Refleksi 70 Tahun Merdeka: Pembiaran Pelanggaran Ham Masa Lalu

4 Sep 2015 23:30 1973 Hits 0 Comments
Kemerdekaan dan hak asasi manusia itu satu paket.

“Tujuh belas agustus tahun empat lima

Itulah hari kemerdekaan kita

Hari merdeka nusa dan bangsa

Hari lahirnya bangsa Indonesia merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka

Selama hayat masih di kandung badan

Kita tetap setia tetap setia

Mempertahankan Indonesia

Kita tetap setia tetap setia

Membela negara kita”

Anak-anak sekolah dasar menyanyikan lagu yang berjudul “Hari Merdeka” dengan penuh semangat Dibawah terik matahari yang menyengat sekujur tubuh peserta upacara memperingati 70 tahun kemerdekaan negara Indonesia, tak menjadi penghalang untuk mengumandangkan lagu tersebut.  Suara kentongan yang dipukul serentak menandakan detik-detik proklamasi. Pembina upacara pun membacakan teks proklamasi.

Suara yang lantang serta nyaring.  Membuat seisi lapangan upacara terkagum-kagum melihat pembina upacara yang bernama Pak Giyanto. Mengenakan peci berwarna semi merah yang sudah berumur puluhan tahun.  Kacamata  berlensa bulat seperti yang dikenakan Mahatma Gandhi salah seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia di India, Asia Selatan. Meskipun hanya seorang guru sekolah dasar yang berusia hampir kepala enam, beliau selalu  berusaha tampil  maksimal dalam acara apapun

Pak Yanto sapaan akrab Giyanto membuat sebuah teks yang direfleksikan untuk peringatan 70 tahun kemerdekaan Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-70 memang umur yang sudah tua. Masih banyak permasalahan sana-sini. Cita-cita para founding father yang selalu berusaha untuk mencapai kemerdekaan tersebut dengan jerih payah berlumuran keringat darah tak menjadi halangan. Memacu semangat untuk masa depan bangsa  agar lebih baik.  “Wah, merdeka akan membuat kehidupan yang lebih sakinah, mawaddah, dan warahhmah dalam bernegara kata jomblo zaman dahulu kala yang mau nikah” celetuk Pak Yanto disambut tawa oleh peserta upacara.

Founding father sampai memeras otaknya untuk merumuskan berbagai keperluan bangsa ini mulai dari dasar negara hingga sistem pemerintahan yang akan dijalankanya. Perdebatan-perdebatan diantara perbedaan pendapat menjadi makanan setiap hari.  Proses panjang perumusan itu dilalui tanpa adanya pertengkaran yang sengit. Mereka mencurahkan segalanya demi tercapainya cita-cita bangsa yang berdaulat adil dan makmur, beda dengan “manusia Senayan”. “Beda sithik rusuh!” (berbeda sedikit diributkan)

Tepuk tangan yang meriah menutup refleksi seorang guru yang telah mengabdi untuk pendidikan selama 30 tahun. Usai upacara, beliau pun bergegas menuju kantin dekat sekolahnya. Disitulah beliau terbiasa bercerita dengan guru-guru lain mengenai persoalan bangsa. “Tak ada yang perlu ditakutkan apa yang kita bicarakan disini, sekarang sudah zamanya demokrasi” ucap Pak Yanto sambil menyeruput kopi.

Kini, 70 tahun merdeka bangsa ini menikmati kemerdekaanya serta mengisi dengan hal-hal yang bermanfaat.  Kita sudah mengalami pergantian tiga kali orientasi demokrasi (orde), mulai dari orde lama, orde baru, dan yang kita sedang alami orde reformasi. Tiga kali ganti orde setiap peralihannya selalu terjadi pelanggaran hak asasi manusia (ham) berupa, penganiyaan, penyiksaan, serta perampasan hak hidup.  “Pertanyaanya, sudahkah kita benar-benar merdeka dan menghargai jerih payah founding father bangsa ini ?” tanya Pak Gino salah satu akrab teman nongkrong dikantin.

Melawan lupa

Kita sebagai rakyat tahunya peristiwa G/30/S/PKI  adalah peristiwa penyelamatan bangsa ini dari ‘kekejaman’ para penganut paham komunis yang amat bengis katanya. Buku-buku sejarah di buat sedemikian ‘cantik’ ceritanya. Hingga bangsa sebesar ini memberikan cap amat jelek pada peristiwa G/30/S/PKI. Padahal banyak sekali cerita yang disetir agar kebencian itu menjadi-menjadi. Mardiyanto salah satu korban penyiksaan kala aparat mendata para penganut paham komunis di negeri ini. Beliau yang tidak tahu apa-apa diciduk dan diberlakukan tidak manusiawi.  Kejadian ini dijadikan alat untuk menggulingkan kekuasaan orde lama agar orde baru bisa menguasai republik ini.

Orde lama tumbang, orde baru malah menjadi-jadi. Jikalau orang tua memiliki falsafah tua-tua keladi semakin tua menjadi. Dipakai oleh orde baru untuk melanggengkan kekuasaan militer menjadi-jadi. Penyiksaan dan penculikan menjadi makanan makanan sehari-hari.  Nyawa melayang tanpa sebab ataupun dengan alasan  mereka pembangkang terhadap pancasila. Harus dilenyapkan agar tak merusak tatanan di bumi pertiwi.

Jendral berkuasa selama 32 tahun memiliki rapor merah yang tak bisa dimaafkan oleh pejuang keadilan. Puncaknya tahun 1998 dan 1999 ditengah krisis moneter melanda negara kita. Ribuan orang melakukan aksi nasional untuk menurunkan presiden Soeharto. Mahasiswa-mahasiswa pejuang demokrasi dianggap membahayakan stabilitas negara.  Hadiahnya sangar bukan main, timah panas melayang kepada salah satu mahasiswa Atma Jaya bernama Arief sehingga ajal menjemputnya.  Beberapa mahasiswa lain dinyatakan meninggal dengan alasan yang sama, serta ada yang hilang tak pernah ditemukan hingga kini.

Rakyat ditutup matanya hingga tak nampak siapa yang salah. Seolah pelanggaran itu halal dilakukan atas dasar keamanan nasioanal. Yah, perampasan hak untuk hidup dimasa lalu memang biasa. Tapi perampas itu perlu diadili sesuai hukum yang berlaku. Jangan tutup mata kita semua, mereka yang menjadi dalang semua ini masih berkeliaran dan parahnya diangkat menjadi menteri, kepala Badan Intelejen Negara (BIN), dan orang penting lainnya.

Oh, kemerdekaan. Sudah lama kita merdeka tapi pelanggar hak asasi manusia masih bebas berkeliaran. Dia tak di adili karena dia berpangkat dan mejadi “pahlawan” pergantian sorientasi demokrasi. Semoga tuhan membuka mata rakyat dinegeri ini yang dipermainkan oleh bangsanya sendiri.  

 

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel