Tunggal Sekapal: Tidak Punya Hubungan Darah, Tapi Jadi Saudara

5 Apr 2021 09:33 1992 Hits 0 Comments Approved by Plimbi
Solidaritas sesama perantauan merasa senasib sepenanggungan

Sudah menjadi tradisi rutin Muslim di Indonesia melakukan mudik atau pulang ke kampung halaman menjelang Lebaran. Tapi tidak dengan keluarga saya. Saya berada di keluarga Jawa yang besar di Sumatera Utara.

 

Dari cerita keluarga saya, sejak nenek buyut dulu datang ke Sumatera, tidak pernah ada tradisi mudik atau pulang ke Jawa. Alasannya karena: "dulur e wes entek" atau "saudaranya sudah habis".

 

Saudara keluarga saya di Jawa memang sudah gak ada atau sudah kehilangan kontak. Secara dulu nenek buyut ke Sumatera sejak zaman Belanda. Jadi tidak ada alasan lagi untuk mudik ke Jawa. Karena semua keluarga sudah di Sumatera.

 

Tapi kemudian saya jadi bingung, katanya di Jawa gak punya saudara, sementara dulu ke Sumatera juga gak bawa keluarga besar. Tapi setiap Lebaran, keluarga yang dikunjungi banyak. Juga setiap ada hajatan, ngundang tamunya juga banyak. Mengundang 1000 undangan itu masih jumlah yang biasa disini.

 

Ini darimana asalnya punya saudara sebanyak itu? Dan ternyata setelah dijelaskan asal usul keluarga. Saya baru ngeh, ada istilah Tunggal Sekapal atau Tunggal Sabahita atau Saudara Satu Kapal. Saudara tanpa ikatan tali darah. Karena adanya ikatan sosial yang sama, senasib sepenanggungan, maka terbentuklah hubungan saudara tersebut.

 

Di Sumatera Utara, saya generasi ke-4 sejak nenek buyut dulu tiba ke Sumatera. Menurut data transmigrasi atau kasarnya "pembuangan" orang Jawa oleh kolonial Belanda saat itu terjadi sekitar tahun 1905 (Lampung) hingga Indonesia merdeka. Sementara kedatangan ke pesisir timur Sumatera terjadi sekitar 1920-an.

 

Dulu perjalanan dari Jawa ke Sumatera menggunakan transportasi Kapal Api, ini bukan kapal bermuatan kopi ya, melainkan mengangkut manusia. Perjalanannya sangat memakan waktu dan berat. Bahkan ada yang meninggal di tengah perjalanan.

 

Jadi hidup mati bareng-bareng sama semua orang yang berada di kapal. Hingga sampai ke pelabuhan Belawan, para transmigran berikrar menjadi saudara sekapalan. Berlandaskan 'senasib sepenanggungan'.

 

Tapi di generasi saya, istilah saudara kapal ini tidak lagi begitu populer. Bukan karena saling melupakan. Tapi karena sudah menjadi saudara yang diikat tali perkawinan. Sudah jadi saudara betulan.

 

Ini manusiawi sekali saat itu. Menikah sesama orang Jawa, satu koloni lagi. Barulah perlahan mulai terjadi perkawinan campuran dengan suku Melayu, Aceh, Batak dan lainnya. Dan jumlah saudara yang semakin banyak. Luar biasa sekali.

 

Hidup dari hari ke hari, urusan besok nanti dipikirkan lagi

Dari yang saya tangkap dari cerita saudara kapal ini, ternyata daya adaptasi nenek dan kakek buyut dulu tangguh. Bagaimana mereka fokus pada hidup yang dijalani saat ini, dari hari ke hari. Hidup, kerja, makan dan melanjutkan keturunan.

 

Filosofi begitu juga yang konon membuat populasi suku Jawa melonjak. Disisi lain mungkin ini banyak ditentang sebagai Jawanisasi. Tapi disini saya gak mau berpolemik soal itu.

 

Yang saya tahu kita semua sama-sama Indonesia. Dan setiap suku bangsa dulu juga punya permasalahannya sendiri saat jaman kolonial dan bisa menyesuaikan diri dengan caranya masing-masing. Dan presiden Soekarno dan para founding fathers dulu saat itu juga terbiasa dengan pengasingan.

 

Generasi para nenek buyut dulu memang dikenal tangguh dan mudah beradaptasi. Seperti itulah ciri Silent Generation  hingga Baby Boomers yang serba bisa dan menghargai hubungan.

 

Saya sendiri juga gak kebayang bagaimana susahnya harus meninggalkan kampung halaman ke tempat yang jauh entah kemana. Dari Jawa ke Sumatera. Bukan untuk Plesiran, tapi jadi kuli kerja paksa.

 

Di tanah rantau jauh dari keluarga. Di Kondisi sulit begitu mungkin awal bakal homesick dulu seperti maba yang baru jadi anak kos, tapi tidak boleh terlalu berlarut.

 

Tidak penting lagi siapa saudara, siapa bukan. Siapa saja yang berada di satu perjalanan, satu kapal, merekalah itu saudara. Tak peduli lagi ada hubungan darah atau tidak, saudara tetap lah saudara. Semua menjadi Tunggal Sekapal.

 

Tangis tetap ada saat itu. Faktanya transmigrasi zaman kolonial saat itu lumayan memakan korban. Tapi hidup tetap harus berjalan. Dan kini saya menjadi salah satu keturunannya sebagai Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera).

 

Puja Kesuma sekarang ini

Awalnya ada sentimen sebagai "buangan" Belanda. Tapi itu bukan masalah. Kenyataannya sekarang justru Kolonial itu yang sudah "terbuang" dari sini.

 

Sekarang meski suku Jawa merupakan etnis terbanyak di Sumatera Utara. Tapi sejauh yang saya rasakan tidak ada rasa sombong atas pencapaian itu.

 

Tidak ada sikap seperti "gw orang Jawa nih". Nenek saya saja ketika ditanya asalnya dari Jawa mana? Jawabannya "Jawa Deli". Artinya sudah menerima dengan betul lahir dan besar di tanah Deli. Tidak lagi membawa-bawa daerah asal.

 

Seakan semuanya berjalan seperti biasanya. Penerimaan dari penduduk lokal juga cukup baik. Meskipun saya gak tahu kondisi awal-awal seperti apa. Tapi yang saya rasakan saat ini kondisi baik-baik saja.

 

Begitupun saat ada pemilihan umum. Para kandidat wakil rakyat dan pemimpin daerah berasal dari beragam suku. Dan itu berjalan sewajarnya saja.


 
Tags

About The Author

Rianda Prayoga 47
Ordinary

Rianda Prayoga

Gak banyak bicara, sedikit cuek tapi lumayan ramah
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel