Belanja online saat ini adalah salah satu aktivitas primer yang pastinya hampir setiap orang di Indonesia lakukan. Berawal dari masa COVID-19 di Indonesia pada tahun 2020 awal. Banyak Masyarakat yang diwajibkan untuk diam di rumah. Mulai dari aktivitas harian seperti bekerja, sampai aktivitas rekreasi yang umumnya dikerjakan di luar rumah.
Dari situlah banyak shifting atau perubahan yang terjadi khususnya di sektor ekonomi. Banyak usaha yang gulung tikar dikarenakan kurangnya pemasukan. Sebut saja pedagang-pedagang luring baik yang ada di pinggiran jalan bahkan hingga di mall mengalami yang namanya zero income zero visitor dimana tidak ada pemasukan dan pengunjung sama sekali yang datang ke toko.
Ada yang memang putus asa dan menyerah. Tapi ada pula mereka yang terus berusaha dengan salah satunya melakukan inovasi bisnis dari yang asalnya berjualan di toko-toko luring atau offline menjadi berjualan di toko daring atau online.
Usaha mereka tersebut tidak sia-sia. Para konsumen yang terpaksa harus berdiam di rumah selama darurat COVID-19 berlangsung ternyata mengubah gaya belanja mereka ke belanja daring. Awalnya mungkin banyak yang ragu dengan belanja lewat internet ini, karena selain meragukan keamanannya, ada juga keterbatasan dalam menggunakan teknologi yang dimiliki.
Tapi setelah berhasil melakukan belanja daring satu hingga dua kali, mereka yang awalnya ragu dalam berbelanja daring, akhirnya ketagihan melakukan aktivitas tersebut yang berdampak pada sepinya mall dan pedagang-pedagang luring lainnya.
Contohnya saja tanah abang yang “katanya” sepi gara-gara tiktok shop. Sekilas mungkin saja memang penyebab dari sepinya tanah abang di Jakarta itu adalah e-commerce atau media jual beli online yang makin menjamur. Tapi hal tersebut tentunya didukung oleh gaya beli Masyarakat yang sudah terbiasa berbelanja daring sejak awal mula COVID-19 masuk Indonesia.
Dari informasi terbaru, pedagang di tanah abang masih mengeluhkan sepinya pengunjung bahkan setelah salah satu e-commerce yang sedang panas-panasnya ditutup yaitu tiktok shop. Mereka lanjut menuntut untuk menutup semua e-commerce yang ada di Indonesia agar tanah abang Kembali jaya seperti dulu lagi.
Bisa saja pemerintah melakukan hal tersebut, walau kemungkinannya kecil. Banyak pertimbangan yang tentunya diperhitungkan, mulai dari dampak massif dari penutupan e-commerce itu tidak hanya berdampak pada media jual beli online saja, konsumen yang jumlahnya puluhan juta dan pemasukan kas negara juga akan terdampak. Selain itu, pertumbuhan Indonesia menjadi negara maju menjadi salah satu yang mengalami dampak terberat. Karena jika sampai pemerintah melakukan penutupan e-commerce di Indonesia, maka sama saja seperti Indonesia Kembali ke zaman dimana internet belum ada sama sekali. Berapa puluh tahun kebelakang tuh?
“Lalu solusi apa sih yang harus dilakukan pemerintah agar tanah abang bangkit Kembali?”
Menurut hemat penulis sih para penjual tanah abang harus mau berubah. “Don’t hold on to the glory of the past”; atau yang artinya adalah jangan bertahan pada kejayaan masa lalu karena masa sekarang, masa lalu dan masa depan pasti berbeda adanya. Salah satu perubahan yang harus dilakukan adalah mengikuti arus, yakni dengan ikut berjualan daring seperti para pedagang lainnya. Atau kalau misalkan bisa berinovasi lebih dari itu, pasti akan langsung viral dan banyak langkah yang bisa dilewati dengan instan.
Awalnya pasti ada kesulitan, namun penulis yakin dengan bantuan pemerintah seperti penyediaan sarana dan prasarana untuk mengedukasi para pedagang di tanah abang agar bisa berjualan online akan membuat perubahannya berlangsung dengan cepat. Tidak seperti mereka yang harus dengan modal, pikiran dan tenaga sendiri merintis dari nol berjualan di media jual beli daring.