Labirin Tak Berujung - Part 1

2 Aug 2016 16:52 13041 Hits 6 Comments
Labirin itu bagai tak berujung. Rongganya membungkus tubuh Bimo hingga sesak. Ingin menepis namun tak kuasa, ingin berontak namun ia menikmatinya. Layaknya lingkaran setan, Bimo tak punya pilihan selain membiarkan labirin itu terus menguasainya, entah sampai kapan.

sumber gambar diambil dari google image

 

Prolog

 

Labirin itu bagai tak berujung. Rongganya membungkus tubuh Bimo hingga sesak. Ingin menepis namun tak kuasa, ingin berontak namun ia menikmatinya. Layaknya lingkaran setan, Bimo tak punya pilihan selain membiarkan labirin itu terus menguasainya, entah sampai kapan.

Labirin itu tidak saja membungkus tubuhnya, pun membungkus tubuh Dira. Bedanya Dira belum menyadarinya saat ini. Labirin itu seperti kain sutera yang membelit tubuh langsingnya. Belaian sutera yang halus membuai ia ke alam mimpi yang indah namun ujungnya bagai pisau yang dapat menghujam jantungnya.

Permainan labirin cinta yang memukau menarik dua insan lain ke alam kehidupan mereka, Yanti dan Ario, dua tokoh protagonis namun berubah menjadi sadis, karena irama permainan labirin cinta versi Bimo dan Dira yang halus namun tak wajar, menghiasi kehidupan mereka menjadi kelam.

Aku, Marcel, menjadi insan tak berdaya yang hanya bisa diam dan membisu seribu bahasa, berusaha mengerti dengan keadaan dan berdamai dengan sang labirin...

 

 

Rasa Hati

 

Dalam Labirin Cinta

sumber gambar diambil dari google image

 

Bimo serius memainkan dawai gitarnya. Tembang “Sempurna” milik salah satu band legendaris Tanah Air berhasil memukau atensi dara manis bernama Dira. Dira benar-benar larut dalam irama petikan gitar dan suara merdu sang pujaan hati.

“So sweett...” itulah reaksi pertama Dira saat Bimo menuntaskan kehebatannya bernyanyi dan bermain gitar.

Bimo tersenyum lebar. Ia senang karena akhirnya bisa meluluhkan hati sang dewi yang selama ini dikenal sebagai mahkluk yang “sulit jatuh cinta”.

“Aku nggak nyangka karena kamu ternyata bisa romantis juga yaa...” Dira membelai pipi sawo matang Bimo dengan lembut.

“Thanks dear. Senang rasanya kalau kamu suka. Karena lagu itu sebenarnya...” Bimo terdiam sesaat.

“... mewakili perasaanku padamu...” Bimo melanjutkan kata-katanya sambil membalas belaian Dira dengan memegang jemari Dira yang putih mulus.

Dira terdiam. Kepalanya tertunduk, seperti ada beban berat yang mendadak menindih kepalanya. Perlahan butiran air bening keluar dari bola matanya.

“Sudahlah, tidak usah dibahas... kita bicara yang lain saja ya...” Dira menarik jemarinya dari belaian tangan Bimo, kemudian mengusap air matanya.

Bimo meletakkan gitarnya kemudian mencoba memeluk Dira. “Lupakan Ario, kembalilah padaku... Aku merindukanmu, Dira...” Bimo berbisik, kalimat terakhir hampir tak terdengar.

“Tidak mungkin Bimo, kamu sudah gila ya, kami kan sudah tunangan...” Dira membiarkan dirinya dipeluk sebentar, kemudian mendorong tubuh Bimo menjauhi dirinya.

“Lalu, kenapa kamu datang ke apartemenku?”

Pertanyaan Bimo bagai pisau belati yang menghujam ulu hati Dira. Ia hanya bisa diam.

“Karena kamu masih menginginkan aku kan? Masih mencintai aku kan?”

Dira masih terdiam.

“Jawab Dira! Aku butuh pengakuanmu...” Bimo merong-rong Dira.

Dira sebenarnya tak kuasa dengan pertanyaan menusuk Bimo, namun ia berusaha menjaga perasaannya agar tetap tenang dan terkendali. “Sudah malam Bi, aku pulang dulu ya.” Dira berdiri, ia sengaja tidak menjawab pertanyaan Bimo.

Melihat reaksi Dira seperti itu, Bimo menghela nafas panjang, “Hhhhhh...”

Dira berjalan menjauhi Bimo menuju pintu ruang tamu. Bimo tetap duduk tak beranjak dari sofa, ia membiarkan Dira menjauhi dirinya. Ia sering mendapat perlakuan seperti ini dari Dira, ia sudah kapalan.

Tepat di depan pintu, Dira berhenti sejenak. “Terima kasih buat dinner dan persembahan lagu tadi, Bi... Aku menyukainya.”

“Good night.” Tanpa peduli dengan reaksi Bimo, Dira membuka pintu apartemen Bimo dan meninggalkan Bimo berdua bersama dengan pertanyaan tak terjawab yang masih menggelayut di benak Bimo.

Sekali lagi Bimo menghela nafas panjang lalu menghempaskan tubuhnya yang penat ke sofa. Ia merasa gagal. Seluruh usaha dan pengorbanannya sia-sia. Sulit sekali menundukkan sang dewi. Padahal bagi Bimo, Dira seperti nafas kedua.

Akhir cerita cinta yang menggantung, bagian dari labirin cinta mereka yang tiada ujung...

 

 

 

Saat-saat Indah

 

Dalam Labirin Cinta - Part 1

sumber gambar diambil dari google image

 

Ario benar-benar merasa lega. Dua jam ritual pemberkatan yang penuh keringat akhirnya berhasil dia lewati. Sumpah sehidup semati yang keluar dengan gagap dari mulutnya tidak dapat menutupi perasaan bangganya saat ini. Menikah dengan perempuan impiannya semakin melengkapi kepuasan hati Ario. Ia merasa sangat diberkati. Senyuman lebar selalu terlukis di wajahnya. Tak peduli betapa pegalnya ia berdiri, Ario terus mengumbar senyum sambil mengucapkan terima kasih yang juga berkumandang dari bibirnya. 

Dira dan semua tamu undangan yang hadir menjadi saksi hidup betapa bahagianya Ario saat itu. Dira sendiri bahagia dengan pasangan hidupnya ini, meskipun menikah dengan Ario sebenarnya bukan impiannya. Terus terang, Ario bukan tipe pria idaman Dira, meskipun Ario seorang dokter sekalipun. Menyaksikan orang tuanya bangga menjodohkan dia dengan Ario yang masih ada hubungan saudara membuat dia memutuskan mengalah dan memilih keputusan orang tuanya, daripada keputusannya sendiri. 

Kecintaannya dengan seorang pujaan hati sejak masa kuliah tidak sanggup dipupuskan oleh Ario, yang sekarang ini justru sudah sah menjadi pendamping hidupnya. Meskipun senyuman manis menghias wajah cantiknya, ia tetap tak dapat menyangkal dirinya kalau ia masih punya ruang hati buat sang pria idaman yang justru tidak pernah menghargai dirinya. 

Tiga hari sebelum pernikahannya, Dira memberanikan diri memberikan undangan ke kediaman sang pujaan. Meskipun bukan sang pujaan yang menerima langsung undangannya, ia tetap berharap sang pujaan hadir saat ini.

Berbeda dengan Ario yang sangat bahagia saat ini, kekecewaan sesekali terbersit dari wajah Dira. Ia berharap pria yang pernah mengisi relung hidupnya datang di pesta pernikahannya dan mengucapkan selamat. Namun Dira tampaknya harus mengubur keinginannya dalam-dalam. Hingga waktu menunjukkan hampir jam sembilan malam, keinginannya itu tidak pernah terlaksana.  

"Beb, koq melamun? Ayo kita potong kuenya sama-sama." Ario membuyarkan lamunan Dira. 

"Ohh, iya iya... Oke beb." Dira salah tingkah. Ia tersadar bahwa ia seharusnya tidak boleh bersikap seperti ini. Ia sudah memperlakukan Ario tidak adil. 

Dengan sigap Ario memberikan pisau kue kepada Dira, lalu memeluk Dira dari belakang sambil tangannya memegang tangan Dira yang sudah memegang pisau dan bersiap-siap memotong kue pernikahan mereka. Adegan romantis ini spontan membuat para tamu undangan bertepuk riuh. Mereka kaget sekaligus senang mendapat tontonan gratis inisiatif dari sang mempelai. 

Setelah memotong bersama, tak lupa Dira memberi kecupan manisnya ke bibir Ario, lalu tertawa lebar. Ario terkejut senang, ia terus memeluk istrinya dari belakang, seolah tak mau lepas. Lagi-lagi para tamu bersorak senang. Mereka benar-benar larut dalam kebahagiaan kedua mempelai. Hari itu benar-benar menjadi hari bahagia bagi mereka berdua yang tidak akan pernah terlupakan. 

 

Pada saat yang sama di lain tempat, Bimo bersama empat sahabat karibnya mengelilingi api unggun sambil bernyanyi bersama. Mereka terlihat larut dalam suasana. Sepi dan dingin yang menusuk tidak menyurutkan mereka menikmati gelapnya malam. Tak lupa Bimo menyanyikan lagu kesayangannya, Sempurna, sambil terus memainkan gitarnya tanpa henti, seolah tak ingin keceriaanya berakhir. 

 

 

 

Tags

About The Author

Arya Janson Medianta 46
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel