Ketika Cinta Bicara (When Love Talks) Chapter 11

31 May 2016 10:39 12408 Hits 8 Comments

Teriakan yang lantang dari belakang mengejutkan Benni. Ia terkesiap. Spontan ia menghentikan  langkah  kakinya  dan  berbalik  arah.

Seorang laki-laki berbadan tegap berdiri dihadapannya. Ia tak lain adalah Ringgo.

Benni kaget begitu melihat Ringgo. Ia tidak menyangka jika ia akan bertemu lagi dengan orang yang pernah ditembaknya dulu. Ia pun memasang kuda-kuda.

 

Chapter sebelumnya : 

http://www.plimbi.com/article/164830/ketika-cinta-bicara-when-love-talks-chapter-10

 

Fendi dan Tigor berjalan melewati ruang keluarga menuju ke ruang kerja. Ruang kerja Fendi berada di lantai dua. Untuk menuju ke sana, mereka harus melewati tangga melingkar yang indah dan megah. Anak tangganya berhiaskan lantai marmer mengkilat berwarna sama dengan lantai di ruang keluarga, sedangkan penyangganya terbuat dari besi yang tebal dan kokoh dan di cat warna coklat tanah menambah elegan suasana.

“Masuk.” Fendi menyilahkan Tigor masuk. Tanpa sungkan Tigor masuk ke ruang kerja Fendi dan langsung duduk di sofa kulit berwarna coklat keemasan yang cantik dan mengkilat.

Fendi berjalan menuju meja kerjanya. Ia mengambil setumpuk berkas dokumen yang sudah disiapkannya lalu membawanya kehadapan Tigor. Tigor menerima dan langsung membacanya.

“Ini daftar orang-orang yang akan membeli Choky. Ronal baru saja kirim fax-nya. Juga ada perusahaan besar yang bersedia bayar mahal jika kita bisa memberi yang mereka inginkan. Mereka bukan saja butuh seorang Choky, tapi Choky-Choky yang lain.”

Tigor membelalakkan matanya begitu melihat jumlah uang dalam dollar Amerika yang begitu besar yang akan mereka terima. Ia tak menyangka jika ada pihak yang mau membeli anak-anak manusia dalam jumlah yang besar.

“GILA!! Apa tak salah baca aku?”

“Bo la(31)! You gak salah baca kok! Memang segitu!” Fendi meyakinkan ketepatan penglihatan Tigor, kalau ia memang tidak salah baca.

“Amang(32)!! Mantap nian! Kalau begini terus bisa tambah kaya kita! Hahaha!!!” Tigor tertawa terbahak-bahak, mulutnya sampai mau lepas dari rahangnya.

(31) Bo la (bahasa Hokian) : Tidak lah ; (32) Amang : Bapak,  sebutan yang biasa diucapkan orang Batak jika terkejut

“Jangan senang dulu. Mereka bersedia bayar jika orang-orang yang mereka minta sudah di tangan mereka. Jadi segera you bawa Choky gabung dengan yang lainnya."

“Siap, Boss. Sekarang juga aku bawa Choky ke tempat penampungan!"

“Gak usah sekarang, nanti malam saja. Sekarang biarkan dia senang dulu.”

Tigor terdiam sesaat, otaknya masih tergiur dengan banyaknya uang yang akan diterima Fendi, sementara ia pasti tidak mungkin mendapat jatah besar. Semenit kemudian dia menjawab.

“Ya, ya, ya!” Tigor mengiyakan.

“Ya sudah, istirahatlah kau dulu di rumahku. Nanti malam kita selesaikan ini semua. Good luck!” Fendi bersiap-siap meninggalkan Tigor.

Dasar Cina mata duitan, enaknya kau bersenang-senang di atas penderitaan orang lain! Umpat Tigor dalam hati. Tak lama ia pun beranjak meninggalkan kantor Fendi.

***

 

Rabu, jam 19.40 WIB...

Malam yang dinanti-nantikan pun tiba. Tigor mengetuk pintu kamar Choky. “Tok! Tok! Tok!“

“Ucok!,” ia menyebut nama Choky sambil tangannya langsung membuka pintu kamar tanpa berharap Choky akan menjawab panggilannya.

“Wah! Sudah ganteng kau rupanya. Bagus! Sekarang ikut aku!” Tigor langsung menggandeng tangan Choky yang baru saja selesai makan malam di kamar. Ia juga sudah mandi dan berpakaian rapi. Fendi benar-benar memperlakukan Choky bak raja sehari, bisa beristirahat di kamar yang megah dan mewah, dimandikan oleh pembantu Fendi di bath tube dengan air hangat, diberi pakaian dan sepatu bagus serta makan malam ala makanan Eropa. Semuanya bisa Choky dapatkan hanya dalam semalam.

Kini mereka sudah sampai di ruangan kamar yang dituju. Kamarnya berukuran lebih kecil dari kamar yang dia tempati sebelumnya, hanya berukuran 3 x 3 meter². Letaknya juga menjorok ke halaman belakang. Jika dibandingkan dengan kamar yang sebelumnya, ibarat langit dan bumi. Tidak ada kamar tidur mewah di sini, juga tidak ada lemari pakaian dan meja belajar yang besar dan megah, apalagi komputer LCD. Yang ada hanya tempat tidur ukuran satu orang beralas kasur tipis, dua buah kursi dan satu meja plastik warna hijau serta lemari kecil kusam yang terpajang di dinding. Lantainya pun hanya beralas semen yang dilapisi karpet tipis yang sudah jelek dan lapuk. Satu-satunya pemanis hanyalah vas bunga berdebu yang terletak di tengah meja.

Choky kembali kebingungan. Ia tidak tahu kenapa dibawa ke sini. Perasaannya mulai tidak enak. Sesuatu yang buruk pasti akan terjadi, ia mulai merasakannya.

Tigor menyuruh Choky duduk. Ia meminta Choky melakukan sesuatu yang dia perintahkan.

“Choky, malam ini kita akan berangkat ke tempat lain, tempat dimana  kau akan bersenang-senang dengan anak-anak sebayamu. Kau bisa bermain sepuasnya dengan mereka, pasti kau akan suka. Di sana akan ada yang menjagamu, jadi jangan bandal dan ikuti instruksinya, ngerti ?"

“Aku ingin ketemu Mama Kayla!” spontan Choky menjawab. Raut muka Tigor seketika memerah menahan marah.

“Tenaang sajalah kau! Kau ikuti saja perintahku, bisa kan?” Tigor kembali membujuk Choky, ia mulai tidak sabaran.

“Aku tak mau tulang! Aku mau ketemu Mamaa!!” Choky berteriak.

Tigor menepuk dahinya Bahh! Bikin naik darah anak ini, keras kepala juga rupanya! Tigor berusaha menahan emosi.

Saat itu, Fendi masuk.

“Pokoknya kau lakukan sajalah seperti yang kuperintahkan! Jangan bandel dan jangan melawan! Mengerti kau?!” Tigor jadi tidak sabaran. Suaranya menggelegar. Ia paling tidak suka jika mendengar orang yang tidak mau mengikuti perintahnya. Ia tidak menyadari Fendi berada dibelakangnya.

“Tapi aku tak mau, tulang..., aku mau pulang...” Choky mulai sesunggukan, air matanya tumpah.

“Sudahlah Tigor! Jangan kasar!” Fendi berteriak menahan Tigor untuk tidak bertindak lebih jauh. Tigor terkejut, ia menoleh ke belakang.

“Tak perlu kasar sama anak kecil! Percuma, mereka takkan mau!” Fendi berjalan mendekati Choky, kemudian membelai rambut Choky dengan lembut. “Nanti saja, kita tunggu kapan dia mau! Iya kan nak?” Fendi seperti meminta persetujuan Choky. Choky diam saja, ia tidak memberi reaksi sedikitpun.

Tigor menahan nafas menahan amarahnya. Ia tidak bisa bicara lagi. Ia membiarkan Fendi yang turun tangan.

“Sudahlah, kamu pasti capek. Tidur saja sekarang ya! Besok kalau sudah segar, mau ya ikut perintah tulangmu?” Fendi mengusap pundak Choky berkali-kali. Choky tetap tak bereaksi.

“Juntak, Bawa anak ini kembali ke kamarnya!” Fendi memerintahkan anak buahnya pergi keluar kamar sambil membawa Choky serta.

Tigor bermaksud ikut serta keluar bersama anak buah Fendi dan Choky, tapi Fendi melarangnya. “Tunggu, Tigor! Aku mau bicara!”

Tigor menghentikan langkahnya, ia menduga pasti Fendi akan memaki-maki dirinya.

“Sudahlah, besok saja kita bawa Choky ke penampungan, tidak usah tanya-tanya anak itu lagi.” Fendi menepuk lengan kanan Tigor pelan. Tebakan Tigor salah, Fendi justru tidak terpancing emosi. Ia sadar, kalau ia berbuat kasar, Tigor pasti melawan. Ia sudah tahu tabiat asli Tigor.

“Kau hubungi anak buahmu sekarang, besok pengirimannya batal. Kita lakukan lusa saja!” Fendy memberi jalan keluar.

Tigor menarik nafas panjang dan tak lama kemudian menghubungi Benni...

 

Sementara itu di dalam kamar, Choky termenung. Ia sadar dirinya kini dalam bahaya. Ingin rasanya kabur dari rumah ini, tapi ia masih terlalu kecil melakukan itu semua, sementara jika ia tetap bertahan di sini, ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya selanjutnya.

Di tengah keputusasaan, Choky tiba-tiba teringat dengan pesan Mama angkatnya Kayla untuk selalu berdoa supaya tenang. Ia pun berlutut di lantai dan berdoa. Setelah selesai berdoa, Choky naik ke atas tempat tidur dan mencoba tidur berusaha melupakan apa yang terjadi sebelumnya...

***

 

Masih pada hari dan jam yang sama dengan situasi yang sedang dialami Choky, tapi di lokasi yang berbeda...

 

“Yakinnya kau ini alamatnya?” Ijon meyakinkan Ringgo kalau mereka tidak salah alamat.

“Yakin. Ini nama alamatnya. Benar kan?” Ringgo memperlihatkan kertas yang berisi alamat yang ditulis Kayla dari ibunya Choky, sambil menunjuk ke papan nama bertuliskan nama yang sama dengan yang tertulis di kertas tersebut. Papan nama itu terbuat dari kayu yang ditulis dengan tulisan tangan dengan tinta hitam. Jalan menuju ke rumah tersebut belum tersentuh aspal, masih tanah yang ditimbun pasir dan batu-batu kerikil yang dipadatkan.

Untuk sesaat, Ringgo sama ragunya dengan Ijon, ia tak menyangka kalau untuk menemukan rumah ini harus melewati jalan tanah berpasir  yang berlubang-lubang dan berlumpur, sementara berdasarkan informasi Kayla, rumah tempat penampungan itu cukup besar dan luas, serta dikelilingi tembok pagar dan pohon-pohon yang tinggi.

Ringgo menghela nafas panjang. Sambil duduk, ia memutarkan tubuhnya yang pegal-pegal ke kiri dan kanan. Sebenarnya ia sendiri sudah sangat lelah, kondisi fisiknya hampir terkuras habis karena perjalanan jauh dari Siantar ke Medan, menemui Ijon dan Bambang di kantor polisi, kemudian lanjut lagi mencari alamat yang dituju.

Bersama dengan para polisi yang dikomandoi Bambang Jaelani dan anak buahnya yang berpakaian preman, Ringgo dan Ijon ikut memburu komplotan penculik manusia yang sedang jadi incaran ini. Dua buah mobil lainnya mengikuti mereka dari belakang. Mereka berjalan sambil beriringan.

Saat ini mereka sudah berada di lokasi penampungan tempat Choky diculik, namun mereka masih belum melihat rumah tersebut. Di tempat ini jugalah kakak Choky, yaitu Rimbun ditempatkan sebelum dijual ke orang lain atau kelompok tertentu. Bahkan banyak juga yang sampai dijual ke luar negeri.

Suasana malam yang gelap dan tanpa lampu penerang di sekitar lokasi ikut menyulitkan pencarian. Mereka masih harus melewati beberapa rumah, sampai akhirnya Ringgo melihat sebuah rumah yang cukup besar dibanding rumah lainnya tapi letaknya menjorok ke dalam. Jika tidak teliti melihatnya, maka pasti terlewati dan tertutup oleh rumah lainnya serta pohon besar yang ada di sekitarnya.

”Pak, pak! Pelan sedikit pak! Itu rumahnya!” Ringgo menepuk pundak salah seorang polisi berpangkat AIPTU bermarga Siregar dari belakang, kemudian menunjuk ke arah rumah itu yang berada di sebelah kiri.

”Yakin bang?” Polisi itu mencoba meyakinkan Ringgo sambil memelankan laju kendaraannya.

”Kalau dilihat dari rumahnya yang besar dan pagarnya yang tinggi, sepertinya iya pak!” Ringgo still yakin.

Siregar memarkirkan mobilnya tak jauh dari situ, dekat pohon besar, disusul dua mobil yang lain. Tak lama, satu persatu dari mereka turun. Ringgo turun lebih dulu.

Sebuah rumah yang jika dilihat dari luar sebenarnya tidak terlalu besar, karena ditutup oleh pagar hitam berkarat dan pohon-pohon yang berjejer di sepanjang pagar. Sementara meskipun di kiri dan kanan ada beberapa rumah, namun letaknya agak berjauhan.

”Gila man! Nggak nyangka ya ada juga rumah di tempat sepi kayak gini!” Ijon berkomentar tidak percaya. Ia memandangi sekelilingnya.

”Kalau memang ini tempatnya, berarti kita sebenarnya tidak di Belawan lagi bang, tapi sudah ke arah hutan bakau,” Siregar berbicara pada Ringgo sambil tangannya menunjuk ke depan jalan. Tak jauh dari sana, barisan hutan bakau yang lebat terhampar dengan jelas di depan mata.

Kini mereka sudah berada di dekat pagar rumah penampungan. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara jangkrik yang bernyanyi bersahut-sahutan. Sebuah lampu penerang di dekat pagar samar-samar menerangi halaman rumah. Mereka berjalan mendekat.

Sebelum memulai aksi mereka, Bambang memberi instruksi kepada anak buahnya agar bersiap-siap mengepung begitu dia memberi isyarat. Dengan sigap semua anak buahnya mencari tempat untuk sembunyi, termasuk Ringgo dan Ijon. Hanya Bambang dan Siregar saja yang berjalan mendekati pos satpam berpura-pura hendak bertamu.

”Selamat malam pak!” Bambang berbicara dengan lantang. Ia membunyikan gembok kunci yang tersangkut di pagar. Seorang satpam datang mendekat, ia menyahut, ”Yak! Ada perlu apa pak?”

”Begini pak, nama saya Kamal. Saya mau bertemu dengan pak Tigor. Bapaknya ada?” Bambang menjawab dengan sopan.

”Pak Tigor? Wah, tidak ada yang namanya Tigor pak. Bapak salah alamat!” Pak Satpam membual.

”Waah, bapak jangan bohong, pak. Orangnya sendiri yang telepon, minta saya datang kemari. Saya kliennya dia. Ini nomor teleponnya, kan?” Bambang tak kalah menggertak, ia memang sudah ahli untuk urusan seperti ini. Ia mengambil hp dari kotak hp yang ia lengketkan di pinggang sebelah kanan, mencari nomor Hp Tigor kemudian memperlihatkannya pada si satpam. Satpam itu pun tak berkutik.

”Oohh, pak Tigor Siagian. Aku pikir siapa..., tapi dianya memang lagi tidak ada di sini,” si Satpam berkilah, ia cengar-cengir sendiri menahan malu karena ketahuan bohong.

”Oya? Padahal kami sudah janji mau ketemu ’barangnya’ di sini...”, giliran Bambang yang bohong, namun ia melakukannya tanpa cela. Si satpam tak menaruh curiga sama sekali.

”Gitu ya...,” si satpam mangut-mangut bloon. Ia masih belum mau membukakan pintu gerbang.

”Ya, sudah. Nggak apa-apa. Saya tunggu saja di dalam. Boleh saya masuk?”

Si satpam tak bisa menjawab, ia sebenarnya agak ragu, tapi akhirnya menurut juga. Ia membuka pintu gerbang dengan terpaksa.

”Jangan khawatir. Nanti saya hubungi dia, kalau saya menunggu dia di sini...” Bambang menepuk pundak si satpam. Ia diam saja.

Kini Bambang dan Siregar sudah masuk ke dalam halaman rumah dengan leluasa. Mereka bisa melakukan dengan mudah rencana mereka selanjutnya.

Kira-kira satu meter kemudian, sambil membelakangi badan, Bambang memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengepung dengan mengacungkan telunjuk kanannya ke atas. Saat itu jugalah lima orang anak buahnya dengan sigap berlari menerobos masuk pintu gerbang, sementara dua orang lainnya termasuk Ringgo dan Ijon tetap menunggu di luar berjaga-jaga. Pak Satpam yang sedang menutup gerbang terperanjat kaget begitu melihat polisi-polisi berpakaian preman lari menuju ke arahnya sambil menodong pistol ke arahnya. Ia tak berkutik sama sekali.

Bersama komandannya termasuk Siregar, mereka tanpa basa-basi langsung menerobos masuk ke dalam rumah. Bambang menendang pintu masuk ke rumah hingga hampir lepas dari engselnya. Tanpa komando lagi, semua anak buah Bambang langsung menyisir ke dalam rumah dan memeriksa tiap kamar dengan paksa.

Seorang polisi tetap berada di tempat sambil menodongkan pistolnya tepat ke wajah Satpam. Pak Satpam langsung berdiri lemas, wajahnya pucat pasi.

”Angkat tangan! Diam di tempat!” kata polisi itu sambil terus menodongkan pistolnya. Mau tak mau satpam itu menurut.

Herman dan beberapa anak buah Fendi dan Tigor yang berada di tempat kejadian berhasil tertangkap. Mereka sempat mendengar keributan dari luar, namun tak sempat meloloskan diri. Begitu cepatnya pengepungan membuat mereka tak bisa berbuat apa-apa. Hanya satu orang saja yang berhasil lolos lewat pintu rahasia, sementara Benni juga berhasil lolos tapi lewat pintu belakang rumah.   

Penggerebekan berjalan sukses. Ada enam orang termasuk satpam yang berhasil diringkus polisi. Dari mereka diperoleh informasi tentang sepak terjang organisasi traficking ini, termasuk keberadaan Tigor dan Fendi. Selain itu, mereka juga berhasil menemukan korban-korban  penculikan yang disekap di dalam kamar. Seluruhnya ada empat orang dan semuanya adalah perempuan yang rata-rata berusia delapan sampai sembilan belas tahun. Mereka dalam kondisi kurus dan mengenaskan. Sayangnya, dari semua korban, tidak ditemukan Choky, termasuk juga kakaknya, Rimbun.

Meskipun penggerebekan termasuk berhasil, namun mereka masih harus bekerja ekstra keras untuk menangkap biang keladi organisasi ini.

***

 

Benni sempat mengintip dari jendela ruang tamu, begitu melihat Rustam, satpamnya membuka pintu gerbang. Sebelumnya, ia heran mendengar Rustam sedang berbicara dengan seseorang di luar, sementara ia tahu kalau Rustam sedang berjaga sendirian di pos. Samar-samar ia melihat rupa Bambang. Begitu Bambang berhasil masuk ke halaman rumah, ia langsung mengenal wajah polisi itu.

”POLISIII!!!, kabuuur!!!” teriak Benni kencang. Teman-temannya yang lain kaget, bahkan sampai ada yang melompat dari tempat duduknya.

”Akhh! yang benar kau, babi!!” Herman tak percaya dengan teriakan Benni. Ia yang sedang asyik main togel(33) dengan yang lain, merasa terganggu dengan teriakan Benni yang sudah merusak konsentrasinya. Yang lain pun ikut-ikutan protes.

Benni tak peduli dengan protes kawan-kawannya. Ia langsung mengambil langkah seribu alias kabur. Ia berlari menuju pintu belakang rumah.

( 33)  togel  : sejenis permainan judi, catur Karo

Melihat Benni yang berlari kabur ke belakang rumah, spontan membuat suasana di ruang tengah yang semula tenang menjadi rusuh. Mereka berhamburan kesana kemari ibarat rumah yang hancur berantakan dilanda angin puting beliung.

Herman masih sempat melihat dari balik jendela ruang tamu. Saat itu jugalah ia baru percaya kalau omongan Benni bukan isapan jempol. Ia melihat dua orang sedang berlari kencang menuju pintu masuk sambil mengacung-kan pistol di tangannya, sementara itu lima orang lainnya menerobos masuk pintu gerbang, kemudian berlari menyusul pimpinannya ke dalam rumah.

”Siaall!!” umpat Herman begitu melihat kejadian yang super cepat itu. Ia bermaksud mengikuti jejak Benni, tapi terlambat!. Bambang mendobrak pintu dengan keras. ”BRAAKKK!!”

”Angkat tangan!!” teriak Bambang langsung menodongkan pistolnya ke arah Herman. Herman yang sudah sempat berbalik arah dan berlari membelakangi Bambang, kakinya otomatis berhenti berlari begitu mendengar teriakan Bambang yang menggelegar.

Siregar dan teman-temannya yang lain tanpa ba-bi-bu langsung masuk ke dalam ruang tengah mengejar teman-teman Herman yang lain, termasuk menendangi setiap pintu kamar yang mereka temui. Dari sinilah mereka juga menemukan para korban penculikan yang  disekap.

Siregar sempat melihat sebuah bayangan yang berlari menuruni anak tangga. Ia pun mengejar. Seorang temannya yang lain yang bernama Edwin mengikuti dia dari belakang. Siregar sedikit takjub begitu melihat banyak kamar di kiri dan kanannya. Ia memberi tanda kepada Edwin untuk menyisir tiap ruangan sementara ia mengejar bayangan itu yang berlari ke ruangan kamar yang paling ujung. Ia juga memberi tanda lewat siulan yang melengking minta bantuan kawannya yang lain untuk menuruni tangga, lalu meninggalkan Edwin sendirian.

Siregar sudah sampai di ruangan kamar paling ujung yang terletak di sebelah kanan. Dengan sigap sambil tetap mengarahkan pistolnya ke depan, ia berlari menuju ke depan pintu tersebut. Ia berhenti sebentar sambil tubuhnya bersender ke dinding. Dalam hitungan tiga detik ia menendang pintu tersebut dengan keras. ”BRUUAAKK!!!”

Kini ia melihat dengan mata kepala sendiri sebuah ruangan mirip kantor yang tertata rapi meskipun pengap dan sedikit berdebu. Siregar terperangah tak percaya. Mulutnya sampai menganga.

Ia pun memalingkan pandangannya ke sebuah lukisan besar yang tertelungkup di atas lantai. Sejurus kemudian pandangannya tertuju ke sebuah pintu kecil yang tertutup dan berada di tengah dinding kamar. Dengan hati-hati ia membuka gagang pintu itu yang ternyata terkunci. Karena penasaran, ia membuka paksa pintu itu dengan siku tangan kanannya, namun tak berhasil. Ia pun berkonsentrasi penuh dan mengambil ancang-ancang menendang pintu itu dengan kaki kanannya. Begitu siap, tanpa membuang waktu lagi ia menendang dengan keras. ”BRUUAAKK!!!”. Berhasil!, pintu itu terbuka.

Mulut Siregar kembali menganga. Di depan matanya ia melihat sebuah ruangan mirip terowongan terbentang dihadapannya.  

***

 

Dengan membabi buta Benni berlari meninggalkan kawan-kawannya lewat pintu belakang. Ia tidak peduli lagi jika teman-temannya tertangkap atau tidak. Ia berlari melewati gang kecil menuju sebuah bukit.

”BERHENTI!!!”

Teriakan yang lantang dari belakang mengejutkan Benni. Ia terkesiap. Spontan ia menghentikan  langkah  kakinya  dan  berbalik  arah. 

Seorang laki-laki berbadan tegap berdiri dihadapannya. Ia tak lain adalah Ringgo.

Benni kaget begitu melihat Ringgo. Ia tidak menyangka jika ia akan bertemu lagi dengan orang yang pernah ditembaknya dulu. Ia pun memasang kuda-kuda.

”Masih ingat saya?” Ringgo mencoba menyegarkan memori Benni tentang peristiwa kala itu. Ia memasang kuda-kuda siap menghajar lawan. Tatapan matanya tajam bak elang yang siap menerkam mangsa. Mulutnya tersenyum lebar menantang amukan lawan.

Benni tersulut. Ia merasa ditantang. Dengan beringas ia menyerang Ringgo.

”HIAAATT!!!” Benni mengarahkan kepalan tangan kanannya ke wajah Ringgo. Dengan refleks, Ringgo menghindar. Ia menepis tangan Benni dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya meninju ke arah leher Benni.

”BUUKK!!” Masuk! Tinju Ringgo dengan mulus mengenai jakun Benni.

”UGGHH!” Benni meringis kesakitan. Lehernya berubah warna menjadi merah.

Ringgo tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kaki kirinya dengan cepat menendang ke wajah Benni. Ia menyerang Benni bertubi-tubi. Ini kesempatannya membalas dendam.

 ”BUUGGHH!!” tendangan Ringgo tepat mengenai dagu Benni, ia jatuh terjengkang.

Ringgo menang telak. Kemampuan bela dirinya memang tidak perlu diragukan lagi. Maklumlah, Ringgo rutin berlatih Capoiera.

Benni tidak mau kalah. Ia masih punya tenaga untuk bangkit, meskipun terhuyung-huyung. Dari hidungnya keluar darah segar. Begitu bangkit, ia kembali pasang kuda-kuda. Ia mengambil belati yang sebelumnya sudah di sangkutkan di pinggangnya.

”Kau pikir kau hebat, hah??” Benni menatap mata Ringgo tajam, penuh angkara murka. Telunjuknya sebelah kiri memberi tanda pada Ringgo untuk menyerang lebih dulu.

Ringgo tersenyum lebar dan menuruti kemauan Benni. Ia membuka baju ungunya, memelintirkannya hingga membentuk seperti sabuk panjang, ujung-ujungnya melipat kedua telapak tangannya yang memegang tiap sisinya, lalu mengepalkan kedua tangannya. Ia menjadikan bajunya sebagai senjata.

Dengan langkah pasti, Ringgo menyerang Benni lebih dulu. Ia memfokuskan serangannya pada pisau belati Benni.

”Splaatt!!!,” terdengar bunyi nyaring dari sabuk baju Ringgo yang mengenai udara. Ia sengaja tidak mengenai diri musuhnya, tujuannya untuk memancing amarah Benni.

”HAAATT!!!”, dugaan Ringgo benar, Benni terpancing. Ia mengayunkan belatinya hendak menggores wajah Ringgo. Jika Ringgo tidak mengelak sedetik saja, wajahnya sudah pasti kena. Ringgo memanfaatkan kesempatan ini. Dengan bajunya ia mengikat tangan kanan Benni yang memegang pisau, memukul pergelangan tangannya hingga pisau terjatuh, lalu dengan kakinya menendang pantat Benni hingga jatuh terjerembab sejauh dua meter. Akibatnya wajah Benni dengan mulus mencium tanah berlumpur. ”Bleebb!!”.

”KURANG AJAAAR!!!” Benni benar-benar murka, ia merasa dipermainkan. Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya yang masih ada, ia mengeraskan otot-ototnya yang gempal sambil mengumpat. Kedua tangannya mengepalkan tinjunya, bersiap kembali menyerang Ringgo.

Ringgo tidak mau kalah. Ia mengambil ancang-ancang menendang. Setelah berlari tiga langkah ia melancarkan tendangan mautnya. Ia terbang di udara sambil mengarahkan kaki kanannya ke wajah Benni dan disusul dengan kaki kirinya, ”HIAAATT!!!”

Benni berhasil menepis kaki kanan Ringgo dengan tangan kirinya, lalu tangan kanannya meninju ke ulu hati Ringgo dengan keras, ”BUUGGHH!”, tinju itu pun bersarang dengan tepat. Ringgo meringis menahan sakit, namun pada saat itu juga tendangan kaki kirinya justru berhasil mengenai telinga kiri Benni dengan telak, ”BBEEGGHH!!!”.

Bagai godam besar yang memukul paku menembus dinding, begitu juga dengan tendangan maut Ringgo yang memukul telinga Benni hingga tersungkur jatuh. Akibatnya sungguh fatal, Benni tidak bangkit lagi.

Tinju Benni membuat Ringgo terpelanting, namun ia bangkit kembali dengan cepat sambil memasang kuda-kuda. Darah segar mengalir keluar dari mulutnya. Melihat musuhnya tidak bangkit-bangkit lagi, membuat Ringgo perlahan berjalan mendekat sambil tetap berjaga-jaga jika musuhnya tiba-tiba bangkit dan menyerang dirinya.

Kaki kanan Ringgo menggerak-gerakkan tubuh Benni yang sudah terkulai lemas. Melihat Benni yang sudah tidak bergerak lagi, ia pun memberanikan diri mendekat dan memegang denyut nadi Benni di lehernya. Benni masih hidup, tendangan maut Ringgo berhasil membuat Benni pingsan.

Ijon berlari ke arah Ringgo sambil berteriak memanggil-manggil namanya. Ia melihat Ringgo sedang berjongkok sambil memegang nadi leher Benni. Tak lama mereka membopong Benni dan meyerahkannya pada Bambang cs.

Ringgo melihat para penjahat yang berhasil diringkus polisi, termasuk korban-korban  penculikan yang seluruhnya adalah perempuan dan semuanya dalam kondisi yang kurus dan mengenaskan.

AIPTU Siregar dan AIPTU Edwin keluar dari dalam rumah memberitahukan pada pimpinannya tentang terowongan yang mereka temukan di bawah tanah. Dengan segera, Bambang bersama kedua polisi itu kembali masuk ke dalam rumah bermaksud menyisir terowongan itu. Ia pun mengajak Ringgo dan Ijon ikut serta begitu melihat mereka.

***

 

Ringgo surprise begitu melihat terowongan yang panjang dan gelap itu. Ia tidak menyangka jika dalang di belakang ini semua sudah mempersiapkan segalanya dengan matang, termasuk terowongan rahasia untuk melarikan diri.

”Tadi saya sudah sempat periksa ke dalam, ujung terowongan itu terbagi dua, komandan!” Siregar memberitahukan apa yang dia lihat sebelumnya.

”Kalau begitu kau dan Ringgo ikut aku ke sebelah kiri, sedangkan kau dan Ijon, kalian periksa yang sebelah kanan. Ayoo!!” Bambang menginstruksikan Siregar dan Ringgo menyisir terowongan yang di sebelah kiri bersama dirinya, sementara Edwin dan Ijon ke sebelah kanan.

Siregar lebih dulu masuk ke dalam lalu menghidupkan saklar lampu yang berada dekat pintu terowongan, ruangan pun menjadi terang. Kini mereka bisa melihat terowongan dengan jelas, sebuah terowongan yang sempit dan pendek terlihat di depan mata mereka. Susunan batu bata yang belum disemen menghiasi seluruh dinding terowongan. Terowongan itu cukup menyulitkan mereka masuk dengan leluasa, mereka sampai harus masuk dengan membungkuk. Di belakang Siregar, Bambang menyusul yang diikuti Ringgo, Ijon dan Edwin. Sampai di ujung, mereka pun berpisah.

”Di sini ruangan pak!” Seruan Siregar memecahkan keheningan, suaranya  bergema.

”Ruangan?” suara Bambang ikut bergema. Ia penasaran, lalu memutuskan mempercepat langkahnya, Ringgo mengikuti dari belakang.

Sebuah ruangan yang begitu gelap terhampar di depan mereka. Siregar tidak menemukan saklar lampu di sana, ia menggunakan Zippo-nya sebagai penerang.

Ruangan itu lebih mirip seperti penjara. Ada empat buah sel di kiri kanannya. Ringgo bergidik begitu melihat banyak bangkai binatang di dalam sana. Bau yang menusuk begitu mengganggu penciuman, Ringgo nyaris muntah.

”Sepertinya tak ada ruangan lagi di sini, pak...” Siregar berbicara sambil menutup hidung dan mulutnya. Ia tidak berniat sedikitpun turun dari terowongan itu.

”Ya sudah, kita ke terowongan yang satu lagi.” Bambang juga berfikiran sama dengan Siregar. Bau yang begitu menusuk membuat mereka malas untuk masuk ke dalam. Mereka memutuskan menyisir terowongan yang satu lagi. Siregar menutup pintu ruangan itu.

”Eeeehhh!”, tiba-tiba terdengar suara erangan seperti suara kucing kejepit memanggil mereka. Semula mereka tak mendengar, namun suara itu terdengar lagi. Bulu kuduk mereka spontan berdiri bersamaan. Mereka saling memandang, seolah-olah bertanya, Apakah kalian mendengar suara erangan?. Suara itu memang sudah tidak terdengar lagi, tapi gemanya masih.

”Kayak suara manusia...,” Bambang bergumam, dan langsung diiyakan Siregar, ia mengangguk. Bambang memutuskan untuk turun, rasa kemanusiaannya yang tinggi menyuruh dirinya untuk memeriksa ke dalam. Ia melompat turun dari terowongan, ”Ayo, Siregar! Kita periksa dulu tempat ini!”

 Mau tak mau Siregar mengikuti komandan-nya, disusul Ringgo. Mereka mencari ke arah suara yang tadi bergema. Mereka memeriksa satu per satu sel sambil menutup hidung mereka. Tercium bau mayat yang menyengat.

Begitu terkejutnya mereka ketika melihat tengkorak segar yang berada di tiap sel. Semua masih berbentuk manusia dan tubuhnya lengkap berbalut pakaian, namun sudah sangat kurus dan tak bernyawa lagi.

”Astaghfirulloh!!!” Bambang kaget bukan kepalang. Bulu kuduknya kembali berdiri tegak. Jantungnya hampir mau copot. Ia tidak siap jika harus melihat hal yang mengerikan seperti ini sekarang.

”Ohh, God!!” Ringgo ikut berkomentar. Ia pun sama terkejutnya dengan Bambang dan Siregar, ia bahkan belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Baginya ini seperti mimpi buruk, ia pun teringat ketika ia pernah bermimpi melihat tengkorak berbaju hitam saat ia masih di rumah sakit.

”Eeeehhh!!” suara mencerit itu kembali terdengar mengagetkan mereka dan bahkan terdengar lebih nyaring dan memekakkan telinga.  Siregar sampai berteriak menahan takut, ”AAAAKKHH!!”

Bambang memberanikan diri berjalan mendekati arah suara yang berasal di sel yang sebenarnya paling dekat dengan pintu terowongan, namun karena gelap membuat mereka tak bisa melihat dengan jelas.

Pemandangan menakutkan kali ini bisa membuat orang jantungan mati mendadak. Di depan mata mereka terlihat seorang perempuan dengan balutan pakaian yang kotor dan compang camping sekarat di dalam sel. Tubuhnya terbujur kaku di lantai, bola matanya seperti mau keluar, raut mukanya begitu peot dan mengerikan, belum lagi kepalanya yang botak karena helaian rambutnya yang tinggal sedikit tersisa di kepalanya. Tangannya bersilang mendekap perutnya seperti sikap orang mati yang mau dikebumikan. Mulutnya menganga, seperti orang yang kelaparan minta makan. Meskipun sudah sangat sekarat, namun perempuan itu masih hidup.

Mereka memberanikan diri berjalan mendekat. Bambang mendekatkan telunjuknya ke arah hidung dan mulut perempuan itu, mencoba merasakan udara yang keluar masuk dari sana.

”Masya Alloh, masih hidup!” Raut muka Bambang mendadak pucat, ia menoleh ke arah Ringgo. Wajah Ringgo tak kalah pucat, kulitnya yang sawo matang berubah jadi putih saking takutnya, padahal di kalangan teman-temannya, ia dikenal sosok yang pemberani dan tak kenal takut. Untuk kali ini ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau ia benar-benar takut setengah mati.

”Kita harus membawanya keluar dari sini, kalau tidak ia pasti mati!” Bambang merasakan udara yang keluar masuk perlahan dari mulut perempuan itu, sementara hidungnya sudah tidak berfungsi lagi.

”Ma-cam mana kita mengangkatnya, pak?” pertanyaan Siregar menyadarkan Bambang, kalau tidak semudah itu mengangkat wanita yang sudah tinggal menuju ajal itu keluar, sementara untuk masuk ke tempat ini saja mereka harus melewati terowongan sempit yang berliku. Ia pun ngeri sendiri membayangkan jika wanita itu justru mati pada saat sedang dibawa keluar dari situ.

Bambang tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana dari anak buahnya itu, ia hanya bisa memandang Siregar dengan mimik bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa sang korban.

Ringgo berjalan mendekati wajah wanita itu. Bambang dan Siregar terpana heran, mereka bingung dengan apa yang akan dilakukan Ringgo. Sambil memejamkan matanya, ia jongkok lalu mendekatkan kepalanya ke bibir sang wanita. Ringgo terus mendekatkan kepalanya, sambil tangannya meraba mulut perempuan itu. Tangannya berkeringat dingin menahan takut yang luar biasa, matanya terus terpejam, tak berani melihat. Detik demi detik berlalu, kini tinggal beberapa inchi lagi mulut Ringgo akan bertemu dengan mulut sang korban.

Ringgo bermaksud memberikan nafas bantuan. Ia tidak tahu apakah bisa berhasil atau tidak, perasaannya yang menyuruh ia melakukan itu. Sementara, Bambang dan Siregar hanya bisa terdiam menyaksikan pemandangan mengerikan di depan mereka. Mereka tidak menyangka jika Ringgo mau melakukan hal itu.

Bibir Ringgo telah menyentuh bibir sang korban. Rasanya seperti menyentuh es batu, dingin dan kering. Ia menarik nafas, kemudian mengeluarkannya dengan hati-hati. Setelah mengeluarkan nafas pertama di mulut korban, ia diam menunggu reaksi. Begitu tidak ada reaksi, ia mengeluarkan nafas berikutnya juga dengan perlahan. Setelah beberapa kali ia memberikan nafasnya, ia menjauhkan bibirnya dari bibir sang korban melihat reaksi yang terjadi.

Bambang dan Siregar mendekati Ringgo bermaksud melihat lebih dekat lagi reaksi apa yang akan terjadi. Ringgo berdoa dalam hati berharap usahanya bisa berhasil. Ia memberanikan diri melihat wajah wanita itu setelah sejak tadi ia belum membuka matanya sekejappun.

Usaha Ringgo belum membuahkan hasil, wanita itu masih tetap tidak menunjukkan reaksi apa-apa selain matanya yang melotot dan mulutnya yang terus menganga. Ringgo mencoba sekali lagi memberikan nafas tambahan, kali ini ia yakin usahanya pasti berhasil. Ia pun melakukan percis seperti yang ia lakukan sebelumnya.

”Li-lihat! ta-ngannya bergerak komandan!” Siregar berteriak tiba-tiba memecah keheningan. Bambang nyaris tak percaya. ”Akh, yang benar kau?”

”I-itu...!” Siregar menunjuk jemari telunjuk sebelah kiri sang wanita yang tadi sempat dilihatnya bergerak pelan.

Bambang tersenyum lebar begitu melihat jemari itu bergerak lagi. ”Alhamdulilah!!”

Ringgo benar-benar tidak percaya jika usahanya membuahkan hasil, ia terus memberikan nafasnya sampai instingnya menyuruh ia berhenti.

Tanpa mereka duga, nafas segar Ringgo memberi kekuatan baru buat sang wanita sehingga ia bisa mengerak-gerakkan tangannya. Usaha Ringgo ternyata tidak sia-sia.

”Siregar, kau panggil Juntak dan Syamsul kemari! Kita sudah bisa menggotongnya sekarang!!” Bambang segera memberi Siregar perintah. Wajahnya yang semula begitu tegang, kini berubah menjadi ceria.

”Siap, pak!!” Siregar pun langsung berlari lincah memanggil kawan-kawannya yang lain.

Bambang langsung memeluk Ringgo begitu Ringgo berdiri setelah selesai memberikan nafas bantuannya. Mereka berpelukan bahagia.

Sambil menunggu bantuan datang, mereka memegang tangan wanita itu, Ringgo memegang tangan sebelah kiri, sedangkan Bambang yang sebelah kanan, tujuannya untuk memberi kehangatan. Mereka berdua berpandangan satu sama lain sambil tersenyum lebar. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut mereka selain tawa renyah dan senyum lebar yang mengambang.

Tanpa Ringgo sadari, bola mata wanita itu ternyata sedang melihat ke arahnya, seolah-olah hendak mengucapkan terima kasih banyak pada sang pahlawan. Nyawanya berhasil diselamatkan.

***

 

Ijon dan Edwin menyusuri terowongan sebelah kanan. Mereka penasaran dengan muara terakhir dari ujung terowongan tersebut. Terowongan ini cukup sempit dan tidak memungkinkan mereka berjalan tegak, lebarnya hanya sekitar 1,2 meter dan tingginya 1,5 meter. Ijon berjalan sambil memegangi punggungnya yang pegal karena sejak masuk terowongan harus berjalan membungkuk.

Setelah  duapuluh meter berjalan, mereka menuruni tangga menuju ke terowongan yang lebih besar lagi. Lebar dan tingginya hampir mencapai 2 meter. Edwin yang berjalan paling depan dengan awas memperhatikan sekelilingnya, kedua tangannya tanpa lelah memegang pistolnya berjaga-jaga.

“Wah, panjang juga ya lorongnya,” komentar Ijon memecah heningnya suasana, suaranya bergema.

“Ya, kurang lebih sudah dua puluh meter kita berjalan bang, tapi belum kelihatan juga ujungnya.”

Mereka masih harus berjalan kurang lebih dua belas meter lagi untuk bisa sampai di ujung lorong yang masih dialiri listrik dan disinari lampu temaram, selebihnya gelap gulita. Mereka pun berhenti.

“Lanjut pak?” Ijon.

Edwin terdiam sebentar. Di depannya terowongan begitu gelap dan pekat. Sinar lampu yang temaram tidak mampu menerangi sampai ujung terowongan, sementara mereka masih belum dapat menemukan pintu keluar dari ujung terowongan tersebut. Kiri kanan tembok mulai tampak samar-samar, ujung-ujungnya seperti hilang ditelan kegelapan.

Edwin mengambil mancis dari saku jaketnya, menyalakannya, lalu mengarahkan ke depan dan mulai berjalan perlahan.

Ijon yang sejak semula ragu untuk melanjutkan perjalanan, terpaksa mengikuti dari belakang. Memang tidak mungkin juga untuk mundur sementara sudah ditengah perjalanan. Ia pun ikut mengambil manchis dari kantung jaketnya dan menyalakannya.

Sambil terus berjalan, mereka mengikuti sampai ke ujung terowongan. Suasana kembali hening, yang terdengar hanya deru nafas dan derap langkah kaki.

Setelah hampir 50 meter jauhnya perjalanan, tiba-tiba... “Ciiitt!!” terdengar suara tikus menjerit. Kaki Ijon tanpa sengaja menginjak tubuh seekor tikus yang sedang berlari melewati dirinya dari arah berlawanan.

“AAAKKHH!! TIKUS!!” Ijon melompat kaget. Ia nyaris terjatuh. Tubuhnya ia rapatkan ke dinding. Ia baru saja menginjak sarang tikus yang berada di depannya.

Edwin spontan mengarahkan manchisnya ke bawah. Ia melihat dua ekor tikus lain yang menyusul kawannya berlari melewati dirinya dari arah depan. Ia tersenyum lebar. “Jangan kuatir bang, kita sudah dekat ujung terowongan!”

Kesimpulan Edwin tepat, setelah berjalan sekitar delapan meter lagi, mereka berhasil menemukan sebuah pintu tertutup yang terbuat dari kayu tebal dan keras.

Edwin memasukkan kembali mancis ke sakunya, memegang pistol dengan kedua tangannya, mengarahkannya ke pintu sambil bersiap-siap menendang. “BRUAAKK!!”

Setelah dua kali menendang, pintu itu terbuka lebar. Mata Ijon dan Edwin tak berkedip, mereka terperangah. Rasa penasaran mereka akhirnya terjawab sudah…

 

Derai ombak yang menderu memecah keheningan pantai. Angin sepoi-sepoi menyentuh kulit Ijon lembut seperti ingin menyapa mengucapkan selamat datang. Terowongan yang kecil dan sempit itu ternyata lorong penghubung menuju pantai.

***

 

Pukul 20.55 WIB...

”Aneh, tak biasanya hp si Benni tidak bisa dihubungi. Padahal baru satu jam yang lalu  kuhubungi dia!” Tigor merepet sendiri begitu ia tidak bisa menghubungi anak buahnya berulang kali.

”Herman pun tidak mau angkat hp-nya. Memangnya ada apa mereka?” Fendi tak kalah heran, ia pun kesulitan menghubungi Herman.

 ”Nah, si Rusli pun tak mau angkat, apa sudah gila mereka?” Tigor mulai emosi, suara seraknya keras terdengar menahan marah.

Fendi mencoba menghubungi anak buahnya yang lain, namun hasilnya tetap sama, tidak mengangkat atau tidak aktif.

”Jangan-jangan mereka mau unjuk rasa pulak. Memang ada gilaknya mereka ku tengok!” Tigor mulai berfirasat buruk. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang ganjil. Sayangnya ia belum bisa menebak dengan benar.

Fendi pun mulai uring-uringan. Ia mencoba menelepon Rudi. Jika Rudi juga tidak mengangkatnya berarti ada masalah besar yang sedang terjadi dan itu lebih buruk dari unjuk rasa minta kenaikan gaji.

”Tuuut...”

”Haloo?” Rudi menjawab tidak lama kemudian.

”Pfuuhh, syukurlah...” Fendi bernafas lega. Ternyata apa yang dikuatirkannya tidak menjadi kenyataan.

”Co mik xo, ko(34)?” Rudi heran begitu mendengar suara lega dari Boss-nya.

”Ah, bo co mik co mik loh(35). Tidak ada masalah untuk besok kan?” Fendi buru-buru menanyakan masalah lainnya.

(34) Co mik xo, ko : ada apa/kenapa  bang? ; (35) Bo co mik co mik, loh : Tidak ada apa-apa kok

”Bo. Kalau untuk besok sudah siap ko. Mereka akan kasih uangnya begitu "barang"nya sudah kita berikan. Mereka sendiri akan datang mengambilnya ko...” intonasi suara Rudi seperti orang kebingungan, sebab setengah jam yang lalu ia sudah menginformasikan hal ini sebelumnya pada Fendi. Tapi kok sekarang nanya lagi, ya?

”Ya, itu dia. Bagaimana kalau ditunda besok lusa? Bisa?”

”Ya... bisa ko, bisa. Memangnya kenapa ko?” Rudi bertambah bingung.

”Biasalah, masalah kecil. Ada anak yang melawan. Jadi bisa ya?”

”Ooo, iya ko, bisa.”

”Oke, oke. Ya baguslah kalau begitu. Oke ya!” Fendi segera menutup handphone-nya.

Jauh di sana, Rudi cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Boss-nya. Ada-ada saja..., pikirnya dalam hati.

Fendi tersenyum pada Tigor mencoba meredakan emosi anak buahnya yang temperamental itu.

”Ya sudah, tak apa-apa kok. Biarkan saja mereka. Mungkin mereka kecapekan, mau mempersiapkan untuk besok barangkali!” Fendi mencoba menenangkan Tigor lalu menyuruhnya istirahat.

”Kau istirahat saja dulu. Besok kita pikirkan lagi!” Fendi segera berlalu meninggalkan Tigor sendirian di ruang kerjanya.

Tak lama mereka pun menuju ke kamar masing-masing. Mereka belum menyadari kalau sebentar lagi kejahatan terselubung mereka akan segera terbongkar. Tinggal menunggu waktu saja.

 

 

BERSAMBUNG

 

 

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel