Bijak Menyikapi Kasus Impor Garam di Indonesia

8 May 2018 06:00 3994 Hits 0 Comments
Pertimbangan sebelum memilih impor atau swasembada garam

Pemenuhan kebutuhan garam di Indonesia terus menjadi masalah dari tahun ke tahun. Tahun ini pun, impor garam industri masih disayangkan oleh berbagai pihak.

Kementrian perindustrian menyatakan bahwa impor garam industri tak bisa dihindarkan untuk saat ini. Selain karena kualitas garam lokal yang belum memenuhi standar, harga dan pasokannya juga perlu menjadi pertimbangan. Sementara ratusan industri di Indonesia membutuhkan garam sebagai bahan baku atau bahan penolongnya; kualitas dan kuantitas garam rakyat belum memadai untuk itu.

Berbagai pihak yang pro impor meyakinkan bahwa impor sudah merupakan langkah yang tepat. Meskipun biayanya tampak besar, tetapi nilai tambah dari garam impor tersebut berlipat ganda.

Impor pun dianggap wajar oleh Komisi IV DPR Daniel Johan, karena garam bukan produk unggulan Indonesia. Ekspor impor terjadi karena pertukaran apa yang kita miliki dengan apa yang kita butuhkan, demikian pendapat seorang pengamat ekonomi, Faisal Basri. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto pun berpendapat serupa, tidak semua yang kita butuhkan harus kita penuhi sendiri. Daripada berfokus pada swasembada garam, lebih baik berfokus pada potensi-potensi alami Indonesia, seperti hutan, ikan, pantai, dan lain-lain.

Tahun lalu hampir seluruh Jawa Timur mengalami kelangkaan garam. Di seluruh provinsi di Indonesia pun stok garam sudah tidak ada. Sehingga, satu-satunya solusi adalah membuka keran impor.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, sendiri mengatakan bahwa impor garam industri baru akan berhenti tahun 2020. Masih disiapkan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi untuk menuju swasembada garam di tahun tersebut.

Masalahnya, ternyata impor garam industri berimbas pada penyerapan garam rakyat. Dari kebutuhan total garam Indonesia untuk konsumsi dan industri sebesar 4,4 juta ton, sebanyak 3,7 juta ton diimpor. Hanya 700 ribu ton yang bisa menggunakan garam rakyat. Data ini ganjil menurut Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), karena nilainya jauh dari target garam konsumsi kita yang sebesar 2 juta ton. Padahal, hanya industri CAP, petrokimia, dan farmasi yang tidak bisa dimasuki oleh garam rakyat.

Riset dari PT. Visi Teliti Saksama pun menganggap jumlah ini ganjil. Menurutnya, CAP dan Petrokimia membutuhkan garam sebanyak 2,05 juta ton per tahun; sedangkan industri farmasi 3 ribu ton per tahun. Jika impor hanya merujuk kepada ketiganya, seharusnya kebutuhan garam yang diimpor hanya sejumlah 2,08 juta ton. Nilai yang mendekati angka rekomendasi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), yaitu sebesar 2,2 juta ton (dibulatkan). Sementara menurut Kementrian Perindustrian (Kemenperin) garam impor yang dibutuhkan sebesar 3,7 juta ton. Keduanya mendapatkan data dari BPS, tetapi mengapa berbeda? Masalah pendataan yang tidak kompak seperti ini merupakan masalah yang sering terjadi sejak dulu dan di berbagai bidang. Entah mengapa tak kunjung diatasi. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menjelaskan, perbedaan data garam ini telah terjadi setidaknya sejak tahun 2012, dan ini bisa membuka celah korupsi. Sudah ada bukti nyata, yaitu dengan ditangkapnya Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Boediono pada pertengahan 2017 lalu. Ia ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan izin importasi distribusi garam sebanyak 75.000 ton.

Pola serupa ini pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Situs Membunuhindonesia.net memuat, terdapat keanehan ketika PT. Garam hanya bisa memproduksi 35-40 ton garam per hektar di Madura, padahal sudah dengan teknologi canggih. Sementara dengan teknologi tradisional, petani garam sanggup memproduksi 125-150 ton garam per hektar sekali panen. Dari lahan seluas 5500 hektar yang dikuasai PT. Garam pun, sebanyak 85 persennya disia-siakan. Apakah agar bisa impor? Kemudian, situs yang sama juga menyebutkan, Marie Elka Pangestu, Menteri Perdagangan saat itu, membuka keran impor pada waktu yang terlarang, yaitu satu bulan sebelum atau dua bulan sesudah panen raya garam.

Mafia garam di Indonesia mendapatkan tentangan keras dari Fadel Muhammad, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Tetapi berakhir dengan pencopotan Fadel dari jabatan menteri KKP. Dengan alasan, menurutnya impor garam sudah kritis dan harus segera dihentikan. Lalu tiga hari setelahnya, PT Cheetham Garam Indonesia (PMA Australia), sebuah perusahaan importir garam, mengimpor 25.000 ton garam, sehingga petani merugi. Kalau kasus sekarang, pemerintah membuat aturan rekomendasi izin impor garam industri tidak lagi dari Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP), melainkan akan diputuskan langsung melalui Kementerian Perindustrian. Perubahan aturan ini pun sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Okezone.com, 16/3/2018).

Terkait impor garam ini, Ketua Departemen Pendidikan dan Penguatan Jaringan KNTI Misbachul Munir angkat bicara. Menurutnya kuota impor yang diputuskan pemerintah selalu berlebihan. Akibatnya, harga jual jatuh, terjadi alih fungsi lahan yang besar, serta banyak petambak garam yang beralih profesi menjadi buruh kasar.

Impor juga dikatakan kurang tepat dilakukan karena menurut Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, luas lahan pertambakan garam nasional produktif terus meningkat. Selain itu, impor juga bisa menyuburkan kartel, mafia, dan perburuan rente ekonomi. Di Jawa Barat, keberadaan garam impor membuat sedikitnya 1000 ton garam milik petani garam di Kabupaten Cirebon dan Indramayu tak laku terjual, serta menurunkan harga garam di tingkat petani.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, mungkin bisa dimengerti mengapa banyak pihak menolak impor dan menginginkan swasembada garam. Swasembada garam akan menurunkan ketergantungan terhadap negara lain dan mewujudkan produksi yang berkesinambungan/kontinu. Bila kita tergantung pada impor, harga barang impor bisa dipermainkan oleh pengimpor. Selain itu, bila sewaktu-waktu pasokannya macet, bisa timbul kekacauan besar di Indonesia. Karena begitu banyaknya industri yang membutuhkan garam impor tersebut.

Swasembada garam dikatakan akan dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Selain itu, dibutuhkan pula perbaikan atas hal-hal lain seperti permodalan, penanggulangan tengkulak dan mafia garam, perbaikan air bersih dan sanitasi, dan lain-lain.

Jangan lupakan pula untuk mencegah dan mengatasi dampak negatif dari swasembada garam tersebut, apabila benar langkah itu yang akan diambil. Karena garam dapat merusak kesuburan tanah dan lahan pertanian, merusak mangrove atau hutan bakau, dan meracuni tanaman. Penyebab utama hilangnya mangrove di Indonesia termasuk akibat konversi tambak udang yang dikenal sebagai “revolusi biru” (Sumatra, Sulawesi dan Jawa Timur), penebangan dan konversi lahan untuk pertanian atau tambak garam (Jawa dan Sulawesi) serta degradasi akibat tumpahan minyak dan polusi (Kalimantan Timur) (FAO, 2007). Jika  dikombinasikan  dengan  irigasi  dan  kondisi  drainase  yang  buruk, dapat mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah secara permanen. Tipe salinitas seperti ini merupakan faktor penyebab krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh kekeringan (www.fao.org).

Belum lagi kemungkinan berubahnya air sumur menjadi payau dan dinding rumah yang akan menjadi keropos. Semua ini perlu diperhatikan.

Salah satu kasus akibat tambak garam telah terjadi di Sumenep. Saat itu air sungai dibendung dan dialih fungsi untuk mengairi tambak garam sehingga padi dan kedelai warga kekeringan dan rusak (Tempo, 7/5/2010).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah geomembran atau teknologi lainnya bisa mengatasi segala dampak negatif ini? Atau, apakah dengan menanam mangrove di semua pesisir pantai (seperti di Desa Pasar Banggi), dengan sistem silvofishery, yang mewajibkan persentase mangrove harus lebih besar dari tambak, dengan komposisi 80:20, 70:30, dan 60:40 bisa mengatasinya?

Bila memang swasembada garam adalah alternatif terbaik, silakan dipilih! Tetapi pastikan agar kemanfaatannya lebih besar daripada keburukannya.

 

Sumber gambar: Antara

Tags News

About The Author

Dini Nuris Nuraini 39
Ordinary

Dini Nuris Nuraini

penulis, blogger

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel