WINTER IN EGYPT .... Part 8

11 Aug 2015 18:51 7333 Hits 111 Comments Approved by Plimbi

Di benteng Salahudin, Edward menyampaikan segala yang tak terduga pada Lintang. Bagaimana sikap Lintang? Dan apakah mereka akan pergi ke Alexandria….!?

WINTER IN EGYPT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut 

Winter in Egypt  Part 1
Winter in Egypt  Part 2
Winter in Egypt  Part 3
Winter in Egypt  Part 4
Winter in Egypt  Part 5
Winter in Egypt  Part 6
Winter in Egypt  Part 7

BAB VIII

            Ada perasaan lega sekaligus plong usai aku bicara dengan mama Edward pagi itu. Paling tidak aku sudah tahu namanya. WOi, selalu berpesan, Aku dan Ajeng tidak boleh tidur dengan laki-laki sebelum tahu nama ibunya. Mama Edward terlihat santai saat di skype, friendly, tak nampak jaim, atau basa-basi hingga busuk. Tak ada kesan ia memiliki anaknya, atau aku harus menjaga barang milik anaknya  yang sangat berharga dengan hati-hati atau bahkan membelinya. Justru sebaliknya, ada kalimat yang membuat aku sedikit GR, âKick his butt, if heâs looking at other women.â Aku dan mamanya lalu sama-sama tertawa. âI will send him back to Nevada if heâs like that.â Jawabku santai, dan kami berdua tertawa santai.

 Aku dan Edward kembali menikmati kopi di salah satu kedai di pinggir-pinggir jalan yang tertata rapi dan bersih di sekitar masjid Al âAzhar pagi itu. Kehidupan pagi terus merayap seiring dengan kesibukan orang-orang yang berlalu lalang membawa keranjang kehidupannya. Seperti itu bahasa puitisnya. Aku juga belum melihat matahari muncul sejak kedatanganku. Dan aku juga tidak mencari, karena memang ini musim dingin.

            âAre you ok, hon?â Tanya Edward. âYes, everything is ok. Im comfortable. How about you?â Jawabku sekaligus tanya. âMe too. I feel the same way before and after see you.â Jawab Edward. âHow mom, WOi, and Ajeng?â Tanya Edward lagi. âThey are, fine.â Jawabku. âGive them my best when you call them.â Edward berpesan. âI will.â Jawabku.

            Masjid Jamiâ yang dibangun pertama di Cairo, dan sekaligus menjadi pusat keilmuan Islam terbesar. Kabarnya juga memberikan biaya gratis bagi siapapun yang belajar di Al Azhar. Didirikan oleh Jawhar Al Siqilly  jaman dinasti Fatimmiyah. Masjid yang sangat besar dan indah, tidak pernah sepi oleh penuntut ilmu.  Arsitektur menaranya begitu anggun, cantik, sekaligus gagah. Masjid tanpa menara memang seperti hambar rasanya. Lingkungan sekitar masjid hingga tempat aku duduk juga bersih dan tenang.

            Dipandu dengan travel yang sudah disewa Edward, kami melangkah menuju dan memasuki masjid. Edward sudah tahu dan paham apa yang harus dilakukan, aku juga tak ingin sok pintar dan merasa tahu. Intinya saling belajar. Bangunan ditengahnya berbentuk pelataran terbuka yang dikelilingi oleh portico. Semacam lengkungan-lengkungan dengan nilai artistic tinggi. Bagian dalamnya merupakan langit-langit datar yang ditopang kolom-kolom. Suasana di dalam masjid beratmosfir redup. Sementara di lantai membentang karpet berwarna coklat agak muda serta merah, berpadu dengan tiang penyangga. Dibagian sudut lain tampak seorang guru besar sedang mengajar beberapa murid mengaji, duduk melingkar diatas karpet yang bersih. Seorang petugas dari masjid menerangkan banyak hal yang berkaitan masjid dengan ramah. Edward yang sudah banyak membaca, nampak menyimak dengan baik.

            Hari itu juga aku membuat janji dengan Ahmad untuk bertemu. Kita harus menjaga hubungan baik dengan orang yang menyakiti kita, apalagi  dengan orang yang sudah menolongku. Begitu ajarannya.  Aku dan Edward sengaja ingin jalan kaki sambil menunggu Ahmad dan beberapa temannya. Ikut berbaur dengan pejalan kaki yang padat, serta mobil-mobil tua yang berdesakan dengan gerobak keledai. Ditambah gelandangan-gelandangan ditepi jalan dengan kondisi yang lebih mengenaskan dari Indonesia. Ternyata kita masih cukup menang dengan kondisi gelandangan di Mesir sini. Demikian juga dengan tumpukan sampah dipinggir jalan. Lagi, kita juga masih sedikit menang soal tumpukan kotoran, di Cairo.

Aku dan Edward tak harus merasa risih atau kikuk. Karena adanya memang seperti itu, kalau tidak mau terima ya jangan pergi ke Egypt. Berjajar penjual roti naan ditepian jalan, roti yang menjadi makanan khas dan pokok bagi masyarakat, bentuknya bulat lebar dan tipis.  Bertumpuk-tumpuk diatas rak, seperti tumpukan kain. Berdampingan tadi dengan, debu, sampah, knalpot mobil tua, aroma keledai dan gelandangan. Tak ada yang peduli, roti naan tetap laku keras, karena memang itu makanan mengenyangkan dan harganya sangat murah. Sehingga bisa terjangkau hingga masyarakat gelandangan. Bahkan tangan penjual juga terlihat lumayan kotor, termasuk baju hangatnya yang mungkin dicuci tiga minggu sekali. Aku dan Edward membeli roti naan disalah satu penjual, lalu dengan santai makan didepan tempat mereka dengan suasana sekitar seperti pasar.

âIts good, not badâ¦âKata Edward sambil mengunyah naan. âYes, and many peopleâs looks you like very poor tourism.â Jawabku juga sambil ngunyah naan. âOoo.. im sorry hon, canât give you diamond, I only give you, naan bread.â Kata Edward sambil menyuapiku naan. Kami berdua tertawa, dan tak sadar menghabiskan tiga bulatan roti naan yang cukup besar.

Penjual roti naan tertawa dengan tingkah kami, walaupun aku yakin mereka tak mengerti bahasa inggris dengan baik. Kemudian dia bertanya dengan bahasa ingris sekenanya. âWife⦠wife⦠honeymoon⦠pyramid?â Tanyanya serta berusaha merangkai kalimat. âYes, she is my wife, weâre on honey moon at pyramid.â Jawab Edward ramah dan friendly. âOooohhhhâ Jawab penjual naan sambil manggut-manggut. Lalu tiba-tiba sang penjual memberi kami sebungkus roti naan lagi, karena kasian melihat aku dengan Edward, dipikirnya kami sedang tak punya uang. âFor you and wife.â Katanya tulus dengan bahasa inggris kembali sekenanya. âThank you.. thank you..â Jawabku dan Edward berbarengan. Tak pelak lagi, beberapa orang kembali datang dan ikut tersenyum ramah pada kami berdua.

âFrom⦠from..?â Tanya salah seorang dengan bahasa inggris yang sama. âIndonesia.â Jawab Edward. âOh good.â Jawabnya senang. Kemudian mereka bertanya lagi, âTime⦠time.. how much, now..â Tanyanya sambil menunjuk ke pergelangan tangan. Aku berusaha memahami maksud pertanyaan mereka sesaat, sementara Edward tampak kebingungan untuk menjawab. âOhh.. how much time, now?â Jawabku mengikuti kekeliruan mereka, aku sedang tak ingin menjadi guru bahasa inggris disini. Atau merasa pintar dari mereka. âYea.. yea⦠â Jawab mereka bergembira. âNow, ten.â Jawabku pendek, sambil mengangkat jari 10. Aku tak perlu memberi tambahan am atau pm, karena juga tak ada gunanya. Dalam Edward menatapku. âYou are a kind women..â Komentarnya.

Aku berpikir, mereka tiap hari makan roti bercampur virus seperti itu juga tidak mati. Kalau aku dan Edward makan sekali saja dan kemudian diare itu berarti normal. Lagi pula tidak afdol kalau kita tidak mencoba rasa dan suasananya. Tak lama, Ahmad sudah datang dengan beberapa teman sesama Indonesia, ramah kami saling berkenalan lalu kami bersama menuju museum nasional Egypt, menggunakan mobil travel.

*****

Inilah meseum yang menjadi tempat menyimpan warisan kebudayaan dan sejarah Mesir yang panjang. Terletak di pusat kota Cairo. Petugas keamanan memberlakukan aturan yang ketat dengan senjata lengkap sebelum masuk museum yang megah itu. Hal yang lumrah, karena disini peninggalan sejarah dengan nilai tak terhitung disimpan. Di museum inilah  penyimpanan harta karun yang sesungguhnya. Tidak perlu ke dukun atau bersemedi untuk menemukan harta milik Firaun atau raja-raja lainnya selama memerintah Mesir dahulu kala.

 Memasuki museum banyak petugas yang sudah siap membantu dan mengawasi turis, aturan-aturan didalam museum harus ditaati mulai tidak boleh mengambil photo, berbicara keras, ataupun menyentuh benda-benda sejarah yang dipajang. Semua peninggalan dari barang-barang kecil hingga besar, yang terbuat dari emas, perak, perunggu, dari Mesir, Yunani, Romawi, dan Islam ada disini. Bahkan terapat pula artefak dari new kingdom. Termasuk didalamnya patung, meja, dan sarcophagus atau peti mati. Ada pula kuburan Firaun, Thutmosis III, ThutmosisnIV, Amenophis II, dan lain sebagainya. Dan yang paling spektakuler adalah disimpannya mummi  11 raja besar, termasuk Firaun. Yang juga dijaga oleh pasukan keamanan bersenjata lengkap. Itulah akhir kehidupan manusia siapapun mereka tetap akhirnya terbujur kaku tanpa daya upaya.

Aku mengagumi Edward yang antusias memperhatikan segala dalam museum, dan bertanya pada guide. Aku pun jadi ikut interest mengikuti, atau paling tidak mengerti gambaran umum tentang sejarah serta Mesir dulu kala. Aku tidak ingin membuat malu diriku sendiri, tetap nyambung ketika berdiskusi.

âYou are smart woman and a sweet heart, hon.â Kata Edward memuji. âAhh.. its just me learning about Egypt long time ago.â Jawabku dengan jual mahal. Padahal aku juga maksimal belajar mendadak, supaya aku tak malu.

âSudah berapa lama kamu di Cairo. Ahmad?â Tanyaku, tentu saja ke Ahmad. âSudah hampir 8 tahun.â Jawabnya. â8 tahun kuliah dijurusan yang sama atau beda?â Tanyaku lagi. âBeda.â Jawabnya pendek sambil tersenyum mengerti maksud pertanyaanku. âSudah berapa kali kamu datang ke museum ini?â Tanyaku lagi.  âBaru kali ini.â Jawabnya santai. Aku tak perlu kaget, terhenyak, bingung, dan lain-lain dengan jawaban Ahmad. Karena sudah lumrah, wajar, dan biasa, museum hanya menjadi barang rongsokan bagi orang Indonesia. Tak peduli apa yang disimpan didalamnya. Silahkan mendiskripsikan sendiri tentang gambaran dari jawaban Ahmad.

Usai dari museum nasional Egypt, kami melanjutkan perjalanan ke Benteng Solahudi Al Ayubi. Benteng yang terletak di bukit Mokattam. Dulu sekali digunakan untuk berlindung kaum Salib. Salahudin membangun ini dengan maksud agar tentaranya dapat mempertahankan kota Cairo dan Fustat. Salahudin tidak mengambil air dari Nil untuk suplai air, tapi membuat sumur sendiri sedalam sekitar 85 meter. Aku tak ingin berpikir bagaimana cara menggalinya saat itu, yang pasti rumit. Yang kemudian dikenal dengan sumur spiral menggunakan 300 lingkaran untuk menuju sumur itu. Tapi aku juga tidak ingin masuk dan menghitung lingkaran di sumur itu. Muazin-muazin dengan suara paling indah akan diuji kumandangnya di masjid ini.

Aku ingin bertanya lagi ke Ahmad dengan pertanyaan yang sama, walaupun aku sudah bisa memprediksi jawabannya, âKalau ke benteng ini, kamu sudah pernah?â Tanyaku. âSama, kita juga baru sekarang tahu.â Jawabnya masih dengan santai. Aku manggut-manggut dan tak boleh pingsan dengan jawaban Ahmad. âKamu nggak sayang, sudah tinggal disini 8 tahun tapi nggak ingin mengexplor budaya terbesar di dunia.â Aku mencoba membuka pikiran Ahmad. âHmm.. iya.. yaâ¦â Jawab Ahmad seolah baru sadar dari tidurnya. Aku terjemahkan ke eward apa yang aku bicarakan dengan Ahmad. Ia terlihat appreciate, biasa, juga tak harus bersikap arogan.

Bertemu dengan gadis-gadis remaja turis local, kemudian aku dan Edward photo bersama mereka. Salah seorang dari mereka sedang membuka tisu basah sambil menggigit-nggigit bungkusnya. Aku dan Edward memandang gadis itu dan ingin membantunya, karena dia masih menggigit bungkus tisu basah, padahal ada pembukanya disitu. Akhirnya aku dengan cuek dan ramah bertanya, âCan I help you?â Tanyaku pada si gadis cantik. Dia tersenyum lugu dan manis sambil memberikan bungkus tisu basah yang sudah digigit-gigit. Aku membukanya dari bagian pembuka. Si gadis tersenyum malu dan tersipu. âThank you..â katanya. âyouâre welcomeâ jawabku. Edward tersenyum menatapku dengan pandangan penuh cinta.

Perjalanan selalu mengajarkan banyak hal, bagaimana kita mengenal orang-orang terdekat kita. Dibagian pelataran tinggi, udara dingin bertiup segar memainkan rambutku. Pemandangan menara-menara masjid yang mendapat julukan kota seribu menara ini, semakin mempercantik benteng Salahudin.

Edward memegang tanganku, âLintang, I want marry you.â Katanya tegas, haru, sekaligus terdengar merdu dan syahdu siang itu. Aku merasa seperti mendapatkan kekayaan Firaun dengan pernyataan Edward. Karena tak menduga Edward akan bicara itu dalam waktu dekat. Aku ingin memeluk Edward tapi suasana sedang sangat tidak memungkinkan. Aku seperti orang kebingungan untuk menjawab, hatiku berdebar kencang setelah dua hari tak berdebar. Aku hanya mampu memegang tangan Edward,  ingin rasanya aku menangis bahagia, sumpeehh. Mataku menatap Edward tajam, ia seperti juga ingin memelukku, namun ditahannya. âIm really happy.â Hanya itu jawabanku. Suaraku parau, karena memang aku juga ingin menikah dengan Edward. Rasa dalam jiwaku menggelegar dengan warna biru, kuning, hijau, putih serta merah. Aku tak peduli dianggap lebay, tapi akhirnya ada yang mengajakku menikah, walau mamaku single parent

âWe will call your mom and my parents from Alexandria, tomorrow.â Kata Edward. âwe will talk to them, telling our plan and ask for blessing.â Sambung Edward tegas. Badanku seperti ambruk mendengar niatnya. Padahal aku sudah melupakan soal ukuran jari manis.

 

APA KEMUDIAN YANG TERJADI DI ALEXANDRIA⦠BENARKAH SEMUA BERJALAN SESUAI RENCANAâ¦â¦????? WINTER IN EGYPT 9

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel