2 Alasan Mengapa tidak Menulis di Plimbi

2 Apr 2016 12:32 4719 Hits 12 Comments
Hati-hati, membaca jurnal ini bisa membuang waktu Anda yang berharga!

Mengapa Tidak Menulis di Plimbi

     Sebagai makhluk sosial, manusia setidaknya membutuhkan komunikasi setiap harinya, bahkan gamers sejatipun yang kesehariannya mengurung diri di dalam kamar tetap melakukan sosialisasi dengan cara berinteraksi dalam permainannya, entah dengan para AI (Artificial Intelligence) maupun players online lainnya.

     Begitu juga dengan apa yang saya lakukan dengan 'teman lama' saya ini. Kami sering bertukar pikiran, kapanpun dan di manapun. Hingga suatu hari, teman ini mengetok kepala saya, mengapa tidak menulis di Plimbi, begitu katanya.

     Saya terhenyak, tak mampu menjawabnya, ini pernyataan atau pertanyaan sih?

     Di satu sisi, kalimatnya bisa menjadi sebuah bentuk pertanyaan yang mengejek saya, karena selalu saja ada alasan untuk tidak menulis, yang paling sering karena malas. Bruakak

     Di sisi yang lain, kalimatnya bisa menjadi pernyataan ambigu... seakan dia memiliki alasan tersendiri mengapa tidak menulis di Plimbi.

     Saya pikir dia hanya terlalu anti-mainstream, jika mainstreamnya adalah menulis, berarti anti-mainstreamnya adalah anti-menulis. Mungkin dia sudah gila, meski saya tahu teman saya ini tidak pernah berbohong, lalu saya naik ke tempat tidur.

     Entah mengapa kalimatnya terus menggedor-gedor kepala saya selama berbaring, saya tatap istri saya yang sedang tertidur pulas, tidak ada jawaban di wajahnya yang polos. Satu jam kemudian mata saya masih terbuka lebar, saya dihantui teman saya sendiri. Sayapun menyerah, bangun dari kasur kemudian pergi ke meja kerja, mengambil pulpen dan secarik kertas, lalu menuliskan kalimat: Mengapa tidak menulis di Plimbi.

     Puluhan menit berlalu tanpa menulis apa-apa, di ujung frustasi, saya langsung menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan teman saya ini tidak ada jawabannya. Saya berharap pernyataannya ini tidak bermakna apa-apa sehingga saya bisa melanjutkan tidur dengan tenang.

     Baca Juga: 5 Penyebab Anda Sulit Menulis Oleh O.Solihin

     Keesokan harinya di tempat kerja pada jam kerja, seperti biasa, saya memulai kebiasaan nakal dan kurang terpuji, mencuri waktu untuk melakukan kegiatan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan (padahal kerjanya nganggur), membuka Plimbi.

     Saya kemudian mengumpulkan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan mengapa menulis di Plimbi. Saya tidak menemukan artikel yang sebaliknya, di situ kadang saya merasa sedih. Saya termotivasi untuk melakukan suatu hal yang belum mereka (para author Plimbi) lakukan, menuliskan alasan mengapa tidak menulis di Plimbi.

     Baca Juga: Mengapa Harus Menulis di Plimbi oleh Plimbi Editor

     Sesampainya di rumah, mata saya langsung terpaku pada tulisan di selembar kertas yang saya tulis tadi malam. Mengapa tidak menulis di Plimbi... Semoga jomblo bukan salah satu alasannya... Meski “berdua” itu kelihatannya lebih produktif dan agresif.

     Teman saya tiba-tiba datang, memberikan clue, bahwa saya harus lebih skeptis lagi memandang Plimbi, seharusnya saya lebih curiga lagi terhadap Plimbi, seharusnya saya punya setidaknya satu alasan meski sekecil apapun untuk menghujat dan kemudian memutuskan untuk tidak menulis di Plimbi.

     Dia berhasil, saya tercerahkan, terimakasih, teman. Akhirnya, dengan segenap jiwa dan sedikit keegoisan pribadi, artikel ini saya susun, berdasarkan pengalaman saya 2.800 jam bersama Plimbi.

 

Mengapa tidak menulis di Plimbi

     Ini alasannya!

Alasan Pertama: Menulis itu tidak mudah (kalau tidak ingin dikatakan susah) dan menulis di Plimbi itu lebih susah lagi!

     Ya, siapa bilang menulis itu mudah? Ketika menulis, seorang penulis:

⇒ Tidak Merdeka, artinya penulis tidak benar-benar bebas berekspresi, ada aturan dan norma dalam dunia jurnalistik, harus begini harus begitu, gak boleh begini gak boleh begitu. Demikian halnya menulis di Plimbi. Sebagai situs yang mengusung social journalism, tentu ada aturan tertulis dan tidak tertulis yang membatasi penulis-penulisnya, tentu ada syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi para authornya.

     Saya khawatir, jangan-jangan semua penulis di dunia itu tidak merdeka.

     Ternyata kemudian saya dapati bahwa peraturan, syarat, dan ketentuan menulis di Plimbi itu mudah dipahami (baca: masuk akal) dan mudah dipatuhi (baca: bisa dilakukan). Bahkan karena saking mudahnya, banyak yang nyuri kesempatan nebeng jualan tanpa melalui jalur yang tepat, ads banner misalnya, meski postingan tersebut tidak akan bertahan lama, menurut pengalaman saya, artikel yang cukup membuat mata saya perih ini akan hilang dalam waktu beberapa menit hingga satu jam setelah di-report.

     Saya mempelajari satu hal, kalau ingin menulis spam atau konten yang melanggar peraturan, lakukan ketika admin Plimbi sedang tidak online. Kapan itu? Nah, di situ saya juga kadang merasa sedih, mungkin sekitar pukul 2 pagi hingga pukul 5 pagi. Sedihnya apa? Siapa yang baca kontennya kalau jam segitu? Dedemit?

     Jika Anda “sering” apalagi “rutin” online 24 jam dalam sehari di Plimbi, Anda akan menemukan bahwa selalu ada petugas misterius yang “rajin” melakukan crawling dan patroli di Plimbi. Gak percaya? OK, saya juga enggak terlalu percaya, sih, bruakakak, coba aja, nanti tuliskan testimoni sukses atau gagalnya, ya...

     Jadi, menulis itu, apalagi menulis di Plimbi, tidak merdeka?

     Ya! Saya tekankan sekali lagi, (siapkan alat tulis Anda, garis bawahi quote di bawah ini, atau di-highlight pake stabilo ya...)

 

⇒ Harus Jelas: tujuan tulisan (baca: manfaat), sasaran tulisan (baca: calon pembaca), dan isinya (baca: konteks dan konten).

     Wah ribet ya... Intinya, harus jelas dalam tiga poin ini:

â™  Tujuan. Menulis tidak bertujuan itu seperti kata yang kehilangan makna.

     Biasanya kegiatan menulis itu prosesnya diawali dengan benda abstrak yang melintas dalam otak kemudian karena terlalu sayang jika berlalu begitu saja, seseorang kemudian merekamnya ke dalam tulisan. Ketika hasil rekaman tersebut tidak mempunyai manfaat, akhirnya hanya menjadi susunan kata yang tidak bermakna, persis seperti kumpulan spasi atau kumpulan huruf putih di kertas putih. (Insomnina, Page 2, #1)

â™  Sasaran. Menulis tanpa sasaran itu seperti menimba air laut, sia-sia dan tidak ada habisnya.

     Jika poin pertama adalah tujuannya, maka poin kedua adalah target pembacanya, bukankah tulisan itu untuk dibaca? Sebuah tulisan mempunyai tingkatan dari segi pembacanya, yaitu: bisa dibaca, layak dibaca, wajib dibaca. Permasalahannya adalah, mau gak pembacanya membaca? Kalau gak ada yang mau, aku rapopo, baca sendiri aja, saya rela menjadi pembaca tulisan saya, meski gak lucu kedengarannya... Bruakak.

â™  Isi. Menulis dengan mengabaikan kejelasan konten dan konteksnya itu seperti menjual produk gagal, gak bakal laku.

Isi tulisan itu seperti hidangan.

     Jika sang koki memasaknya dengan benar, menyajikannya dengan indah, kemudian mendampingi kliennya makan sambil menjelaskan apa yang mereka makan, maka bisa dibilang ini adalah hidangan konten.

     Hidangan konteks adalah proses santap hidangan, aroma dan rasanya di lidah, mudah tidaknya dikunyah dan dicerna lambung, dan memiliki "gizi" atau tidak.

     Jika saya flashback lagi, ternyata buaaaaaaanyak sekali tulisan saya di Plimbi yang tidak jelas tujuannya, tidak jelas sasarannya, tidak jelas isinya. Kadang saya bertanya-tanya juga, kenapa saya menuliskan itu semua. Jawabannya ternyata karena Plimbi memberikan jasa portofolio. Tulisan saya yang tidak bermutu ini jika pada akhirnya ditampilkan di Plimbi itu berarti kemurahan hati admin sebagai bonus tambahan saja.

     Intinya ya itu tadi, Portofolio, seakan saya sedang membangun sebuah citra diri saya, seakan saya sedang membangun blog pribadi, seakan saya sedang membangun jembatan untuk menyeberangi sungai, tak perduli kapan jembatannya selesai, yang penting saya sedang berusaha membangunnya.

     Jadi, menulis itu, apalagi menulis di Plimbi, harus jelas?

     Ya! Saya tekankan sekali lagi, (siapkan alat tulis Anda, garis bawahi quote di bawah ini, atau di-highlight pake stabilo ya...)

     Nah, bagaimana? Menulis itu tidak mudah, kan? Apalagi menulis di Plimbi.

     Pertama-tama, Anda harus benar-benar positif... (Eh? Hamil donk?) Soalnya kalau negatif, selain rugi waktu, tulisan Anda tidak akan bertahan lama, meski Admin Plimbi lagi offline, masih ada layanan report konten yang akan ditanggapi dengan gesit.

     Saya belum paham mas, tulisan negatif itu seperti apa... Hayo...? Ada yang mau menanyakan pertanyaan ini di kolom komentar? Atau yang lebih mantap lagi, ada yang mau menuliskan kriteria tulisan negatif?

     Kedua, Anda harus memenuhi “standar kejelasan” kalau mau ikut berkompetisi. Garis bawahi kata “kalau mau” ya...

     Baca Juga: Tips Menghindari Writer's Block atau Buntu Menulis oleh Graha

     Jadi, Benarkah menulis di Plimbi itu tidak mudah?

     Sepengetahuan saya, tutorial dan tips/trik menulis di Plimbi sudah lumayan lengkap, sehingga calon-calon penulis tidak akan kerepotan dalam memahami seluk-beluk kompetisi Plimbi. Saya pribadi sebenarnya siap menampung aspirasi/pertanyaan/keluhan/komentar dari fresh author, meskipun sebenarnya saya juga masih membutuhkan masukan dan pencerahan dari Author lama, sayangnya belum ada fitur forum diskusi di sini ya?

     Baca Juga: Menulis di Plimbi Lebih Seru dan Keren Oleh Buricak Burinyai

     Sepengetahuan saya juga nih, tidak ada paksaan untuk berkompetisi, kalau mau bikin blog sendiri ya silahkan… Mau bikin portofolio di Plimbi juga ada bagusnya, kan dikasih poin tuh? Poinnya bisa ditukar rewards, apalagi kalau artikelnya terpilih jadi artikel terbaik bulanan.

     Baca Juga: Asyiknya menulis di Plimbi oleh wan

     Atau ada author lain yang mau bikin artikel komparasi plus minusnya antara bikin blog sendiri dan nulis di Plimbi?

 

 

     Teman saya kecewa, padahal tadi quote-nya bilang menulis itu tidak mudah, kenapa simpulannya bisa berbalik arah gitu ya? Saya tenangkan hatinya, bahwa saya memiliki alasan lain mengapa tidak menulis di Plimbi.

 

Alasan Kedua: Menulis itu membuang waktu, tenaga, dan pikiran, apalagi menulis di Plimbi, ditambah buang uang untuk bayar tagihan listrik untuk mengetik dan uang untuk bayar kuota internet.

     Betul tidak? Atau tidak betul?

     Apa saja sih yang membuat manusia mau meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan materi?

     Berikut daftar logisnya:

  • Tuhan
  • Orang yang dicintai
  • Benda yang disayangi
  • Kegiatan yang disukai

     Seharusnya begitu prioritasnya, entah zaman sekarang, mungkin sudah fleksibel, bisa ditukar-tukar urutannya.

 

⇒ Berapa sih waktu yang terbuang untuk membuat sebuah tulisan di Plimbi?

     Sebagai gambaran (ini dari sudut pandang saya loh), untuk membuat review, saya setidaknya menghabiskan empat sampai lima hari. Nonstop tuh 24 jam? Ya, kagak lah. Kok lama? Iya, saya belum berpengalaman, saya harus kesana-kemari nyari informasi, nyari diksi yang tepat atau paling tidak enak dibaca, saya harus mengerti seluk-beluk teknologi meski hanya “kulitnya”, saya selalu ragu-ragu sebelum mem-publish, jangan-jangan tulisan saya ini tidak valid, jangan-jangan tulisan saya ini berisi kebohongan, jangan-jangan ini yang membuang waktu.

     Berbeda ketika menulis opini, jalannya mulus dan bebas hambatan, satu hari kelar, namun karena idealisme saya yang tidak berasalan (sok netral), menulis opini jarang saya lakukan. Sebaliknya, ketika menulis fiksi, makan waktu berbulan-bulan, padahal ini favorit saya, istri saya “gemar” bercerita, hingga kepala saya terlalu penuh untuk menampung semua ceritanya, jadi, saya harus menuangnya ke atas kertas, daripada muntah sendiri, mending muntah berjama’ah.

     Lain lagi ketika menulis berita, saya jadi parno (paranoid oy, bukan porno-aksi), mirip sprint-sprint-an melawan author lain, bikin ngos-ngosan, soalnya harus cepat dan update, entah aktual atau tidak! Jenis tulisan ini termasuk yang saya hindari. Karena... Err... tidak berbakat... Bruakakak.

     Siapa bilang menulis itu bisa dilakukan sambil tidur? Bahkan tidurpun memakan waktu!

     Baca Juga: Tips Menemukan Inspirasi Menulis oleh amien aulawi

     Jangankan meluangkan waktu untuk menulis, ketika membaca artikel di dunia maya aja saya selalu tergesa-gesa, apalagi kalau kalimatnya panjang-panjang, apalagi kalau paragrafnya amat banyak, menghias angkasa, aku ingin, terbang dan bernyanyi, jauh tinggi, bla bla bla. Seperti artikel ini... Eh? Akhirnya, klik judul, buka halaman, scroll mouse sampe bawah, trus cabut ke antah berantah.

     Salah siapa coba nulis bertele-tele? Simple aja, to the point, supaya tulisannya daging semua, nulisnya gak terlalu banyak makan waktu, tenaga, pikiran dan materi, yang baca juga gak kesel. Jadi, kemasan tulisan saya ini sebaiknya jangan ditiru! Tulisan saya itu obesitas, penuh lemak dan selulit, bisa kena stroke, belum lagi tulangnya yang bisa bikin keselek kalo ditelan bulat-bulat, hati-hati, ya...

     Jadi, menulis itu, apalagi menulis di Plimbi, membuang waktu?

     Sejauh ini saya masih sempat mandi dan makan dua kali sehari, masih bisa tidur nyenyak dan teratur (kebanyakannya sih gitu), masih sehat, masih kuat, dan masih bisa bangun, pekerjaan tetap sebagai pengangguran tidak terganggu, dan... belum ada keluhan berarti dari JL selama saya menulis di Plimbi (mungkin akan sedikit berbeda jika saya menulis di jalan raya), malah kadang-kadang saya suka pamer-pamer bukti transferan uang dari Plimbi di rekeningnya, mungkin suatu saat akan saya laminating atau saya pajang di pigura, bruakakak.

     Ya! Saya tekankan sekali lagi, (siapkan alat tulis Anda, garis bawahi quote di bawah ini, atau di-highlight pake stabilo ya...)

      Menulis di Plimbi itu bahasa skeptisnya adalah membuang waktu dan Bahasa Diplomatisnya adalah Meluangkan Waktu.

 

⇒ Berapa sih tenaga dan pikiran yang terbuang untuk membuat sebuah tulisan di Plimbi?

     Berhubung saya bukan ahli fisika dan ahli metafisika, saya belum bisa memberikan data akurat tentang berapa banyak energi dan kalori yang saya habiskan untuk menulis dan berapa banyak energi pikiran yang saya habisan ketika menulis, yang pasti, berat badan saya masih stabil, tetap langsing dan minimalis, dan kabar gembiranya: otak saya masih utuh dan berfungsi dengan baik (sepengetahuan saya, menurut Anda?), meskipun akhir-akhir ini “agak” sering dipakai untuk berpikir, volume otak saya kayaknya sih masih segitu-gitu aja, nanti saya rontgen atau difoto 4D kalo ada uang lebih, supaya lebih meyakinkan.

     Jadi, menulis itu, apalagi menulis di Plimbi, membuang tenaga dan pikiran?

     Ya! Saya tekankan sekali lagi, (siapkan alat tulis Anda, garis bawahi quote di bawah ini, atau di-highlight pake stabilo ya...)

      Menulis di Plimbi itu bahasa skeptisnya adalah Membuang Tenaga dan Pikiran dan bahasa diplomatisnya adalah Meluangkan Tenaga dan Pikiran.

 

⇒ Berapa sih materi yang terbuang untuk membuat sebuah tulisan di Plimbi?

     Mari berhitung realistis dan blak-blakan.

     Sarana dan prasarana apa yang (dari yang wajib, sunnah, hingga mubah) disediakan untuk menunjang sebuah tulisan dari sudut pandang materi?

     Pertama, untuk keperluan mencatat, membuat draft mentah, dan lain-lain.

     Alat tulis apa aja asal berwarna ditambah media apa saja yang bisa ditulis, harganya berapa? Jangan-jangan gratis? Asal jangan make lipstik terus nulisnya di dinding rumah, jadi mahal tuh! Itu kategori mubah, yang sunnah itu pensil dan kertas, harganya berapa? Gak nyampe dua ribu rupiah, insya Allah... Yang paling afdol itu pulpen dan notes (buku catatan), harganya berapa? Budgetnya mungkin 5-10 ribu rupiah, ya?

     Kedua, untuk keperluan mengetik.

     Alat elektronik apa aja asal bisa dipakai ngetik dan bisa disimpan ke media penyimpanan dan sebangsanya. Misal, smartphone, laptop, atau PC, ketiga-tiganya di zaman sekarang bukan barang antik, kecuali bagi makhluk antik seperti saya, belum punya smartphone, istri saya aja bahkan punya dua! Ketika ada author lain yang minta WA saya, di situ kadang saya merasa sedih, gak kepikiran ngasih WA-nya JL, untungnya ada laptop baheula zaman kolonial (baca: kuliah) dulu. Harganya berapa? Satu sampai lima juta rupiah mungkin, ya... buset dah.

     Kalau mau yang ekonomis itu pakai jasa pengetikan, trus disimpan, kan bisa di-upload kapan-kapan. Harganya berapa? Ongkos satu lembar mungkin sekitar 2 sampai 3 ribu rupiah, bahkan bisa gratis kalau pintar merayu tetangga, teman, atau keluarga. Bruakakak.

     Ketiga untuk keperluan publishing.

     Alat elektronik apa aja asal bisa nyambung ke internet dan mendukung kegiatan copy paste isi dokumen. Mirip-mirip alat untuk kebutuhan mengetik di atas, harganya berapa? Ya, sekitar itu juga, kalau mau hemat itu pakai jasa warnet, kegiatan dari login ke Plimbi, copy paste isi dokumen, hingga meng-klik 'publish' tidak akan memakan waktu sebegitunya, gak nyampe 5 ribu rupiah deh, bahkan bisa gratis kalau pintar nebeng jaringan wifi di hotspot gratisan atau pakai jurus 'merayu' yang sudah saya sebutkan di atas.

     Totalnya berapa? Hitung sendiri lah, saya gak pintar matematika, bruakakak.

     Jadi, menulis itu, apalagi menulis di Plimbi, membuang materi?

     Ya! Saya tekankan sekali lagi, (siapkan alat tulis Anda, garis bawahi quote di bawah ini, atau di-highlight pake stabilo ya...)

      Menulis di Plimbi itu bahasa skeptisnya adalah Membuang Materi dan bahasa diplomatisnya adalah Meluangkan Materi.

     Setuju gak?

     Eh, sebenarnya masih ada alasan lain loh, tapi biar lebih asik, gini aja Mblo, saya kasih clue-nya, kalian yang mengembangkan terus dituangkan melalui tulisan, gimana?

     Setuju gak?

     Mengapa tidak menulis:

⇒ Saya tidak tahu harus menulis apa...

⇒ Saya tidak tahu harus memulai dari mana...

⇒ Saya kesulitan mengembangkan ide pokok saya ke dalam 400 kata...

     Trik dan Tipsnya apa ya kalo kasusnya seperti tiga poin di atas?

 

     Akhirnya, saya tetaplah manusia yang butuh saran, petunjuk, bimbingan, masukan, kritik, dan apresiasi dari pembaca, dan saya selalu bersedia untuk memperbaiki diri dan tulisan saya. Jangan lupa untuk menuliskan argumen Anda dan Submit Artikel Anda sekarang juga!

     Jadi, ketika ada orang yang bertanya kepada saya, “Mengapa tidak menulis di Plimbi?” Jawabannya sementara ini adalah: Mengapa tidak!

 

Mengapa Tidak Menulis di Plimbi

Baca Juga: WC dan Inspirasi Menulis oleh Fadli Rais

Tags

About The Author

Tuhuk Ma'arit 52
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel