turun. Entah kenapa aku beli deodorant untuk persediaan di tas cangklongku. Aku ke toilet supermarket, sekedar memberi keharuman pada bagian penting ini. Karena nanti di Denge aku akan bertemu lagi dengan romobongan San, aku harus menghindarkan bau tak sedap dari ketekku.

Mobil meninggalkan Labuan bajo Memasuki jalan trans Flores. Bergerak dengan kecepatan sedang pada jalan berasapal bagus, karena hujan lebat. Pikiranku, semakin ingin tahu tentang, San, Alex, Noel, Stefan, dan Tom. Ada yang sunyi di hujan kali ini. Mobil terus bergerak menjauh, meninggalkan Labuan Bajo. Aku mencoba tidur, tapi justru semakin gelisah yang tak jelas.

Kakak, boleh kita mampir sebentar kerumah mama saya? Pius bertanya

Rumahnya jauhkah? Tanyaku

Tidak kakak, dekat sini. Pius mau antar beras ke tempat mamanya. Jawab Ferdy

Ooohh.. tidak apa-apa, silahkan.. Aku mengijinkan. Tak lama mobilpun berhenti, pius segera berlari membawa payung, menuju jalan kecil yang sepi, kiri kanan perbukitan. Sebuah mobil avanza berwarna crem melewati mobilku, menyapa ferdi dg membunyikan klakson ditengah hujan lebat.

Di mobil avanza itu teman kakak yang tadi dibandara, so! Kata Ferdi.

Oh ya..?! Tanyaku sambil melongok kearah mobil yang melesat meninggalkan mobilku. Tentu saja dengan berdebar tak karuan. Ada harapan mobilku bisa beriringan dengan mobil San. Semenatar Pius blm juga muncul. Pingin aku setir mobil sendiri dan mengejar mereka berlima. Aku menarik nafas panjang.

Iya, karena travel nya sama dengan kita. Ferdi menjelaskan lagi. Limabelas menit kemudian Pius baru muncul, aku agak bingung karena dia memayungi ibunya sambil membawa pisang mas satu janjang.

Ferdi, bantu mama Pius. Aku berteriak. Ferdi langsung keluar mobil sambil juga membawa payu. Bertiga jalan kearah mobil. Aku tidak berpikir mama pius akan ikut ke Waerebo. Aku langsung membuka  kaca mobil, tak peduli air hujan masuk.

Kakak! Mama mau kasih pisang buat kakak ayu! Terimakasih sudah kasih kita waktu buat antar beras! Kata Pius. Aku bingung harus bagaimana, ada sikap hormat dan haru melihat orangtua didepanku kehujanan membawa pisang mas, begitu orang jawa menyebutnya. Aku tahu, pisang mas menjadi hasil kebun yang besar daerah ini.

Mama, terimakasih banyak, so! Mama baik sekali. Kataku

Bawa ini buat perjalanan, nanti dihabiskan so pisangnya! Pesan mama.

Iya mama nanti saya akan habiskan, biar saya jadi puteri emas! Aku ajak mama bercanda. Lalu kamipun pamit. Sedikit tanda terimakasih yang nilainya tak seberapa buat mama Pius aku selipkan. Kami harus segera melanjutkan perjalanan. Tak apa aku ketinggalan jauh oleh rombongan San, harapanku tinggal bertemu di Denge. Aku dapat pisang mas setandan, siapa tahu ini pertanda baik. Semua kuning, dan semua kecil-keci.

Pius, bagaimana aku harus habiskan pisang setandan, ini? Tanyaku

Nanti kuta kunyah bersama saja di Denge, kakak. Jawab Pius.

Kalau kakak habiskan sendiri setandan, besok sepanjang tracking kakak buang angina terus, so! Ferdi menambahkan. Akupun mengambil satu.

Rumah-rumah penduduk beratapkan seng, berdinding papan atau anyaman bambu berjajar teratur. Atap rumah dari seng menunjukkan sebuah kemakmuran, aku tidak tahu maknanya kalau atap sengnya bocor semua. Yang sesungguhnya, atap seng baru, seng yang sudah teyeng, dan seng yang bocor, kondisi didalam rumah sama, sangat-sangat sederhana bahkan kekurangan. Banyak penduduk menjajakan hasil kebun seperti pisang mas, dan nanas di tepian jalan.

Pius, aku tidur, ya¦ nanti kalau hujan reda bangankan aku. Aku mau lihat pemandangan. Pesanku pada Pius.

Tidur saja, kakak¦ perjalanan masih jauh. Jawab pius.

Baru beberapa menit aku memejamkan mata, Ferdi melambatkan mobilnya agak ketepi, lalu Pius membuka kaca sedikit, bertanya pada sopir yang berada diluar mobil membawa payung, dan bajunya basah.

Ada apa, so? Tanya Pius

Roda sebelah kiri belakang meletus,so! Sedangkan roda yang buat serep lupa kemarin belum ditambal! Jawab si sopir kebingungan dengan baju sudah basah, walaupun memakai payung. Pius dan Ferdi juga bingung mau menolong, karena mobil kita tidak sama. 

Ini mobil temanku dibandara tadi kah? Tanyaku pada ferdi dan pius. Kembali hatiku seperti di gas kencang. Rasa ngantuk tiba-tiba juga tak tahu pergi kemana.

Betul kakak. Kalau kakak tidak keberatan, bisakah tamu bergabung disini? Tanya Pius.

Aku tak berpikir banyak dan lupa kalau sedang hujan, karena kecepatan kalbuku sudah tinggi. Pisang emas dari mama pius benar membawa keberuntungan. Batinku girang. Aku langsung buka kaca, bersamaan pula San buka kaca.

Ayu..! Teriak San.

San..! Teriakku girang. Lalu terdengar teriakan Alex, Tom, Noel, dan Stefan dari dalam mobil. Berarti kita sama-sama girang. Aku pasti tak ingin diskusi panjang. Ditengah hujan deras, rombongan San pindah ke mobilku.

Thank you, Ayu..? Kata Alex dan yang lain.

Its oke, relax. Jawabku bersuka.

Ahh.. tidak usah sampai Denge, pisang mama pasti sudah habis, so! Pius berceloteh

Hatiku tentu saja gembira tiada terkira, untungnya aku tadi sempat beli deodorant. Mobil kembali bergerak dengan roda-roda yang tengah berdebar. Tak lama, mobil kami melewati daearah tidak hujan. Dari kejauhan, sebagian bukit terhampar warna putih. Bunga kemiri sedang merekah, memberi corak menawan pada bukit hijau. Tapi tak kalah wangi dengan hatiku. Keasyikan yang selalu aku rindukan disetiap perjalananku kepedalaman. Tak ingat lagi dimana aku taruh duka tentang kampret, yang pasti bukan di pantat, di ceker kaki aku pikir lebih pas.

Bagi anak-anak disini,  berjalan kaki naik turun bukit untuk pergi ke sekolah adalah hal yang wajar. Karena jauhnya jarak yang ditempuh, sepatu akan digantungkan  di leher, dan hanya dipakai saat berada di ruang kelas. Anak-anak yang cukup cerdas, karena kaki buatan Tuhan lebih awet dibanding sepatu buatan manusia. Rata-rata pada tiap dua kecamatan terdapat satu sekolah. Padahal jarak kecamatannya ada dibalik gunung. Beberapa kelompok anak, berhenti sesaat, melambaikan tangan dan tersenyum manis saat melihat mobil yang membawa kami melewatinya.  

Aaww¦ very nice children.. Komentar Alex. Someday you should go to Africa. Kata Alex kepadaku setelah melihat anak-anak manis.

Youve been there? Tanyaku

Yes, we went to Somalia, Sudan, Petersburg. You will see and learn how life is very hard in there. Jawab Alex sambil pikirannya melayang ke Africa. Aku sedikit exiting untuk mengetahui rombongan San lebih jauh.

Wow..! Reaksiku. Negara mana lagi yang sudah kalian kunjungi, San? Tanyaku penasaran.

Myanmar, Vietnam, India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, masih ada beberapa lagi. Jawab San. Aku manggut-manggut membatin kagum, sekaligus darah kewanitaanku berdesir ingin lebih dekat dengan paling tidak salah satunya. Mendengar ceritanya, berlima adalah cowok mapan dalam pekerjaan,suka tantangan, membiayai sendiri perjalanan dan kegiatan social yang mereka kerjakan.

Tak perlu mencari perbandingan dengan sekolah-sekolah maju di kota besar. Karena hanya akan buang jigong sia-sia, kalau kita sendiri hanya bisa mengkritik. Kami semua diam melihat ke luar jendela kaca mobil, mereguk udara segar, sekaligus sibuk dengan pikiran masing-masing. Pisang kecil-kecil berwarna kuning yang rasanya menurutku semakin manis, orang jawa menyebutnya dengan pisang mas, habis masuk perut kami berenam ditambah Pius dan Ferdi.

Mobil berbelok ke arah Selatan. Memasuki jalanan datar dan lurus. Kiri-kanan hanyalah tanah gersang dengan kelompok-kelompok rumput tak banyak. Beberapa binatang ternak, seperti sapi-sapi berwarna coklat, berada di tanah lapang mencari rerumputan. Aku berfikir, bagaimana sapi-sapi itu bisa kenyang, dengan rumput tipis yang menyembul di tanah? Entah sedang kemana si pemiliknya.

Sapi jantan disana pasti harus menghitung jumlah rumput yang akan dibagikan ke sapi betina, supaya semua dapat sama rata. Kata San di sebalahku yang ternyata juga memperhatikan sapi dan rumput.

Sayangnya, sapi jantan selalu salah dalam menghitung rumput, dia lebih fokus pada jumlah susu sapi betina. Jawabku santai. Kembali San terbahak.

Baru saja kami terlena dengan keunikan geografi yang tak dijumpai di wilayah lain, tiba-tiba segerombolan sapi yang hendak menyeberang malah berhenti jagong ditengah jalan.

Tinggal kasih rokok sama kopi saja, sekalian..! Teriak Ferdi, karena sapi-sapi tidak mau minggir walaupun sudah di klakson.

Mau kita turun kah? Tanyaku ke Ferdi dan Pius.

Kalau sapi-sapi itu sedang birahi kakak bisa dikejar, so! Jawab Pius tenang.

Kalau kita, laki-laki yang turun gimana? San menawarkan diri. sementara Alex, Tom, Noel, dan Stefan malah senang. Ferdi melihat San sambil mengangkat alis.

Akan lebih ganas lagi, kalau sapi perempuan sedang birahi, kakak..! Jawab Ferdi menggoda.

San langsung membuka pintu mobil. Kami melompat keluar mobil bergantian dengan bersemangat. Berjalan kearah sapi-sapi didepan mobil. Sapi-sapi cuek melihat kedatangan kita. Karena ada enam sapi, kamipun mendorong satu-satu kecuali Noel bagian camera. Noel juga langsung mengambil posisi terbaik untuk mengambil gambar.

Come on, baby..! you should go! Kata Noel sambil mendorong badan sapi ketepian jalan.

San, aku dorong yang jantan, aja. Pintaku pada San sambil tertawa.

Silahkan, nona¦ Jawab San sambil bertukar tempat denganku.

Pindah¦ pindah¦! Nona mau lewat, so..! Aku berteriak sambil mendorong sapi jantan didepanku. Sapi yang aku dorong dengan kesal terpaksa harus pindah, tapi berhenti lagi sambil mengibaskan ekornya. Jurus membujuk dan mendorong sapi untuk menuju tepi jalan harus kita lakukan.

Tepuk pantatnya, Yu¦! Teriak San. Aku menepuk-nepuk pantat sapi jantan didepanku. Si sapi langsung kelihatan girang, lalu melangkah senang ketepian jalan. Ternyata naluri sapi dan naluri manusia dewasa soal pantat tidak jauh beda. Kami pun bersorak saat berhasil meminggirkan sapi-sapi cokelat dipinggir jalan. Tak urung, deodorant yang aku pake dari Labuan bajo, ternyata masih kalah dengan aroma sapi-sapi ini.

Memasuki Lembor sebuah ibu kota kecamatan tempat transit sebelum melanjutkan perjalanan berikutnya, kelompok-kelompok rumah penduduk kembali nampak. Kota sangat kecil yang menjadi pusat pertemuan bagi para pedagang dari desa-desa lain di sekitarnya. Sekaligus menjadi tempat terakhir untuk istirahat bagi para wisatawan sebelum menuju desa Denge. Karena hanya di Lembor bisa dijumpai beberapa warung makan, sebelum melanjutkan perjalanan ke wilayah atau desa berikutnya.

Perjalanan masih sangat jauh. Ferdi menghentikan mobil di depan sebuah warung makan padang. Rumah makan yang cukup luas, sederhana, dan bersih. Dindingnya terbuat dari papan, tidak ada foto pejabat atau artis terpampang sedang makan di warung ini. Seorang wanita muda penjaga warung makan menyapa ramah, dan tampak sudah begitu akrab dengan Ferdi dan Pius. Aku dan San mulai membantu si bule-bule menjelaskan dan memesan makanan sendiri-sendiri.

Hmmm... Rendangnya yummy... Komentar Noel dengan bahasa belepotan, dan ingin tambah rendang lagi. Aku, Alex, San, Stefan, dan Tom, juga ingin minta tambah rendang. Tapi karena rendangnya tinggal dua, maka merekapun harus rela berbagi berempat. Tentu saja keakraban terus terjalin secara alami.

Hati-hati, San.. gara-gara rendang, kita bisa repot dengan urusan berak di Denge atau di Wae Rebo. Pesanku santai pada San. San tertawa membayangkan antri berak di pedalaman. Ia pun hampir tersedak bumbu rendang yang ditelannya.

Yang pasti bule-bule itu akan terima akibat rendang dan sambal padang di Denge. San menambahkan sambil matanya melirik kearah Alex, Tom, Noel, dan Stefan.

Matahari terus bergeser, kami tak bisa bercengkerama terlalu lama di rumah makan padang itu. Mobil meninggalkan Lembor dan kembali berbelok ke arah utara. Jajaran pegunungan dan jurang ada di kiri - kanan begitu dekat jaraknya dengan mobil mereka. Terus menanjak dan menikung mengikuti lekukakan pegunungan. Rimbunan hutan hijau tumpang tindih menutupi bukit-bukit. Rumah penduduk semakin jarang kita temui.

Di tepian jalan, ende-ende atau mama-mama, sedang mininting padi yang baru saja di panen dan akan digiling menjadi beras. Di bagian lain membentang padi menguning, namun belum dipanen. Mobil terus melaju, San menghentikan mobil di depan sekolah SD Negeri Kole yang terletak di kaki bukit. Berdiri di tengah lapangan diatas rumput hijau, murid-murid Sekolah Dasar Kole sedang latihan pramuka. Mengenakan baju warna-warni seadanya, tanpa alas kaki. Belajar hal sederhana di sekitarnya, mengenal Tanah Air Indonesia, serta mengasah kepedulian dengan sesama.

Kabut putih sudah mulai menutup puncak-puncak bukit yang mengepung Sekolah Dasar Kole, sore itu. Bendera merah putih berkibar dengan megah di tengah kepungan bukit hijau. Lagu Indonesia Raya berkumandang penuh semangat di kaki pegunungan nan subur dan terpencil. Dinyanyikan oleh murid-murid di pedalaman Flores. Aku dan San langsung berdiri di tepi lapangan, ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya. Noel, Alex, Stefan, dan Tom ikut berjajar disebalahku, khidmad mendengarkan lagu kebangsaan, walaupun mereka tidak tahu artinya. Murid-murid sekolah dasar negeri Kole tersenyum ramah pada kami seraya melambaikan tangan.

Interesting! Komentar Alex. You have an amazing country. Sambung Alex yang berasal dari Australia.

Lebih enak rasanya nyanyikan lagu Indonesia Raya ditempat seperti ini. Kata San, menyimpulkan makna yang dalam.

Kamu sendiri tinggal dimana, San? Tanyaku.

Aku di kerja di Australia, kami berlima sahabatan sudah cukup lama, semua masih jomblo, minimal setiap dua tahun kita bertemu untuk traveling. San menjelaskan sambil tersenyum ringan. Aku tentu saja tersenyum semakin senang menatap San.

Berarti kalian beruntung, ada satu cewek jomblo lebih keren yang sedang satu mobil dengan kau semua. Jawabku juga santai. San terbahak keras sambil menjelaskan kepada empat temannya.

Aaww¦very fantastic. Komentar Noel cuex dari State sambil memelukku. Tawa kami tak terhindarkan lagi.

Sore terus bergerak, langit semburat merah menyambut, saat mobil memasuki pesisir pantai Dentor. Jalanan kian nyenyat. Mobil angkutan umum dengan warna cerah menyerupai truk kemudian diberi tempat duduk dari bangku-bangku papan, tengah berhenti di depan kelompok rumah penduduk di tepi pantai. Oto nama angkutan ini. Banyak masyarakat sudah berada didalam oto.

Dari mana kakak, datang? Tanya kondektur Oto saat mobil Ferdi berhenti disamping sang kondektur.

Kami dari Jakarta. Jawabku sambil nongol keluar jendela mobil

Harus coba naik oto, so! Duduk bersama ikan, ayam, dan bumbu dapur, bisa bergoyang dengan music gratis, bisa duduk diatas, sepanjang jalan seperti rombongan mau nonton bola! Kondektur membuat kiasan yang manis.

Sebentar lagi penumpang kau penuh! Mau kau taruh mana kita di oto,so! Jawabku juga santai

Gampang itu, tak perlu kakak risau¦ penumpang ini bisa aku suruh turun lagi dan balik kerumah semua. Jawab kondektur disambut tawa penumpang lain.

Aaahh¦ lalu oto kau akan dibalik oleh masyarakat.. dan besok kau akan bawa oto dengan roda diatas, so! jawabku santai. Tawa kamipun renyah terdengar

Lagu khas masyarakat Flores, terdengar keras dan nyaring dari speaker yang dipasang di angkutan umum. Berangkat malam hari dari Denge dan Dentor, menuju Kupang kemudian akan tiba kembali di Dentor esok sore. Angkutan ini pun hanya melewati Dentor dan Denge dua kali dalam satu minggu.

Masuk dalam perairan laut Sawu. Tak terlihat pasir halus atau putih sepanjang pantai. Digantikan oleh barisan dan tumpukan batu-batu warna hitam unik dengan beragam bentuk serta ukuran. Jauh agak ketengah sebuah pulau berpenghuni seolah berdiri menyendiri. Pulau berpenghuni itu bernama Mules. Matahari sore terus bergeser ke barat, menyebarkan warna oranye dan abu-abu gelap di atas laut. Pulau Mules mulai terlihat seperti gunung berkelir gelap di tengah laut. Saputan warna jingga mulai ikut berpadu di langit. Memberi kesan siluet pada perahu nelayan di tengah laut.

Nelayan terus membawa perahu menuju pulau. Senja dilaut selalu menyuguhkan ketenangan dengan keelokan warnanya. Ombak air pasang mulai menghantam lembut pada batu-batu di sepanjang garis pantai. Sedangkan berhadapan dengan pantai adalah jajaran bukit-bukit dengan hutan lebat. Tak banyak masyarakat tinggal di pesisir pantai. Ada pasar kecil di tepi pantai, dimana ikan segar dan besar-besar mendominasi isi pasar. Berusaha mengambil gambar terbaik dengan perlengkapan camera masing-masing.

Are you always travelling for unfortunate children on every islands? Tanya Alex kepadaku

Not only for children, but also for new beautiful places, and for learning about culture.. many things. Jawabku.

Nanti tulis yang lengkap, ya.. no tilpun, blog kamu, email, facebook, dan lain-lain. Pinta San santai sambil membidikkan camera kearah senja dan perahu nelayan yang sedang menuju pulau Mules.

Akhirnya, Nanya juga¦ luluh gengsimu melihat perawan disarang penyamun. Jawabku juga santai sambil membidikkan camera kearah yang sama. San terbahak sampai terjenkang dari jongkoknya. Dan San kembali menstralate ke teman-temannya.

Spontan, Tom melangkah kearahku, dengan santai dia memegang pundakku sambil selfie dengan cameranya. Aku juga berpose santai. Im late for asking  your phone and email¦ but I win for selfie. Pernyataan Tom. Kami mulai saling meledek. You can see our photo on my facebook, I will tag you. Sambung Tom dari Swiss dengan lengan masih dipundakku. Lalu, kami berdiri berjajar menikmati keagungan senja di tepi pantai Dentor sore itu.

Senja sore itu masih enggan untuk pergi. Mobil pun kembali mengikuti jalan aspal menanjak dan gelap menuju desa Denge. Tak lama, terlihat deretan rumah penduduk berjajar rapi di tepian jalan, namun tak banyak. Di depan rumah, berjajar rapi tiang listrik dari kayu.

Lampu-lampu kecil yang menerangi rumah penduduk mulai menyala. Desa Denge makin terlihat begitu terpencil, dikepung hutan dan gunung. Listrik desa  menggunakan genset dan hanya menyala sampai jam sepuluh malam. Jaket hangat sudah menempel pada tubuhku. Tujuh jam lebih, mobil yang dikemudikan Ferdi berhenti pada aspal terakhir di ujung gunung pada ketinggian sekitar 700 - 800 meter diatas permukaan laut. Berbelok pada sebuah penginapan mungil milik Pak Blasius. Tempat transit bagi siapapun ketika hendak menuju kampung wae Rebo.

*****

Penginapan sederhana tepat di pinggiran hutan lebat dan berada anttara gunung dan hutan subur. Ramah, Pak Blasius dan istrinya menyambut rombongan dadagan kami. Keduanya orang asli Waerebo. Beberapa tamu asing yang lebih awal datang juga ikut menyambut kami. Semua menyatu dan akrab. Saling memperkenalkan diri dan berbincang dekat.

Selain menyimpan keunikan arsitektur tradisional, upacara Penti di kampung Waerebo selalu menyita perhatian banyak masyarakat dari luar negeri. Camera dengan berbagai jenis ukuran lensa sudah mereka siapkan, juga video. Tamu-tamu asing memang lebih banyak tahu tentang kampung Waerebo. Sedangkan jumlah wisatawan dalam negeri sendiri bisa dihitung dengan jari. Sekali lagi, itu sudah biasa. Makan malam bersama, dengan hidangan nasi merah, ikan bakar besar, dan sayur bening labu, menjadi hidangan sangat nikmat bagi tamu-tamu Pak Blasius malam itu.

Setelah hompimpah, aku mendapat bagian kepala ikan yang bersaing besar dengan badannya tentu saja. Very cute face.. Stefan dari Belgia berkomentar sambil menatap kepala ikan dipiringku. Hi, cute. Please have a good rest in her stomach. Sambung Stefan menggelengkan kepala sambil menatap wajahku. Kami hanya cekikikan menanggapi omongan Stefan. Aku sendiri jadi ikutan tidak tega untuk makan kepala ikan dipiringku,

Usai makan malam, di depan penginapan dibawah langit malam, kami menggelar meja plastik dan bermain kartu. Karena aku cewek sendiri dan menang terus, tentu saja semua perhatian tertuju ke diriku. Bintang dan bulan sedang tak muncul, hanya ada langit mendung, kilat, petir, serta angin dingin. Tak lama, titik-titik hujan mulai berjatuhan. Pius segera mengangkat meja plastik ditengah permainan. Semua membubarkan diri, masuk ke dalam penginapan sambil membawa kursi dan kartu masing-masing.

Di ruang makan lantai bawah, Pak Blasius menjelaskan kalau buku-buku dan perlengkapan lain dari Jakarta yang dikirim Anom sudah sampai di kampung Waerebo satu minggu sebelum aku datang. Kelompok San ikut mendengarkan, tapi mereka seperti enggan untuk bertanya. Porter warga asli Waerebo akan membantu membawakan barang-barang rombongan kami. Hal ini dilakukan supaya masyarakat Waerebo bisa merasakan manfaat ekonomi dari tamu-tamu yang datang.

Listrik seluruh desa Denge sudah padam, menandakan pukul sepuluh malam. Total seluruh desa menjadi gelap, termasuk penginapan Pak Blasius. Aku tidak perlu berteriak untuk main drama atau sekedar pura-pura takut supaya mendapat perhatian.  Senter di masing-masing kantong jaket kami, sudah saling memberi penerangan. Saatnya  pamit untuk istirahat.

Kalau ada perlu, kamarku disebelahmu, Yu¦ juga nggak aku kunci. Pesan San mengisyaratkan kekhawatiran. Aku berharap kamu minta antar kencing tengah malam. Sambung San dengan cuek. Alex disebelah tembok, aku dipinggir, jangan salah bangunin.  Pencet aja jempol kakiku. Sambung San dengan expresi datar.

Ok, jangan tuker tempat sama Alex, ya¦ ini gelap sekali, aku belum tahu bedanya jempol kaki kalian berdua. Jawabku juga santai. Sementara Alex, Tom, Noel, dan Stefan sudah sibuk dengan perlengkapan yang akan dibawa esok hari.

Dikamar, aku berfikir ingin memberi laporan pada banyak orang termasuk Anom dan Kae. Namun karena memang tidak ada connection, jadi aku berharap, lewat mimpi aku bisa menyampaikan pesan pada Kae dan yang lain.

***BERSAMBUNG***

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel