LANGIT SORE DI RAJA AMPAT....... Part 4

31 Aug 2015 19:01 11611 Hits 260 Comments Approved by Plimbi
Padi dan Juna terjebak oleh ombak yang besar di malam gulita. mampukah keduanya keluar dari teluk Mayalibit?

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part1
Langit Sore di Raja Ampat Part2
Langit Sore di Raja Ampat Part3

 

BAB IV

 

     Segala tentang Waisai, aku ceritakan menyusul, karena mendadak Mas Alex menawari kami untuk ikut kapal yang akan ke teluk Mayalibit, mengikuti nelayan Warsambin memancing ikan lema secara tradisional. Kesempatan yang tak akan datang dua kali, dan buat kami ini adalah pengalaman yang belum tentu didapat oleh siapapun wisatawan ke Raja Ampat.

            “Kebetulan sekali mereka masih punya sisa tempat duduk di kapal buat empat orang.” Kata Mas Alek dengan logat Papua. “Bapa-bapa pastor senang ada anak muda seperti kalian masih ingin melihat cara menangkap ikan tradisional.” Sambung Mas Alex. “Perjalanan jauh, malam hari, dan bulan gelap.” Tambah Mas Alex. Mas Alex juga memberi pengarahan sedikit tentang masyarakat nelayan Warsambin. Serius kami memperhatikan. Dan kami tahu apa yang harus kami lakukan.

Pukul 8.30 malam, Aku, Juna, Nakul, dan Sawa, diantar Mas Alex dan crew nya, sudah melewati jalan setapak gelap menuju dermaga kecil. Tak ada penerangan sama sekali. Nakul berjalan didepan sambil menggandeng tanganku. Dermaga tua dari papan kayu serta licin oleh air laut, namun masih kuat. Disini biasanya para nelayan menurunkan ikan untuk langsung diletakkan dipasar yang berada tepat disebelah dermaga. Menggunakan senter, kami saling membibing menuju kapal cepat yang sudah merapat di papan kayu, dan akan membawa mereka menuju teluk Mayalibit.

Mas Alex sudah tampak akrab sekali dengan orang-orang yang akan bersama kami. Kami saling menjabat tangan akrab dan memperkenalkan diri. “Selamat datang di pemancingan tradisional, yo..” Kata Dani ramah menyambut kami.

“Terimakasih, sudah kasih kita kesempatan ikut ke teluk .” Juna mengucapkan terimakasih. 

“Ombak malam ini akan sediki besar, yo… tapi jangan takut.” Tambah Yonathan. Kami berempat manggut-manggut. Aku baru sadar, kalau dikapal tidak ada pelampung.  Sedangkan pelampung yang sudah kami bawa dari Jakarta juga tertinggal di penginapan. Karena jumlah pelampung yang terbatas, wisatawan memang disarankan membawa pelampung sendiri.

Speed boat hanya mampu menampung maximal delapan orang ditambah nahkodah dan satu awak kapal. Bintang dan bulan sedang tak ingin menerangi malam. Langit malam dibiarkan dalam sunyi. Namanya juga bulan gelap, jadi wajar. Mengenakan baju hangat, kami saling duduk berhadapan dengan jumlah yang sama untuk menjaga keseimbangan kapal. Aku menepis segala rasa khawatir yang bermain dipikiranku. Begitu juga dengan Juna, Nakul, dan Sawa yang duduk disampingku. Berusaha menyembunyikan perasaan was-was melihat kondisi cuaca malam itu yang tiba-taba bunyi geluduk bersahutan.

Lampu kapal menyala, kapal cepat yang kami tumpangi merambat meninggalkan dermaga kecil, perlahan menuju laut lepas. Waisai semakin menjauh, lampu-lampu yang menghiasi rumah penduduk terlihat seperti nyala lilin, lalu menghilang. Tinggal bentangan samudra gelap dan sepi. Langit malam yang memayungi samudra seolah menghilang tertutup awan tebal. Lumayan panic sedikit, karena aku tak tahu lagi berada di laut sebelah mana.

Kapal bergerak diatas kecepatan sedang. Gelombang besar naik turun dan menghentak kapal dengan kuat. Kapal kadang mengayun diatas gelombang tinggi dan turun dengan guncangan keras. Hatiku berdesir dan mencoba bertahan untuk tidak lutah.

“Nona, masih kuat kah?” Tanya seorang pastur agak berteriak. “Masih, bapa.” Jawabku juga agak berteriak. “Nona bisa berenang, kah?” Kembali pastur bertanya sambil tersenyum seolah ingin memberi tanda, kalau aku harus siap berenang kalau hal buruk terjadi. “Kita hanya bisa berenang, di kolam tiga meter, bapa pastor… “ Jawabku disambut tawa lain ditengah guncangan ombak.

Angin kencang mengirimkan udara sangat dingin. Bunyi gemuruh geledek sesekali terdengar dari langit gelap. Kapal terus bergerak semakin jauh dan sendirian ditengah laut malam. Mengikuti gelombang yang semakin besar. Aku, Juna, Nakul, dan Sawa lagi berada di samudra bagian mana. Tidak ada yang bisa kami lakukakn, kecuali tenang dan berserah.

“Pacar nona cantik yang mana?” Tanya Dani mencoba menghilangkan ketegangan kami.

“Kami bertiga pacar nona cantik ini, yo…” Jawab Nakul juga mencoba mencairkan suasana tegang. Kembali semua tertawa.

“Kita tidak kaget, karena nona memang cantik dan pemberani… siapapun akan rela berkorban…” Yonathan menimpali.

“Tapi kau tak perlu ikut-ikutan berkorban juga… cukup kami bertiga saja yang jadi korban nona Drupadi…” Juna menambahkan. Suasana sedikit cair.

“Kita setiap hari sudah berkorban dipukulin istri, itu sudah cukup. Perempuan itu susah percaya kalau kita tidak tidur dengan perempuan lain.” Jawab Yonathan membuat kami tertawa.

Belum ada tanda-tanda kapal akan tiba di daratan. Sesekali Juna atau Sawa menggenggam jemariku, sekedar memberi kekuatan. Sebaliknya, Kuasa dan Kebesaran Sang Pencipta terasa damai ditengah ketidak berdayaan manusia. Dua Pastur yang bersama dalam rombongan kami, tetap mencoba mengajak kami berbincang untuk sekedar mengalihkan perhatian. Juga tak ada gunanya kami menyerah sudah ditengah jalan.

Kami memang penasara  tentang tata cara dan kebiasaan masyarakat setempat dalam menangkap ikan tradisional. Nahkodah tiba-tiba melambatkan kapal, tanda mereka sudah memasuki Teluk Mayalibit. Yonathan dan Dani melangkah menuju bagian depan kapal, dan meminta nahkodah mematikan lampu kapal. Aku sempat kaget dan bingung.

“Ini supaya ikan lema tidak takut dan pergi dari daerah teluk.” Bapa pastor menjelaskan pada kami berempat.

Tebing-tebing karang tinggi di kiri kanan kapal tampak gelap dan samar. Ayunan gelombang mengombang-ambingkan speed boat yang bergerak pelan. Yonathan dan Dani menyalakan senter kearah tebing. Kami berempat yang juga sudah siap senter di tas kecil kami, ikut membantu Yonathan dan Dani. penglihatan nahkodah agar tidak menabrak tebing-tebing karang.

“Lampu senter orang Jakarta rupanya lebih terang, yo…” Kata Dani.

“Karena senter kami pakai baterei, bukan pakai buah pinang, yo...” Jawab Sawa sekenanya. Semua yang ada di kapal tak bisa lagi menahan diam.

Teluk tertutup dengan dinding batuan karang, yang ada di Waigeo. Kokoh membingkai kawasan teluk pada kegelapan malam. Suku Maya mendiami wilayah ini. Teluk yang dikenal mempunyai struktur unik, seperti mengisolasi sejumlah air laut. Lebar teluk sekitar 350 meter menyebabkan pertukaran massa air terjadi dengan tidak sewajarnya. Saat pasang surut laut, akan terjadi arus yang deras, berebut mengalir melalui pintu teluk yang sempit. Ikan lema mendominasi biota laut disini.

Masyarakat adat dengan segenap kesadarannya, melindungi segala yang telah memberi mereka hidup. Ikan lema hanya boleh ditangkap pada saat tertentu yang telah disepakati adat, bulan September, Oktober, dan November. Pada bulan gelap, sepanjang lima belas malam. Di luar bulan gelap, induk lema akan melepas telurnya dan tidak boleh ditangkap. Kampung Warsambin dan Lopintol menjadi penghasil ikan lema terbesar.

Perahu nelayan dengan lampu petromax terlihat tak begitu jauh dari kapal speed boat yang sudah berjalan lambat. Dani dan Yonathan berteriak memanggil si nelayan dengan bahasa Papua. Perahu nelayan tampak semakin mendekat kearah kapal yang kami tumpangi. Dani berbicara dengan si nelayan dengan bahasa mereka. Tiba-tiba, sang pastor seoarang Papua asli mempersilahkan salah satu dari kami ikut dengan perahu nelayan. Kami berempat bingung saling memandang. Aku pasti tidak diijinkan oleh Juna, Nakul ataupun Sawa. Yonathan dan yang lain melihat kebingungan kami.

“Kaka tidak usah takut... Kaka bisa lihat cara kita tangkap ikan, yo. Supaya nanti kaka bisa bercerita pada banyak orang kota...” Kata Yonathan memberi kesempatan pada kami.

“Hom pimp ah lagiiiii..” Usulku. “Yang menang berangkat.” Usulku lagi seperti jagoan. Yonathan dan yang lain hanya geleng-geleng kepala. Walalupun aku pasti tidak diijinkan, aku tetap ikut hom pim pah. Dan aku menang.

“Aku yang berangkat…!” Kataku sambil angkat tangan. Aku merasa mendapat tantangan baru. Semua yang diatas kapal diam. Aku bisa paham dengan pikiran mereka semua.

“Pastor, minta tolong sekali cari perahu nelayan satu lagi.” Kata Juna. Kembali mereka saling memandang.  Dan sangat tak terduga, ada satu perahu nelayan lewat tak jauh dari kami. Dan pastor sama Dani, lalngsung berteriak memanggil bapak di perahu. Juna, Nakul, dan Sawa kembali hom pim pah, tanpa diperintah. Kali ini Juna yang menang.

Entah kenapa, taka da kebimbangan atau takut ditengah kegelapan malam. Aku dan Juna harus meninggalkan kapal, kemudian ikut dengan perahu nelayan kecil. Bersama nelayan yang belum aku kenal.

“Yang penting, jangan panic, ikuti alam dan gelombang.” Pesan bapa pastor

“Yakin, aja… aman!” Nakul meyakinkan.  Aku mengangguk yakin. Nakul dan Sawa lalu bergantian mencium pipi kiri-kananku. “Kayak mau balik lima tahun lagi…” Juna meledek Nakul dan Sawa. “Sini aku cium juga… biar nggak rebut.” Kata Sawa menggoda Juna. Dengan gaya berpelukan ala laki-laki, bertiga saling menepuk pendak.

Aku dan Juna lalu turun dari speed boat dibantu Deni dan Yonathan ke perahu nelayan yang sudah berada dibawah kapal. Aku dan Juna, berada di perahu terpisah, sama-sama duduk diujung perahu bagian belakang dengan kaki selonjor sedangkan si nelayan duduk di ujung perahu bagian depan untuk menjaga keseimbangan. Perahu kayu sangat kecil, sederhana dan bagian dalamnya juga sudah basah oleh air laut. Jaring berukuran sedang, tombak panjang atau balobe, serta ember kecil tergeletak di dalam perahu. Kemudian dibagian depan, lampu petromak menyala redup untuk memancing ikan lema.

            Kami berdua mulai ikut mendayung  beriringan mengikuti sang nelayan menuju teluk. Terus menjauh dari kapal, ditengah gelombang laut gelap, dan berjanji bertemu dengan rombongan di dermaga Warsambin. Aku maupun Juna mencoba menyatukan hati dengan laut, angin, serta gelombang malam itu seperti si nelayan didepannya. Kehidupan yang harus masyarakat jalani di pulau terpencil, setiap saat. Tanganku menyentuh air laut dan membasuh wajahku. Juna melihatku samar-samar karena gelap yang pekat, lalu mengikutiku.  Harmoni alam selalu mampu menjadi peyelaras jiwa. Memberi ketenangan kalbu ketika berada ditengahnya dengan kedamaian hati. Aku tersenyum mengkuti sang nelayan seperti gelombang yang membibingnya menuju teluk. Aku maupun Juna melepas segala kekhawatiran, dibiarkan alam menuntun pikirannya.

Entah sudah berapa lama Aku dan Juna mendayung bersama nelayan. Tiba-tiba gulungan ombak tinggi mengguncang perahuku dan perahu Juna. Perahuku tak mampu menjaga keseimbangangan dan terbalik. Tak pelak lagi, tubuhku sedikit terhempas di laut malam dan dingin. Aku masih berpegangan dibawah perahu, mencoba tenang, pasrah sekaligus mencoba berenamg ke permukaan. Aku tak bisa melihat apa-apa, tapi masih berusaha untuk tidak minum air laut. Juna dan nelayan yang bersamaku segera menarikku keatas.

“Ok, tenang, jangan panic.. kamu sudah aman.” Juna berusaha menenangkan aku. Setengah mati aku berusaha tidak panic ditengah laut malam. Sekaligus mencoba untuk tidak menangis. Kakiku dan Juna harus terus bergerak supaya kami tetap bisa mengambang di permukaan. Sedangakn nelayan satu lagi membantu membalikkan perahu. Setelah perahu kembali ke posisi semula, aku harus naik lagi ke perahu yang sama. Untuk kembali ke kapal cepat juga tidak mungkin, untuk berteriak apalagi, tidak ada gunanya. “Kamu akan baik-baik, ya…  perahuku nggak akan jauh.” Juna meyakinkan sambil mengelus kepalaku. “Berusaha tenang, agar tidak kedinginan.” Pesan Juna yang juga sudah kuyup. Aku hanya mengangguk pasrah, dan berusaha kuat.

“Bapa minta maaf, so..” Kata si nelayan diatas perahu. Aku masih mencoba tersenyum. “Tidak apa, bapak. Terimakasih sudah menarik tubuh saya.” Jawabku. Si nelayan hanya mengangguk.

Saat kami hendak kembali mendayung, tiba-tiba aku melihat ada yang bergerak cepat berwana putih dalam jumlah banyak disekitar perahu. Aku terperanjat kaget ditengah kedinginan. Rupanya, ikan lema telah mengikuti lampu petromax yang seperti lantera buat mereka. Si nelayan tersenyum dan mengangguk padaku. Dia seperti ingin mengajarkan sekaligus menunjukkan padaku bagaimana cara menombak ikan.

Dengan cekatan sekaligus tenang, si nelayan mengambil tombak lalu berdiri dengan tetap menjaga keseimbangan agar perahu tidak terbalik. Tangan si nelayan mengangkat balobe yang panjangnya sekitar empat meter dengan mata tombak terbuat dari besi runcing. Matanya membidik ikan lema disekitar perahu, dan dalam sekejab seperti elang, tombak pun melesat tepat mengenai tubuh seekor ikan lema yang berukuran cukup besar. Dalam sesaat, darah segar yang mengucur dari tubuh sang ikan, tersapu oleh gelombang laut. Aku maupun Juna tersentak melihat kepiawaian sang nelayan ditengah kegelapan. Rasa dingin yang menggigil pun seperti lenyap. Si nelayan mengangkat ikan yang sudah tak bernyawa ke atas perahu. Lalu dengan santai kembali pada posisinya, mendayung perahu menuju teluk, menggiring ikan-ikan lema yang tetap mengikutinya.

Aku masih bengong dengan apa yang dilakukan nelayan. Aku ingin mengajak bicara, tapi juga tidak bisa, karena kami harus menjaga suasana tenang. Supaya ikan lema tetap mengikuti kita. Aku hampir tak mempedulikan lagi tubuhku yang basah, karena exiting melihat ikan lema yang jumlahnya tak terhitung. Mataku bingung kesana kemari mengikuti pergerakan lema yang menawan.

Alam dan Kuasa Tuhan menyatu, menggerakkan ratusan bahkan ribuan ikan berwarna silver tetap berada disekitar perahu. Meluncur susul menyusul, kadang saling mendahului. Perahu seperti memasuki aliran sungai lebar. Kekagumanku dengan lema yang mengitaruku belum usai, Aku dan Juna dibuat diam saat memasuki teluk. Berbentuk setengah lingkaran tak beraturan, membentuk pulau. Karang-karang terjal seolah menjadi dinding penjaga agar ikan tidak bisa lari kemana-mana. Ikan-ikan tetap bermain dibawah air jernih tanpa rasa takut dibawah perahu yang diam. Luluh hati kami berdua melihat alam didepan kami. Si nelayan mengambil jala kecil disebelahnya, lalu menjala lema secukupnya, tak banyak. Hanya sekitar tiga puluh ekor, dan meletakkannya didalam perahu.

“Bapak tidak ambil yang lebih banyak kah?” Tanyaku pelan sekali

“Kita hanya ambil secukupnya buat makan keluarga dan buat kita jual.” Jawab si nelayan ramah. Aku masih diam bingung. “Kita tidak boleh serakah. Supaya Tuhan dan ikan-ikan disini tetap sayang dengan kita.” Sambung sang nelayan

Aku memandang diam pada nelayan sangat sederhana didepanku. Kalbuku runtuh melihat ketulusan nelayan menjaga yang sudah diberikan Sang Pencipta. Laut dan segala isi didalamnya seolah membentuk ikatan kuat dengan masyarakat. Saling memelihara tanpa ingin saling menghabisi. Aku kembali dibuat bingung dengan sikap nelayan di depanku. Dia mengembalikan beberapa ikan lema kedalam air laut.

“Kenapa bapak kembalikan lagi?” Tanyaku

“Lema betina ini sedang bertelur, kita tidak boleh ambil. Kalau kita ambil mereka nanti bisa habis tidak punya keturunan lagi.” Jawab nelayan menjelaskan padaku.

Keiklasan dan kearifan itulah kekayaan mereka, mampu memberi cahaya pada langit gelap. Lampu-lampu petromax pada perahu kayu seadanya menjadi lantera bagi pelestarian kekayaan alam di teluk Mayalibit. Air akan segera pasang, si nelayan dan Neji kembali mendayung keluar teluk, meninggalkan ribuan ikan-ikan lema yang masih berkejaran dibawah laut bening. Tak ada yang mengusik mereka. Terus mendayung melewati air yang mulai pasang. Gemuruh perjalanan yang menyenangkan ingin aku ceritakan pada Nakul dan Sawa.

*****

Suara Yonathan, Pastor dan Dani sudah terdengar dari atas dermaga Warsambin. Lampu senter mereka sudah bisa menjangkau ke perahu yang kami tumpangi. Semua terdiam melihat tubuhku dan Juna yang kuyup.

“Tadi perahu kita kehantam ombak hingga terbalik.” Kata si nelayan mulai bercerita. Nakul melepas jaketnya dan memakaikannya di badanku, dan memelukku. Sedangkan Sawa memberikan jaketnya pada Juna. Tak ada gunanya lagi dibicarakan panjang lebar. 

“Terimakasih,Tuhan, kalian masih bisa kembali.” Kata bapa pastor serius pada aku dan Juna.

Dermaga kokoh dari papan kayu dan cukup lebar. Terdapat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama disini karena Warsambin merupakan wilayah distrik. Rombongan Yonatahan yang berdiri di dermaga, langsung mengikuti arah akan berhentinya perahu yang membawaku dan perahu Juna.

 “Tidak ada gelombang atau ikan hiu tega menelan kau, Nona Padi..” Kata Dani  mencoba menghibur kami. “Bahkan ikan-ikan lema rela mengikuti nona cantik.” Kembali Dani berkomentar. Walaupun sebenarnya yang diikuti ikan lema adalah lantera lampu petromax.

“Betul sekali, kau. Bahkan ikan-ikan lema rela menyerahkan diri untuk aku tangkap, yo..” Jawabku sambil tersenyum. “Terimakasi, kau sudah kasih kesempatan kita untuk melihat lema.” Aku mengucapkan terimakasih.

Berjalan beriringan menyisir tepian rumah-rumah nelayan yang sangat sederhana. Terbuat dari papan dan tak ada fasilitas memadai. Didepan rumah membentang  beberapa jaring ikan. Tak sedikit rumah panggung dari papan berdiri tepat ditepi pantai, dengan penghubung jalan dari papan yang sudah usang. Rumah kecil-kecil dengan penghuni yang bertumpuk. Air bersih untuk masyarakat dipasok dari PAM. Listrik yang menyala hingga pukul 10.00 malam pun sudah padam. Tinggal menyisakan gelap gulita. Dibagian ujung deretan perumahan kelas bawah ini terdapat WC dan kamar mandi umum. Lolongan anjing terdengar bersahutan menambah sunyi sang malam. Aku berada diantara Juna, Nakul, dan Sawa, terus menyisir jalan setapak mengikuti Yonathan.

 “Yonathan, terimakasih kau sudah kasih kita ikut bapa nelayan tangkap ikan.” Kata Juna dengan logat Papua

 “Kita juga senang. Paling tidak semua pertanyaan kau diatas kapal tadi sudah terjawab semua, yo...” Jawab Yonathan dengan bercanda.

Tak lama saling menyusul beberapa perahu nelayan lain memasuki pantai. Tak semua perahu membawa hasil tangkapan. Ada yang membawa hanya beberapa ikan, namun berukuran besar-besar. Ada yang perahunya kosong, tak ada hasil tangkapan satu pun. Namun juga ada yang membawa tangkapan lebih. Untuk makan keluarga para nelayan akan mengambil secukupnya. Sisanya akan dijual dengan harga sangat murah, kemudian hasil penjualan akan digunakan membeli kebetuhan pokok lainnya, atau bahkan sudah habis untuk membayar hutang mereka pada penadah.

Kemiskinan, dan segala kekurangan tak pernah merubah sikap para nelayan untuk menjadi serakah pada laut yang sudah menyediakan lebih. Masyarakat suku asli hanya mengambil secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari. Harmonisasi antara Tuhan, alam, dan manusia saling melengkapi dengan cantik ditengah kemiskinan masyarakat. Menjalani hari-hari dengan apa adanya tanpa menuntut lebih.

Mengenakan kaos dengan bagian lengannya sudah robek dan celana pendek, serta tak mengenakan alas kaki. Si nelayan mulai menghitung hasil melautnya. Mereka lalu menawarkan harga seperti biasanya pada pembeli. Para pastor tak ingin menawar, mereka membayar dengan harga tiga kali lebih dari harga normal per ekor.

“Kalau bapa membayar lebih, ikan-ikan di laut sana bisa minta bagian, yo!” Kata seorang nelayan bercanda

“Kadang ikan-ikan itu suka beli minuman ke cafe!” Seorang nelayan menambahkan

“Belum kenyang kah mereka minum air laut?!” Yonathan menambahkan

“Ikan-ikan bilang, air laut tak bisa bikin mereka menari-nari. Kalau minuman cafe bisa bikin mereka goyang sampai pagi!” Nelayan lain menambahkan. Kami pun tertawa dengan celotehan para nelayan.

 “Kau ganti saja minuman di cafe mereka dengan botol isi kecap dan saos sambal! Ikan-ikan itu bisa makin kencang putar kepalanya saat bergoyang!” Pastor menambahkan disambut tawa yang lain

Masyarakat kampung nelayan Warsambin, tinggal terpencil dikepung lautan. Kemiskinan tak menyebabkan mereka harus meratapi nasib terus menerus. Hiburan mereka ciptakan sendiri untuk memberi keselarasan seiring jalannya hari-hari. Tak peduli dapat tangkapan atau tidak, mereka tetap ceria dengan kekhasannya.

Duduk beberapa saat ditepian dermaga menikmati malam gelap, sebelum kembali ke Waisai, rombongan kapal dan para nelayan tampak begitu dekat. Tak ada kopi hitam atau camilan. Hanya ada deburan laut pasang menerpa kayu-kayu penyangga dermaga, sedikit aroma amis ikan laut, serta desiran angin. Anak-anak muda yang berada disekitar dermaga ikut mendekat, membawa gitar, duduk bersama dan bernyanyi sambil menggoyakkan badannya.   

Sajojo  sajojo… Yumanampo misa papa, Samuna muna muna keke… Samuna muna muna keke.

Sajojo sajojo… Yumanampo misa papa.. Samuna muna muna keke… Samuna muna muna keke

Kuserai kuserai rai... Rai.... Rai... Rai.... Kuserai kuserai rai....rai....rai.....rai.... Inamga mikim ye

Pia sore piasa sore ye...ye.. Inamga mikim ye ..Pia sore piasa sore ye....ye...

 Kami berempat menyatukan segala rasa yang berbeda malam itu. Alunannya membawa damai hingga pedalaman Warsambin. Sebuah rindu akan tercipta karena lembutnya persahabatan. Kebersamaan menghiasi malam yang kian larut hingga kami selesai menyanyi. Dari bertukar kisah yang tak lama, akhirnya mereka saling belajar tentang sebuah kebiasaan yang menjadi budaya.

“Suara kaka membuat kampung kita jadi terang, so..” Kata seorang pemuda yang ikut berkerumun

“Cahaya terang itu berasal dari kalian semua... Seluruh isi alam disini sangat senang tinggal dengan kalian, karena kalian tidak serakah!” Jawabku menatap semua yang didermaga malam itu.

 “Kalau kita serakah, nanti ikan-ikan akan pergi semua. Kita tidak bisa lihat ikan yang banyak mendatangi perahu kita. Kalau sudah begitu kita akan sedih...” Seorang nelayan tua  berkomentar

“Biar kita tak punya beras, kita tetap jaga laut tempat kita tinggal sekarang, so..” Si nelayan menambahkan

 “Sekarang banyak tamu datang kemari buat lihat ikan dan karang-karang. Kita senang tanah kami tinggal dikenal banyak orang, so..” Seorang nelayan lain menambahkan. Kami berempat mendengarkan dengan seksama.

“Anak-anak sekarang kalau bersekolah tidak perlu jauh lagi. Mereka belajar rajin, tapi mereka tidak boleh belajar menipu, yo...!” Seorang bapak tua menyampaikan isi hatinya, disambut tawa yang lain.

Hati para nelayan miskin itu tetap kaya. Dibantu pastor, kami berempat menyerahkan kebutuhan pokok yang tak seberapa jumlahnya pada para nelayan, agar dibagi. Mendung di langit malam semakin tebal. Suara gemuruh bersahutan. Dingin semakin menusuk seiiring jalannya malam. Kemesraan yang baru terjalin harus segera berlalu. Kami harus pamit. Satu persatu kami menuruni tali menuju kapal dibawah dermaga, dibantu masyarakat. Tak ada tangga penghubung. Sambil berucap hati-hati, masyarakat kampung berdiri ditepi dermaga sambil melambai. Nahkodah mengambil haluan, dan beberapa saat kapal menghilang di kegelapan.

Ombak semakin tinggi mengguncang kapal. Rintik gerimis mulai membasahi baju hangat semua yang di kapal cepat. Kilatan petir datang bersamaan suara menggelegar. Speed boat melaju semakin cepat. Aku berpegangan erat pada Nakul dan Sawa yang didekatku. Angin semakin kencang menusuk pada tulang. Hentakan kapal diatas gelombang keras, menyeret box ikan ke depan dan belakang kapal. Cipratan air laut membasahi tubuh semuanya.

Sejauh mata memandang masih hamparan laut dalam yang gelap. Dibagian laut yang lain nampak hujan lebat sudah turun. Bulirannya menyerupai sulur panjang dasi langit menuju laut lepas. Nahkodah nampak menghindari wilayah yang sedang hujan. Dia sengaja mempercepat laju kapal. Raut wajah kami berubah sumringah saat melihat beberapa sinar lampu mulai tampak dari kejauhan. Kami pun menarik nafas lega.

 

USAI DARI TELUK MAYALIBIT.... AKAN KEMANAKAH PADI, JUNA, NAKUL, DAN SAWA.... IKUTI KISAH PERJALANAN DRUPADI BERIKUTNYA.... Di LANGIT SORE DI RAJA AMPAT Part 5

*****

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel