Menolak Menjadi Manusia

31 Jan 2019 20:05 1470 Hits 0 Comments

“Bacot doang lu, gak ada karyanya” tulis netizen, “gpp dungu, yang penting kerja”.

Sebut saja tulisan ini adalah sebuah pembelaan, tetapi bukan untuk seseorang, melainkan pembelaan terhadap kemanusiaan. Dari sekian banyaknya warna yang menghiasi Pilpres akhir-akhir ini, saya tertarik untuk mengulas asal-usul dan akibat dari pernyataan diatas atau yang senada dengan itu. Tentu saja canvas dari fenomena tersebut adalah dilaporkannya pernyataan Rocky Gerung, tetapi karena tidak bermaksud membela Rocky maka saya tidak sedang membahas “fiksi” namun sekedar mengambil contoh untuk mengurai diskursus yang sedang terjadi.

“Bacot doang lu, gak ada karyanya” tulis netizen, “gpp dungu, yang penting kerja”.

Sebut saja tulisan ini adalah sebuah pembelaan, tetapi bukan untuk seseorang, melainkan pembelaan terhadap kemanusiaan. Dari sekian banyaknya warna yang menghiasi Pilpres akhir-akhir ini, saya tertarik untuk mengulas asal-usul dan akibat dari pernyataan diatas atau yang senada dengan itu. Tentu saja canvas dari fenomena tersebut adalah dilaporkannya pernyataan Rocky Gerung, tetapi karena tidak bermaksud membela Rocky maka saya tidak sedang membahas “fiksi” namun sekedar mengambil contoh untuk mengurai diskursus yang sedang terjadi.

Sinisme

Sinisime terhadap intelektual tidak hanya terjadi di muka atau media mainstream, di sudut-sudut tongkrongan bahkan percakapan organisasi juga diwarnnai corak yang sama. Ketika menjadi mahasiswa di UIN, saya seringkali berdebat dengan orang-orang yang menganggap berpikir dan membaca tidak lebih penting dibanding bergerak atau bekerja. Argumentnya cukup mendasar, katanya, sejarah adalah makam para penguasa oleh sebab itu satu-satunya perubahan adalah dengan kekuasaan dan untuk itu bergerak menjadi penting. Saya kira ini aneh, karena saya belum menemukan dalil bahwa menjadi manusia adalah dengan bekerja. Tentu saja selain karena setiap orang pasti bekerja, manusia dibedakan dengan makhluk lainnya dari karekteristik uniknya yakni berpikir. Sedangkan akhir-akhir ini tradisi itu kita bunuh perlahan dengan mengedepankan prestasi kerja sedangkan berpikir tak lagi dianggap sebagai prestasi. Saya mulai bertanya, apakah mereka menuntut kita kembali ke zaman batu? Zaman dimana nilai kemanusiaan diukur dari tenaganya.

Paradox memang hidup dewasa ini, terutama beberapa perilaku rezim yang senantiasa membungkam kritik dengan menggunakan instrument kenegaraan. Upss, saya tahu, kalian mau bilang itu tuduhan, kan? Tapi tolong sabar sebentar. Sebetulnya hal itu normal jika melihat sejarah, dilema pembangunan ekonomi dan politik senantiasa tidak beriringan. Sebut saja negara Tiongkok yang akhir-akhir ini merengsek puncak klasemen indeks perekonomian dunia justru memiliki karakteristik pemerintahan yang tidak demokrasi. Prinsipnya sederhana, agar ekonomi maju dan pembangunan disegerakan maka kritik adalah gangguan. Ditengah percaturan global investasi memainkan peranan penting terutama dalam pasar bebas dunia, teori politik juga berkata demikian lewat prinsip “ketergantungan” antara negara peri-peri dengan negara pusat sehingga dalam rangka menjadi negara maju maka kita berlomba-lomba meningkatkan indeks dalam berbagai bidang. Sampai disini kita bisa menganggap wajar bahwa rezim saat ini sangat giat bekerja, para pendukungnya kemudian menilai hal tersebut sebagai prestasi, pertanyaannya justru “iya kah?”.

Arti Kemanusiaan

Mari mulai ini dengan meradikalisasi kemanusiaan, dalam literatur Islam, manusia pada fitrahnya adalah cenderung pada kebenaran (baca: hanif) itu sebabnya sangat banyak perintah dalam Al-Quran untuk berpikir. Sedangkan literatur barat tidak jauh berbeda, semenjak filsafat Athena muncul bersamaan atau mungkin akibat dari struktur demokrasi maka tradisi berpikir amatlah diutamakan, puncaknya yaitu diktum Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” yang sekaligus merubah plot dari perkembangan epistemologi pengetahuan setelahnya. Kata Sartre, manusia bertujuan “being itself and human is not what he is” sedangkan para strukturalis lebih jauh lagi, tidak hanya sekedar berpikir, mereka justru hendak menyibak asal mula kesadaran manusia. Hal ini tentunya menjadi diskursus kontemporer di berbagai disiplin ilmu, terutama memulai tradisi interdisipliner. Tetapi meski kedalamannya berbeda-beda, masing-masing pemikir menunjukan konsentrasinya yang mendalam terhadap perkembangan tradisi berpikir sebagai karakteristik utama manusia.

Jargon dan wacana yang berbahaya

Terlepas dari jargon Kerja, Kerja, Kerja hanya sebagai promosi elektabilitas atau justru mencerminkan karakter seseorang, menurut penulis alih-alih mengajak manusia untuk maju justru malah menghendaki kemunduran. Bagaimana tidak, pemerintah memberikan tolak ukur dirinya dengan sebuah indeks bukan atasnama pikiran rakyat. Sedangkan kalau kita amati asal-usul negara, maka kita akan menemukan penjelasan mengenai kontrak sosial. Artinya negara tidak hadir begitu saja, ia diawali oleh kontrak, kenapa? Karena tanpa kontrak kekuasaan seringkali sewenang-wenang. Oleh karena itu, John Locke menuliskan dengan menarik bahwa rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi yang dalam bahasa sederhana berhak untuk mengkritik. Dalam prinsip ilmu pengetahuan dewasa ini, selain dialektika kita juga menemukan metode falsifikasi, didalamnya memuat syarat kritik. Dengan kata lain, kritik sebagai pra-kondisi kebenaran juga memiliki derajat yang sama dengan teori artinya kritik adalah prestasi berpikir. “Tetapi kritik tidak menyelesaikan masalah bro”, oke mari kita bahas bagian itu.

Dalam penyelidikan sebuah kasus, solusi tindakan tidak muncul dari pola mekanistik seperti jika lapar maka anda harus makan, nope!. Semisal terjadi konflik antara golongan sehingga memicu bentrok, tentu saja ada prosedur yang mesti dilakukan tetapi prosedur itu dibuat karena mempelajari pristiwa sebelumnya. Lantas apakah penanganan setiap kasus itu sama? Tentu saja fenomena sosial tidak terkait rumusan baku, ia justru acak, oleh karenanya prinsip penyelesaian masalah bukan hanya tindaka tetapi justru mesti diawali dengan menguraikan fenomena. Uraian tersebut seringkali salah, jika tidak dimulai dengan pertanyaan yang benar, semisal peristiwa bentrok tidak hanya ditanyakan “siapa yang terlibat?” karena tentu saja solusinya hanya menyelesaikan permasalah temporal, tetapi jika dimulai dengan pertanyaan “kok bisa bentrok? Kenapa sekarang? Kemarin-kemarin gak ada tuh” permisalan ini menunjukan bahwa pertanyaan yang berbeda melahirkan uraian dan tindakan yang berbeda. Artinya presiden, apalagi sebagai pemimpin tertinggi, tidak hanya kerja dan bertindak tetapi lebih dari itu harus menguraikan masalah. Kenapa ini penting? Karena pengujian atau anti-thesis itu sedah dimulai semenjak pertanyaan pertama diucapkan, oleh karenanya tidak hanya penting untuk mengevaluasi kinerja pemerintah tetapi juga jalan pemikirannya bahkan pertanyaannya sekalipun. Jangan-jangan masalah bangsa tidak pernah menjadi pertanyaan utama, justru dengan ragu kita mesti mulai bertanya, apakah pertanyaan pemerintah paska dilantik? Jangan-jangan justu “bagaimana mengembalikan modal kampanye?” ah ini bukan tuduhan, tetapi ajakan untuk memulai sebuah uraian.

Pendahuluan

Kemudian saya sampai diakhir, dengan menyadari banyaknya kekurangan tulisan ini dintaranya adalah tidak cukup detail, tetapi singkat kata penulis ingin membuka diskusi yang lebih panjang lewat prolog diatas dan tentu saja tesisnya mesti dibantah terutama karena bantahan yang disampaikan merupakan bukti bahwa manusia masih ada atau masih berpikir. Namun sampai saat itu, penulis masih melihat arah dari wacana yang ada justru perlahan membunuh manusia itu sendiri dengan menghentikan tradisi berpikir, semoga tidak berubah menjadi tradisi menjilat. Tetapi anda juga boleh melanjutkan tuntutan atas karya dan mengembalikan manusia pada zaman kuno, itu pilihan. Setidak-tidaknya penulis bermaksud untuk mengetengahkan urgensitas dari analisa wacana karena tanpa sadar perlahan akan membunuh manusia.

Tags

About The Author

Luthfi Kenoya 14
Novice

Luthfi Kenoya

Mahasiswa Pascapol Universitas Indonesia | "A little learning is dangerous thing" | Find me at Instagram/Line/Twitter/Facebook/Linkedln (ID: @luthfikenoya)
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel