LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... Part 10

22 Sep 2015 11:22 14170 Hits 331 Comments Approved by Plimbi
keindahan laingit malam sama memukaunya dengan puncak Wayag... adakah janji mereka berempat?

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part 1
Langit Sore di Raja Ampat Part 2
Langit Sore di Raja Ampat Part 3
Langit Sore di Raja Ampat Part 4
Langit Sore di Raja Ampat Part 5
Langit Sore di Raja Ampat Part 6
Langit Sore di Raja Ampat Part 7
Langit Sore di Raja Ampat Part 8
Langit Sore di Raja Ampat Part 9

 

BAB X

Di dermaga kayu, Yakob, Philipus, Felix, Peter, dan beberapa teman mereka yang baru datang, tersenyum menyambut rombongan kami.

“Halo, kaka capek kah?” Tanya dan Sapa Yakob

“Kita hanya berkeringat, Yakob…. Kau punya pulau sangan bagus sekali.” Kata Nakul

“Tapi, jangan kaka bawa pulang pulau kita, ya…. Karena hanya itu tanah kita..” Yakob tersenyum bercanda.

“Kita hanya minta senja buat kaka Padi, yo…” Jawab Sawa sambil melirikku

“Ahh itu mudah… nanti kita ambil senja sore ini…. Karena besok pasti akan ada senja datang lagi….” Kembali Yakob bercanda, membuat kita tertawa

Sore itu kami mandi air payau, lumayan segar dan lengket. Hanya beda sedikit dengan air garam, dan tak ada yang aneh. Kami kembali ke dermaga bergabung dengan Yakob dan teman-temannya, sambil menunggu senja yang pasti akan datang petang itu. Yacob sudah berjanji akan mengambilkan senja untukku.

Beberapa nelayan tampak sedang membersihkan ikan sambil bersantai menikmati udara laut sore. Duduk ditepian dermaga, bercengkerama denga beberapa hiu yang mulai berdatangan dibawah dermaga, menunggu bagian potongan ikan dari nelayan.

Darah ikan segar yang tengah dibersihkan para nelayan, mengundang mereka untuk selalu mampir didermaga setiap sore. Para nelayan dan hitu-hiu sudah saling mengerti apa yang diinginkan. Begitu potongan atau bagian dalam ikan segar dilempar ke bawah dermaga, badan hiu-hiu akan bergerak lincah. Dalam sekejap, makanan lezat kesukaan mereka akan dilahap habis. Kemudian mereka kembali berenang dengan santai, sambil menunggu lemparan berikutnya. Kalau genap sesbelas hiu, sudah bisa jadi tim kesebelasan.

“Bapa, hiu-hiu itu akan marah kah, kalau tidak diberi potongan ikan?” Tanyaku pada seorang nelayan.

“Hiu-hiu dibawah nona itu hanya akan marah kalau kita kasih mereka ikan asin, yo!” Jawab seorang nelayan bercanda disambut tawa lainnya.

“Mereka bilang, ikan asin makanan orang miskin dan tidak bergizi!” Seorang nelayan menimpali sambil melempar potongan ikan ke hiu-hiu. Kami mulai tertawa.

Satu persatu hiu dibawah dermaga menghilang menuju laut dalam, karena perutnya sudah kenyang. Sisa potongan ikan yang masih ada, menjadi jatah buat ikan-ikan kecil. Kami mendengar Yakob dan teman-temannya sedang menghafal Pancasila. Aku mendengar Peter hanya menghafal sila pertama, saja.

“Kenapa hanya Ketuhanan Yang Maha Esa, saja?” Tanyaku pada Peter

“Ibu guru di sekolah masih mengajarkam sila pertama saja, kaka…” Jawab Peter.

“Sila yang lain kemana kah?” Tanyaku lagi

“Setelah itu, ibu guru sakit lalu dibawa ke Sorong… jadi sila yang lain masih dibawa ibu guru ke Sorong, yo…” Jawab Peter lugu.

Aku memandang gemas ke Peter, mulailah aku bersama mereka menghafal pancasila bersama. Juna dan Sawa mengajari Yakob berhitung. Kadang Yakob menyembunyikan jarinya agar tidak dicontek yang lain.

“Kalau nanti jari kita tidak cukup, saya boleh pinjam jari teman yang lain kah?” Tanya Yakob

“Kita akan ajari kalian cara menyimpan angka, supaya kalian tidak perlu pinjam jari teman , yo..!” Sawa menjelaskan.

Anak-anak bergembira, Senja kuning keemasan sudah menghiasi langit barat, menawan. Anak-anak mengakhiri belajar berhitungnya lalu berlari menuju pantai berpasir lembut. Melepas kaos, dan meletakkan diatas batang pohon, kemudian berlomba masuk ke air jernih.

Kami memilih tetap duduk di tepian dermaga menikmati matahari yang terus merayap ke ufuk. Melihat tingkah Yakob dan teman-temannya mandi di laut tak dalam. Ombak kecil menghempas badan anak-anak, saling mengejar, melompat diatas punggung temannya, dan saling menceburkan ke air. Senja kian merona dengan kekhasan warna emas. Bayangan bocah-bocah yang sedang bermain dipantai serta dua bukit tempat matahari hendak singgah, menjadi silhouette cantik.

Aku tiba-tiba merasa sunyi. Membayangkan bagaimana kalau kami berempat terpisah. Aku melihat Juna, Nakul, dan Sawa juga diam. Entah apa yang ada dalam benak mereka. “Kok diam semua?!” Tanya Nakul

“Gimana, ya… kalau kita tiba-tiba terpisah..” Kataku.

“Kok sama?!” Jawab mereka bertiga bersamaan.

“Kalau nanti aku sama Nakul meninggal barengan, bisa nggak ya… dikubur di tempat seperti ini?!” Sawa berbicara sambil memandang senja. Aku dan Juna diam beberapa saat

“Kenapa kamu minta tempat seperti ini?” Tanyaku

“Supaya aku dan Nakul bisa tetap melihat kamu dan Juna.” Jawab Sawa masih memandang senja. Entah kenapa, bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Kami berempat saling memandang dalam. Ada kesedihan yang merayap tanpa sebab.

“Aku akan selalu mengingat senja sore terakhir, ada kamu, Padi, yang aku sayangi.” Kata Nakul. Aku kembali bergidik dan tiba-tiba sedih.

“Ada kita berempat, di senja sore ini… di Wayag, tempat yang dari dulu kita impikan.” Jawabku. Sambil menunjuk kearah senja.

Mentari bundar dan besar berwarna kuning tua, berhenti beberapa saat tepat diantara tengah bukit, kami masih duduk bercengkerama, Bias cahayanya menyebar pada langit diatasnya, memberi warna klasik, kuning tua berpadu coklat muda. Menjadi gambar dengan makna sederhana. Saatnya malam harus menggantikan siang. Perlahan, keindahan sore pamit, selalu memberi janji pada anak-anak, kalau esok akan kembali dan mengajak mereka menari.

*****

“Wwooww....!!” Teriakku.

Kami berempat terpukau menatap langit malam dari atas kapal cepat, hendak menuju pulau tempat dipusatkannya Sasi. Yakob dan teman-teman kecilnya yang ikut berada dalam satu kapal.  Warna warni sinar dari yang redup hingga paling terang, menutup seluruh kubah langit kepulauan Wayag malam itu. Cahyanya menyebar saling bertabrakan, membias, dan menerangi segala dibawahnya. Semua rasi bintang muncul malam itu. Berjejal, berdesakan, mengintip kapal yang kami tumpangi.

“Yakob, kemari.. kaka tunjukkan rasi bintang diata sana.” Kata Juna. Yakob mendekat kearah Juna. “ Itu ada Sirius, Canopus, Rigil Kentaurus, Arcturus, Vega, Capella, Rigel, Procyon, Achernar, dan Betelgeuse.” Juna menjelaskan sambil menunjuk ke langit malam.

“Di Jakarta asal kaka, juga banyak bintang kah?” Tanya Peter lugu

“Bintang yang bagus dan banyak, hanya ada di Wayag sini. Kaka belum pernah lihat bintang seperti ini.” Jawab Juna

Semua rasi menempati tempatnya masing-masing memberi kehangatan senyum pada anak-anak seperti Yakob dan teman-temannya. Bulan sedang pamit malam itu, karena tempat dimana dia biasa bercengkerama, sedang dipenuhi oleh bintang. Dibawah kapal yang bergerak pelan, plankton-plaknton tak ingin diam. Bersama bintang-bintang diatas, para plankton memadukan sinar kerlap-kerlip di laut sekitar kapal. Ikut memperindah panggung teater alam malam itu.

“Kaka Padi ingin bintang yang manakah?” Tanya Felix.

“Kaka ingin bintang yang paling terang.” Jawabku sambil memeluk dia didekatku

“Kau setiap malam bisa ambil bintang yang berbeda, Philip.” Kata Sawa

“Kita selalu ambil satu bintang yang paling terang buat teman tidur kita, saat bapa sedang tidak pulang membawa ikan ke Waisai.” Jawab Philip dengan damai

“Apa yang ingin kau minta pada bintang-bintang itu sebelum kalian tidur?” Tanyaku

“Kita minta agar bapa selamat kembali ke rumah, dan bawa makanan untuk kita.” Jawab Yakob dengan segala ketulusan. Kami berempat diam beberapa saat tak bersuara. Segala rasa sedih berbaur dengan keagungan malam itu.

“Kita juga sedih kalau bulan tidak datang pada malam hari, yo! Tidak ada yang kasih lampu terang di laut gelap!” Kata Peter. Aku tersenyum, memegang lembut jemari philip disebelahnya, mengajak anak-anak bernyanyi. Memanggil bulan yang tak kunjung datang. Tawa ceria Yakob dan teman-teman terbawa oleh angin laut malam, menerbangkannya ke seluruh penjuru samudra. membawa anak-anak terbang menari, meraih bintang yang mereka suka.

“Ambilkan bulan, bu... Ambilkan bulan, bu...Yang selalu bersinar, dilangit.. Dilangit bulan benderang... Cahyanya sampai ke bintang... Ambilkan bulan bu... Untuk menerangi,

Tidurku yang lelap… Dimalam gelap....”

Tiba di camp tempat Sasi dipusatkan, kapal bersandar di dekat pasir pantai. Sebuah tenda tak begitu besar sebagai pusat mengumpulkan hasil tangkapan Sasi, berdiri seadanya. Remang-remang lampu petromak yang berada didepan tenda menjadi satu-satunya penerangan di pulau kecil itu. Sambil mengawasi anak-anaknya yang masih kecil, beberapa masyarakat di pulau menyapa ramah pada kami.

“Selamat malam, nona… hati-hati dengan angin laut malam… nanti nona sakit, so..” Kata seorang nelayan.

“Jangan khawatirkan dengan angin malam, bapa… mereka hanya ingin sapa kita,…” Jawabku

Mereka tinggal tidak menetap. Berdiri diatas pasir tepian pantai, tanpa mengenakan alas kaki. Tak mempedulikan ombak dingin menyapu kaki mereka. Anak-anak dengan perut buncit dan kurus, tersenyum malu-malu sambil menggigit jarinya yang kotor.

Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, berbagi makanan kecil, baju, obat-obatan, dan perlengkapan mandi. Gatal, ingus, panas tinggi, malaria, kemiskinan, menjadi kombinasi dari pulau dengan keindahan nan elok ini.

“Terimakasih, kaka…” Jawab seorang mama pada kami.

“Sama-sama, mama..” Jawab Nakul ramah, sambil menggendong anak kecil didekatnya.

“Hati-hati kalau kembali ke Jakarta..” Pesan seorang bapa. Melihat kami berempat dengan senyum berbeda, entah apa artinya.

“Anak muda, jaga nona kalian dengan baik, yo..! jangan sampai diambil orang!” kata si bapa tersenyum lebar.

“Jangan khawatir, bapa! Nona ini sudah kita ikat, dihati!” Jawab Juna. Teriakan tawa pun menjadi riuh, mendengar cara Juna menggombal.

Usai ada kesepakatan harga dengan pihak travel di camp Sasi, kami bersama kelompok Yakob, segera menuju kapal. Masyarakat pulau mengantar hingga kapal, mereka saling melambai ditengah kegelapan. Kapal mengambil haluan, kembali menuju laut lepas. Jutaan bintang tak ada yang bergeser, tetap berkelip di hamparan langit malam.

Dahulu, manusia menggunakan rasi bintang sebagai penunjuk arah dan waktu. Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, mencoba mencari bitang Salib atau layang-layang, sebagai penunjuk arah selatan. Sementara Yakob dan teman-temannya mencari bintang beruang yang menunjukkan arah utara. Aku belum yakin kalau bintang iklan, atau bintang film, dan lain-lain, bisa menjadi bintang yang amazing seperti di Wayag.

Tiba kembali di dermaga kayu Wayag, kami duduk berkerumun. Mendengarkan cerita anak-anak yang tak pernah usai. Yakob, pernah mengalami demam tinggi, hingga dia sering kejang-kejang. Yakob, hanya ingin menjadi orang baik saat besar nanti. Felix, ingin menjadi guru, agar anak-anak di pulaunya bisa membaca dan menulis. Philipus, lima bersaudara, seorang adiknya meninggal karena malaria. Dia ingin menjadi dokter, agar keluarganya tak ada yang meninggal lagi karena malaria. Peter, ingin tetap menjaga konservasi di Wayag, agar tidak rusak. Lukas, ingin menulis cerita, dan masih ada yang lainnya. Mereka tetap mempunyai mimpi yang ingin dikejar. Dan mereka ingin tetap kembali membangun pulau yang mereka cintai.

“Disini tanah air beta, kita harus jaga selamanya! Bapa mengajarkan kita begitu.” Kata Peter dengan bangga.

Anak-anak tetap bangga mengakui pulau pedalaman tempat mereka berpijak. Mereka tetap ingin bersekolah, walau harus melewati lautan dengan perahu kecil. Sambil memangku Lukas, Nakul dan Sawa bergantian membacakan dongeng anak-anak di buku yangkami bawa dari Jakarta. Tak ada yang bersuara, semua diam mendengarkan cerita dengan serius.

“Buku itu akan kaka bawa ke Jakarta lagi kah?” Tanya Yakob

“Kita akan tinggalkan buku ini buat kalian! Besok kalian akan punya buku cerita buat kalian baca!” Jawab Nakul. Anak-anak bersorak gembira. Lalu berlari menuju tenda kami untuk tidur berasama. Suluruh bintang diangkasa tersenyum melihat Yakob dan teman-temannya gembira. Melambaikan cahyanya menyentuh kalbu anak-anak, yang selalu setia menunggunya tiap malam.

Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, masih menikmati malam di dermaga. Mas Alex datang menghampiri kami.

“Seru sekali sama anak-anak…” Mas Alex berkomentar. “Mereka anak-anak pintar, dan pemberani.” Kata Mas Alex.

“Bisakah mereka disekolahkan di Jakarta, so..?” Tanya Juna

“Kalian bikin lah anak dulu, so..!” Jawab Mas Alex. “Ini malam yang bagus sekali buat romantis, bintang penuh sekali dilangit.” Sambung mas Alex menggoda dan melirikku.

“Mau bikin dimana? Ini tempatnya terbuka semua, yo…” Jawabku sanatai. Tawa kami tak terhindarkan lagi.  Mas Alex pun memilih lari pergi meninggalkan kami.

Suasana kembali hening, bintang semakin benderang menerang dermaga. Kami duduk melingkar berdekatan, “Hmm… nasibku selanjutnya, gimana, nih…?” Aku membuka keheningan. Juna, Nakul, dan Sawa memandangku.

“Kita bertiga akan menyelesaikan ini, bukan kau. Ini urusan laki-laki, nona..” Sawa tegas. Aku menatap Juna, Nakul, dan Sawa.

“Kalian nggak ninggalin aku, khan?” Tanyaku lumayan galau

Juna menglus kepalaku, “Tidak ada yang meninggalkan kau, nona… “ Kata Juna. Aku semakin menyadari kalau aku memang menyayangi Juna, Nakul, dan Sawa. Kenyataannya kami juga tetap bersama.

“Nona Padi, sedang galau rupanya...” Kata Nakul meledek, kami pun tertawa.

“Ya pastilah, cuuii… udah jelas semua ada rasa, trus buntutnya semua mengalah alasan persahabatan..” Aku mempertahankan diri. “Bisa-bisa berangkat bawa tiga, pulang tak bawa apa-apa, aku…” Sambungku. Dan kami kembali terkekeh.

“Trus… malam ini ngapain, Cuuii..?” Tanyaku lagi

“Malam ini kita tidur sama anak-anak, sebelum bikin anak…” Jawab Nakul santai. Juna membantuku berdiri. Kami berempat berjalan berpelukan seperti teletabis, meninggalkan dermaga dan bintang-bintang dilangit malam Wayag, menuju tenda.

 

*****

 

Suara deburan ombak cukup mengusik kami yang masih lelap. Angin laut pagi menerobos masuk melalui bagian tenda yang terbuka. Membawa udara segar sekaligus dingin. Satu persatu kami membuka sleeping bed penghangat tidur mereka semalaman. Duduk sesaat, mengumpulkan kembali jiwa dan pikiran, sebelum beranjak menemui Yakob dan teman-temannya yang sudah menunggu di depan pintu tenda.

Perlahan, kami beringsut dari alas plastik tempat mereka duduk. Membawa perlengkapan mandi buat anak-anak lalu menggandeng Yakop dan teman-temannya untuk membersihkan badan. Burung-burung gagak hitam sudah mondar-mandir diatas pasir sambil sesekali membersihkan bulunya.

Ditempat terbuka biasa masyarakat yang singgah mencuci baju dan perlengkapan dapur, kami membaur bersama Yakob dan teman-temannya. Membersihkan badan dengan air payau. Aroma air sedikit tidak sedap dan kulit akan tetap berminyak walau digosok menggunakan sabun berulang kali. Tak berlaku teori kesehatan yang muluk-muluk disini. Yang tidak biasa menjadi hal biasa bagi masyarakat pedalaman. Peter mengoleskan pasta gigi ke jari telunjuknya, lalu sambil menggeleng-gelengkan kepala, Peter menggosok gigi dengan jari.

“Peter! Gosok gigi kau, paki sikat gigi! Bukan pakai jari!” Kata Juna sambil menunjukkan sikat gigi yang dimaksud.

“Bulu-bulu sikatnya ini bikin kita geli, kaka!” Jawab Peter tetap asyik sambil menggosok gigi dengan jari. Kami hanya geleng-geleng kepala.

Sedangkan Yakob, Felix, dan Lukas, menggosok baju yang menempel pada tubuh mereka dengan sabun mandi.

“Gatal-gatal kita bisa hilang, so..!” Felix menimpali sambil tertawa senang.

Gatal-gatal, ingus, panas tinggi yang sering mendera anak-anak adalah komplek, banyak penyebabnya. Sabun mandi yang akan habis dalam waktu beberapa hari bukan menjadi penyelesaian gatal-gatal mereka. Berbagi sedikit senyum dan suka akan membangkitkan mimpi mereka, walau mereka harus terseok untuk meraihnya sendiri.

Usai membagikan buku cerita, perlengkapan sekolah, perlengkapan mandi, kami harus segera berkemas untuk kembali ke Waisai dan berlanjut ke Jakarta. Raut murung menghiasi lekuk wajah anak-anak sambil membantu kami berkemas. Ketulusan yang hanya sesaat meninggalkan kenangan sangat berarti bagi Yakob dan teman-temannya.

“Kalau kakak pergi, siapa yang mengajak kita belajar berhitung?!” Yakob sedih.

“Kalian ini anak-anak tangguh, yo! Kalian bisa jadi contoh yang baik untuk anak Indonesia lainnya!” Nakul memberi semangat pada Yakob

Yakob diam sejenak lalu tersenyum, “Kaka betul sekali! Tidak ada guna kita cengeng! Cengeng hanya bikin kita ingusan tidak sembuh-sembuh,yo!” Yakob bersemangat, disambut tawa yang lain.

“Kita masih ingat cara simpan angka di otak! Jadi tidak ada yang bisa curi angka kita!” Philipus menambahkan.

“Kaka ingat kita di Jakarta, yo! Kita punya tanah air sangat indah disini!” Kata Yakob bangga.

“Kita disini juga punya burung Cendrawasih banyak sekali, kaka! Tapi kita tidak punya burung Garuda, yo!” Kata Philipus.

“Burung Garuda itu milik kita semua, bangsa Indonesia.” Aku menegaskan. Anak-anak tersenyum manis.

Berdiri diam di tepian dermaga, hendak melepas kami kembali ke Jakarta. Mata teman-teman Yakob memandang jauh kedepan. Banyak harapan yang ingin mereka dekap. Musim akan berganti diikuti angin laut yang tak menentu. Saat ombak tinggi datang tiada henti, pulau kecil Wayag dan sekitarnya pun akan terisolasi.

Anak-anak datang dan pergi antara dermaga dan perahu kecil mereka, mengayuh serta mengejar cita nya sendiri. Cita-cita sederhana untuk membangun tanah kelahirannya. Mereka berhak meraih dan merubah masa depannya. Negeri bernama Raja Ampat, sekarang atau nanti, akan tetap masyur dengan keindahannya.

Yakob belum terlihat di dermaga. Kami mencari Yakob. Kapal sudah mengambil haluan hendak berpisah. Tiba-tiba Yakob berlari diatas dermaga kayu, ditangan kanannya menenteng keong lola.

“Kaka, tunggu! Tunggu kita mau kasih oleh-oleh!” Yakob berteriak. Sawa segera meminta Nahkodah mematikan mesin kapal. Yakob melompat diantara dermaga kotak-kotak plastik penyambung dermaga kayu. Nafasnya terengah tiba di depan kapal kami. Berhenti sebentar mengatur nafas.

“Kaka Padi, kita cuma punya oleh-oleh rumah lola buat kaka. Kita sudah bersihkan dalamnya! Simpan baik-baik di Jakarta, yo! Agar kaka tetap ingat dengan kita!” Teriak Yakob diantara angin laut dan matahari yang mulai menyengat.

Aku melompat keluar dari kapal dibantu Juna. Menatap Yakob penuh kasih, menerima rumah lola yang cantik dari tangan Yakob. “Kaka akan simpan baik-baik rumah lola ini. Kita tidak akan melupakan kalian! Terus belajar!” Pesanku lembut. Yakob tak menjawab. Hanya mengangguk sendu.

“Datang lah ke pulau kami lagi, kaka!” Teriak teman-teman Yakob dari dermaga kayu. Aku menarik nafas panjang, menepuk pundak Yakob dan kembali melompat keatas kapal dibantu Juna.

 Tangan-tangan mungil melambai dari dermaga, menebar segala harapan wangi lewat gelombang dan angin laut. Masih ada langkah panjang dan tak boleh berhenti. Bukan waktu yang akan merubah semuanya, tapi berpulang pada diri sendiri. Pulau terpencil penuh gemerlap keindahan Wayag, perlahan menghilang dari pandangan. Keceriaan sekaligus kemuraman anak-anak didalamnya akan menjadi bagian kisah yang tak pernah usai.

 

BAGAIMANA ENDING ASMARA ANTARA PADI, NAKUL, JUNA, DAN SAWA....? APA YANG TERJADI DAN SIAPA YANG AKAN MENDAMPINGI PADI? AYO LANJUT DI LANGIT SORE DI RAJA AMPAT  Part 11

*****

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel