DULU semasa masih sekolah—saat tinggal di kampung kecil, menikmati rindangnya pepohonan dan sejuknya udara bisa setiap saat saya rasakan. Berjalan kaki sejauh 2 Km saat berangkat sekolah, yang terasa adalah sejuknya udara pagi.Â
Tapi waktu berlalu. Begitu sudah bekerja dan tinggal di kota, rindangnya pohon dan sejuknya udara menjadi barang yang mahal. Di sini polusi. Di sana juga polusi. Asap kendaraan terhirup sepanjang hari. Apalagi orang seperti saya yang banyak bekerja di lapangan. Makanya bagi saya—mungkin termasuk Anda yang kini tinggal di tengah kota, memandang rimbunnya pepohonan dan menikmati segarnya udara rasanya menjadi sesuatu yang mahal.Â
Harus diakui, pembangunan yang merajalela di kota-kota besar kerap tidak mengindahkan lingkungan. Bahkan, yang terjadi, pohon-pohon besar yang ada kerap kerap menjadi korban pembangunan. Ditebangi, kemudian diganti menjadi “pohon-pohon beton†yang tinggi menjulang.Â
Itulah kenapa, kenapa sampai saat ini saya begitu suka mengunjungi hutan kota yang dibangun pihak swasta di kota saya. Setidaknya, dalam sebulan, 3-4 kali saya ke sana. Paling tidak, saya bisa mengobati kerinduan akan suasana suasana hijau. Warga dapat merasakan kesejukan dan keasrian serasa berada di alam pegunungan.Â
Di sisi lain, hutan kota bisa menjadi sarana rekreasi keluarga, murah dan meriah. Bahkan, hutan kota di tempat saya gratis. Paling kena biaya parkir kendaraan saja. Makanya tidak heran jika hutan kota yang dibangun di beberapa wilayah perkotaan selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat untuk menikmati udara segar.Â