LANGIT SORE DI RAJA AMPAT .....Part 2

26 Aug 2015 09:57 12464 Hits 208 Comments Approved by Plimbi

Kekompakan Padi, Nakul, Juna, dan Sawa, semakin terlihat. Berempat akhirnya berangkat menuju Raja Ampat. 

LANGIT SORE DI RAJA AMPAT

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut

Langit Sore di Raja Ampat Part1

BAB II

            Kami berempat sudah mulai packing dan mengirim barang untuk anak-anak ke Mas Alex, di Sorong. Jumlah barang yang tidak sedikit memang harus kami kirim dulu. Hari sabtu saat weekend adalah kesempatan yang baik bagi kami untuk menyiapkan semua. Arus kegiatan cukup menyita energy.

            “Jun, mampir beli obat flu dulu, ya..” Aku minta Juna yang lagi nyetir. “Udah pening, bersin-bersin terus.” Sambungku.

            Juna memegang jidatku , “Badanmu sudah mulai demam, karena kamu nggak makan, istirahat kurang, eforia mau berangkat tinggi.” Juna menegur. “Sampai rumah Nakul, makan, minum obat, tidur.” Kata Juna.  “Bagaimanapun, disana rawan malaria, kalau kondisi kamu nggak bagus, percuma minum obat anti malaria.” Aku hanya diam kalau sudah begitu. Usai mampir apotek, dan sampai dirumah Nakul, wajahku semakin merah karena flu.

            “Wah… flu nya parah, nih…” Kata Nakul begitu melihat raut mukaku. “Cepet ambil makan sendiri, minum obat trus tidur di kamar. Kamu nggak usah bantu packing.” Sambung Nakul. Aku juga cuma mengangguk, karena kepalaku sudah pusing.

            Sawa mendorongku ke meja makan, mengambilkan makan dan menunggui aku makan sampai habis, dan menyiapkan air putih buat minum obat, tanpa berkomentar. Kemudian mendorongku lagi ke kamar, lalu menutup pintu dan menguncinya dari luar. Supaya aku nggak lepas. Maklum hobi kami memang nggak bisa diam.

Tiga  hari kemudian, flu ku sudah membaik, bahkan sudah hampir sembuh total. Karena Juna, Nakul, dan Sawa memang tiada bergantian memantau keadaanku. Dua minggu lagi, kami berempat akan berangkat ke Raja Ampat. Aku sudah berusaha diam dan tak ingin ada orang kantor tahu. Tapi masih saja juga bocor kemana-mana. Maklum, namanya juga dikantor, pintu, tembok, dan sekat pembatas ruangan ikut punya panca indera.

Baru muncul judul Raja Ampat saja, orang disekitar ruanganku  mulai heboh. Positive nya berarti mereka pintar dan tahu tentang Raja Ampat. Negativenya,  hal kecil dilebih-lebihkan, yang belum ke Raja Ampat juga sok tahu, padahal hanya baca dari internet. Bahkan ada yang over lebih tahu dari orang papua sendiri. ya, lumrah saja, karena obsesinya ke Raja Ampat mungkin sudah diubun-ubun, cuma belum kesampaian. Karena memang banyak orang ingin datang ke Raja Ampat. Beragam pertanyaan muncul, mulai dari urusan biaya hingga contact person. Pekerjaanku sendiri masih banyak yang harus aku selesaikan sebelum cuti panjang. Demikian juga dengan Nakul, Sawa, dan Juna.

Belum lagi aku masih harus bergantian menemani Juna, Nakul, dan Sadewa di acara kondangan nikahan teman atau kolega kantor mereka. Karena memang musimnya sedang musim kawin. Bahkan satu hari bisa dua acara resepsi. Siang sama Juna, malam sama Sawa. Aku harus tampil sebaik mungkin, karena aku tak ingin membuat malu sahabat-sahabatku. Yang pasti aku harus kelihatan cantik sekaligus smart.

Malam itu, aku sudah menggandeng lengan Sawa, berjalan menuju ballroom sebuah hotel berbintang lima. Setelah siangnya aku sama Juna juga menghadiri kondangan ditempat yang sama. Dan aku juga menggandeng lengan Juna. Tentu saja Juna dan Sawa sudah saling tahu. Usai berada dalam antrian menyalami pengantin, Sawa seperti Juna, menggandengku untuk berbaur dengan tamu lain termasuk didalamnya ada orang kantor dan kolega Sawa. Saat kami berdua melangkah menuju menu dessert, seorang kolega Sawa, menyapa Sawa dengan ramah. Aku sempat kaget, karena siangnya saat sama Juna, aku juga salaman sama dia.

“Apa kabar, pak?” Tanya Sawa sambil menjabat tangan sang kolega.

“Baik.” Jawab sang kolega yang spontan sama kagetnya melihat aku. Padahal aku pakai baju yang beda. Aku juga mengulurkan tangan tersenyum ramah dan berusaha cuek.

“Loh, kok sama yang diajak  Juna tadi siang?” Kata sang kolega. Tenang sekali Sawa maupun aku tersenyum.

“Padi memang kembar, pak.” Jawab Sawa cepat dan percaya diri.

“Ooo…” Jawab sang kolega manggut-manggut sangat percaya. Setelah basa-basi ngobrol sedikit, aku dan Sawa kembali mencari ganjalan perut.

“Belum tahu dia, kalau ini Drupadi punya tiga suami.” Bisik Sawa. Kami berdua pun menahan cekikikan. “Kamu, duduk sana aja, tuh ada kursi kosong, biar aku yang ambilin makanan.” Sawa meminta aku duduk. “Enggak ahh..” Jawabku. “Sudah duduk sana, jangan protes.” Kata Sawa menatapku. Aku hanya bisa ngeloyor pergi menuju kursi kosong yang ditunjukin Sawa. Tak lama, Sawa sudah kembali dengan dessert kesukaanku. Ia pun berdiri sambil makan disebelahku.

*****

            Ditengah kesibukan kami berempat yang luar biasa, Nakul dan Sawa bertingkah seperti anak umur lima tahun, yang selalu minta diperhatikan, dan dikabulkan permintaannya. Bahkan kadang jam 12 malam menelpon aku atau Juna hanya sekedar ingin menggoda. Setiap hari kami berempat harus bertemu, makan malam bareng, atau mencari perlengkapan yang kurang.

            “Padi, sunblock beli satu lagi.” Kata Juna di apotik century. “Kan sudah ada dua!?” Jawabku. “Disana panas sekali, tiap 2 jam kamu harus pake sunblock.” Jawab Juna menjelaskan. Aku manggut-manggut dan ambil satu sunblock lagi di jajaran rak obat-obatan.

            Sementara, Nakul masih menunggu obat malaria yang harus kami minum sebelum berangkat dan selama disana. “Jun, mau bawa kondom apa pil KB?” Kata Nakul sambil melirikku. “Pil KB sama kondom sekalian, dijamin buntu semua.” Jawab Juna tanpa expresi. Penjaga apotek pun tak bisa menahan tawa.

Di tempat makan kesukaan Nakul dan Sawa yang terkenal dengan es telernya, kami berempat duduk sambil ngobrol usai jam kantor malam itu. Dengan cuek Nakul dan Sawa minta aku suapin bergantian. Juna hanya geleng-geleng kepala menyaksikan sikap Nakul dan Sawa.

            “Nggak minta nyusu sekalian ke Padi?” Tanya Juna meledek Nakul dan Sawa

            “Kan tadi udah dipompa sebelum berangkat, Jun. jadi sudah habis.” Jawabku santai tanpa expresi. “Kamu mau disuapin sekalian, Jun?” Aku balik tanya ke Juna. Juna dengan santai ikut membuka mulutnya. Aku seperti mamak mereka bertiga, yang sedang menyuapi makan. Orang-orang disekitar kami pun memandang heran dengan kelakuan kami berempat. Entah apa yang ada di otak mereka. Tapi, ya sudahlah, itu hak mereka sepenuhnya.

            “Ntar habis ini bobo ya… jangan lupa ganti celana dalem dulu. “ Kataku pada mereka bertiga. Nakul, Sawa, dan Juna tak bisa lagi menahan ketawa. Tiba-tiba Nakul mengeluarkan memberikan kantong yang ditentengnya dari tadi.

            “Ngemeng-ngemeng soal CD, tadi siang aku beliin kamu buat persiapan Raja Ampat, takut kurang, nanti disana.” Nakul menjelaskan. “Biarpun kalo kurang bisa pinjam punyaku…”Sambul Nakul menggoda.

            “Makasih Nakul, Sawa… kalian kok ngerti sih akyyu lagi butuh CD ama bra..?” Kataku pada Nakul dan Sawa.

            “Ya, kan kamu pasang status lagi butuh CD dan bra…” Sawa meledek.

            “O iya.. malah ukurannya juga aku pasang kok, di status.” Jawabku enak. “Ngemeng-ngemeng ini bukan mas kawin kan Nakul?” Tanyaku ganti menggoda.

             “Kalau mas kawin, aku beliin sekalian jamu sama sabunnya yang bisa buat ngecilin bagian dalamnya.” Jawab Sawa santai. Tawa kami berempat makin terkekeh.

            Keakraban yang sudah sangat lama ini, mungkin juga menjadi penyebab kami berempat enggan untuk mempunyai pacar. Keberadaan orang dekat yang baru pasti juga akan memunculkan masalah baru. Mulai hal kecil yang kemudian menjadi besar pasti bisa terjadi. Kami sepertinya masih punya pemikiran sama, belum ingin hal itu terjadi. Tapi aku juga tidak ingin jadi Drupadi yang diperistri tiga sahabatku Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Apalagi dalam kisah Mahabharata, Drupadi mempunyai lima suami Arjuna, Yudistira, Bima, Nakula dan Sadewa. Membayangkan saja aku sudah bingung, jamu jenis apa yang diminum Drupadi, atau perawatan model apa yang dilakukan Drupadi hingga dia mampu melayani lima suaminya.

            persiapan Raja Ampat terus jalan, mulai printilan kecil sampai makan kecil aku siapkan setiap ada waktu senggang dikit. Aku sudah tahu kebiasaan satu persatu dari Juna, Nakul, dan Sawa dibagian mana mereka teledor, jadi aku harus siapkan untuk mereka. Mama mereka lebih suka menelpon aku untuk menanyakan persiapan dari pada harus bicara sendiri dengan anaknya. Aku sendiri kadang sudah terbiasa jadi mamak, kalau mereka sakit atau sedang dalam kesulitan. Tak perlu saling ngeluh atau ngedumel. Kami terbiasa blak-blakan, atau beda pendapat didepan daripada ngomel dibelakang. Tak perlu malu untuk mengaku salah.

            Aku dan Juna melihat keanehan pada Nakul dan Sawa semakin menjadi. Berdua seperti ketakutan kalau aku dan Juna tinggal. Yang lebih aneh, aku dan Juna harus menunggui mereka berdua tidur dirumahnya, setelah itu baru aku dan Juna boleh pulang. Dan yang membuat aku dan Juna heran, kami berdua juga tidak merasa keberatan atau kesal, atau marah, dengan kelakuan Nakul dan Sawa.

            “Kalian kayak orang mau ditinggal mati aja.” Kataku pada Nakul dan Sawa. “Mau dibacain dongeng sekalian, mas…” Tanyaku menggoda Nakul dan Sawa.

            “Ntar kalo aku sama Nakul mati beneran, yang untung kamu dong, Jun… dapat Drupadi tunggal.” Kata Sawa malam itu.

            “Ya, paling enggak di alam baka sana, kamu dapat cerita versi yang beda tentang Drupadi, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.” Jawab Juna santai.

            “Ntar mobil kalian pakai berdua aja, nggak usah dijual, juga nggak usah rebutan harta gono-gini.” Kata Nakul.

            “Emang kalian mau kemana ciihh… kok sudah ngomongin warisan..” Aku berkomentar santai.

            Begitulah kaelakuan Nakul dan Sawa menjelang keberangkatan ke Raja Ampat yang kurang beberapa hari lagi. Orangtua Nakul dan Sawa juga merasakan hal yang sama. Bahkan mama keduanya beberapa kali menelpon aku dan Juna untuk datang ke rumah, karena melihat Nakul dan Sawa banyak diam dirumah saat aku dan Juna tidak datang. Hatinya seorang ibu pasti lebih peka dan tajam dalam menangkap sesuatu yang dianggapnya tidak biasa. Karena memang sudah takdirnya seperti itu. Jadi semua ajaran yang menyangkut keagungan seorang ibu, itu benar adanya dan tidak bisa dibantah.

            Orangtua Nakul dan Sawa sempat khawatir dengan perubahan sikap pada kedua putra kembarnya itu. Tapi orangtuanya tahu kalau anaknya juga sudah dewasa, jadi kembali para orangtua ini hanya mencoba mengikuti. Aku dan Juna mencoba memberi pengertian pada orangtua Nakul dan Sawa untuk tidak panic. Kami berdua juga yang menyiapkan baju-baju keduanya hingga sudah siap semua tinggal berangkat.

            “Padi sama Juna, mama nitip Nakul dan Sawa beneran, ya… sikapnya itu yang bikin mama aneh dan khawatir.” Pesan mama Nakul dan Sawa.

            “Iya, ma… pasti kita jaga. itu hanya perasaan mama aja.” Aku memastikan ke mama Nakul dan Sawa.

            “Mungkin mereka berdua lagi jatuh cinta lagi sama cewek yang sama, ma…” Kata Juna berusaha menghibur mama Nakul.

            “Ya, sudah… pokoknya mama nitip. Nanti yang antar kalian ke bandara juga biar mama sama papa.” Pesan mama Sawa lagi.

            Kami berempat sudah sama-sama mengambil cuti panjang, tapi bukan cuti hamil. Sore itu Nakul dan Sawa bersama orangtuanya sudah menjemput aku dan Juna untuk menuju bandara. sepanjang jalan Juna berkomunikasi dengan Mas Alex untuk memastikan barang-barang yang sudah sampai, dan mengulang rencana dari kami. Juna sekedar memastikan untuk cek ulang saja. Sedangkan Nakul dan Sawa cek list ulang tugas mereka. Selesai cek list, keduanya meletakkan kepala di kiri kana pundakku, lalu tidur. Juna yang duduk dibelakang hanya geleng-geleng kepala tersenyum.

 

SERUNYA TIBA DI RAJA AMPAT DIMULAI SEJAK DARI SORONG. PADI, JUNA, NAKUL, DAN SAWA TAK PERNAH BISA DIAM. Lanjut di LANGIT SORE DI RAJA AMPAT .....Part 3

About The Author

ugi agustono 36
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel