Kemarin aku terdampar di tulisan seorang teman yang menulis tentang kesempurnaan. Bagaimana dia begitu terinspirasi akan sosok-sosok di dalam buku tersebut, buku yang berjudul “Ketika Cinta Bertasbihâ€. Novel karya Habiburrahman El Shirazy itu sukses mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Pendek kata, seniorku itu kagum akan tokoh-tokohnya yang digambarkan begitu sempurna. Sepertinya dia sempat meneladaninya selama beberapa waktu. Hingga suatu hari, barulah dia menyadari arti dari ketidaksempurnaan.
Â
Membaca karya Sang Senior mengingatkanku kembali untuk menulis tema ini. Tema tentang kesempurnaan.
Â
Beberapa waktu yang lalu, seorang motivator berinisial MT tersandung kasus dengan anaknya, AK. Seorang MC berinisial DC mendapat tugas untuk mewawancarai mereka dalam acaranya. Masalah menjadi semakin pelik tatkala DC ikut masuk ke permasalahan antara bapak dan anak tersebut. Ada satu statement yang sangat kuingat, DC sempat berujar, “Dari awal saya sudah curiga, mana ada orang yang begitu sempurna.†Intinya seperti itu. Aku terhenyak. Mengapa orang yang begitu “sempurna†dicurigai?
Â
Kasus terbaru menimpa seorang anak wanita berusia belasan tahun. Pelajar SMA ini langsung naik daun karena tulisan di FB-nya dirasa bijak dan dewasa oleh sebagian orang. Akupun sempat mampir ke akunnya karena ada teman yang sepertinya ngefans juga dengannya. Itu dulu, saat awal aku mengenal ANF. Belakangan ternyata sebuah statusnya menuai kontroversi. Isinya diperdebatkan oleh banyak orang. Meski demikian, bupati dan presiden seperti termasuk dalam kelompok yang pro. Bukan main ANF ini dibanggakan. Pasca peristiwa itu, ternyata karya-karyanya terdeteksi plagiat. Satu yang kusorot di sini, para komentator di Instagram malah membahas tentang “kesempurnaanâ€. Intinya seperti DC tadi, seolah-olah “kesempurnaan†adalah dosa.
Â
Lalu tentang HRS dengan tuduhan chat mesumnya. Sama, orang juga langsung merespons seperti kedua contoh di atas.
Â
Orang begitu negatif melihat suatu “kesempurnaanâ€. Walau pada hakikatnya manusia yang sempurna itu tidak ada, tetapi ketika kamu menonjol/berbeda orang menjadi suka mengeluarkan statement-statement “anehâ€. Barangkali ada rasa iri dan dengki di hatinya, atau ... mereka ingin orang tersebut seperti dirinya dan orang rata-rata lainnya. Entahlah. Aku jadi ingat sebuah hadits yang intinya, peliharalah kebaikan-kebaikan pada dirimu dengan menyembunyikannya, karena pada kebaikan-kebaikan itu terdapat orang-orang yang dengki (setiap kebaikan berpotensi didengki orang).
Â
Aku pernah mengalaminya ketika menuliskan beberapa poin kriteria calon jodoh. Orang-orang langsung membully dan memaki, atau merasa syarat itu terlalu tinggi. Satu yang sangat disorot, yaitu poin “perjaka†(belum pernah menikah dan tidak pernah berzina). Mereka mengatakan syarat itu terlalu tinggi, hanya karena dirinya tidak termasuk di dalamnya. Itu membuatnya memprotes dengan mengeluarkan kata-kata kotor dan keji. Yang katanya syaratku ketinggian lah, terlalu sempurna lah, dan sebagainya. Di sini, siapa yang salah kalau zina itu menyebabkan kecacatan dan ketidaksempurnaan pada diri mereka? Lucunya, mereka marah-marah kalau tidak bisa diterima.
Â
Aku heran, begitu saja sempurna. Begitu saja berat. Itu lho ajaran Islam. Kalau kamu mengaku muslim maka seharusnya kamu mengerjakannya. Itu kewajibanmu sebagai muslim, bukan karena kupersyaratkan.
Â
Sekarang coba bayangkan, kalau hal-hal begitu saja sempurna, orang-orang begitu saja sempurna, lalu bagaimana jika kita ber-Islam kaaffah (menyeluruh)? Karena Islam memang agama sempurna. Bagaimana kita membayangkan kesempurnaan Nabi Muhammad? Jika Rasulullah ada di antara mereka, apakah juga akan dicurigai?
Â
Memang tak ada manusia yang sempurna, tapi (terlepas dari contoh-contoh di atas) ada orang-orang tertentu yang bersungguh-sungguh di dalam kebaikan. Mengapa “kesempurnaan†adalah dosa? (Mengapa harus dicari-cari keburukan/kekurangannya?).
Â
Sumber gambar: Pixabay (by Alexas_Fotos)