Berpikir Solutif, Karena Kelebihan Utama Manusia Ada pada Akalnya

3 Jun 2017 16:15 3194 Hits 0 Comments
Fokuslah pada solusi, gunakan akal kita!

Statusnya meledak. Melahirkan komen-komen panjang di bawahnya, dan menghamburkannya ke tempat yang jauh (banyak di-share). Namun, saya sudah tahu, seorang Dewa Eka Prayoga pasti ujung-ujungnya jualan. Sama juga dengan kiriman email waktu itu. Tebak, kali ini dia membahas apa! Dia membahas tentang perumahan syariah. Kata dia, benar-benar syariah: tanpa riba, tanpa bunga, tanpa denda, tanpa sita, dan tanpa akad bathil. InsyaAllah 100% syariah.

 

Bahasan ini mengingatkan saya akan orang-orang yang umumnya sulit untuk memiliki rumah sendiri, karena kendala keuangan. Di sisi lain, beberapa kaum muslimin seringkali menyangkut-pautkan hal tersebut dengan riba. Di antaranya, terkait dengan kredit kepemilikan rumah pada umumnya. Maksudnya mungkin baik, ingin berdakwah. Akan tetapi, ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian di sini. Orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu (yang menyalahi agama) terkadang bukan karena benar-benar tidak ingin. Bisa juga karena terdapat kelemahan pada dirinya. Merasa mentok, buntu, atau lainnya. Seperti pada kasus riba ini, beberapa orang sebenarnya ingin atau mau saja berhijrah, tetapi mereka tidak menemukan solusi. Oleh karena itu, akan lebih baik jika di dalam memandang sesuatu kita coba mencari akar permasalahannya, lalu membantu memberikan alternatif solusinya. Jadi, lebih dari sekadar ceramah/teori, tetapi mendapatkan bantuan praktis dan solutif. Dalam kasus pembelian rumah ini mungkin bisa menggunakan cara seperti Dewa Eka tadi, yaitu membentuk perumahan berbasis syariah.

 

Orang bisa bilang misalnya, “Oh utang itu tidak baik”, tetapi tidak melihat mengapa dia berutang. Barangkali utangnya untuk kebutuhan, bukan keinginan. Bantulah dengan sesuatu yang bisa meringankannya, bukan berkata ini itu yang membuat sempit hati atau nyebelin. Sudah tidak membantu, malah ngata-ngatain. Bantulah misalnya dengan cara mempekerjakan mereka lalu pembayaran utangnya dari gaji yang dipotong tiap bulan. Sembari memberi bantuan pelatihan untuk bisa mandiri dan berpenghasilan lebih baik.

 

Contoh lain adalah tentang pernikahan, perzinaan, dan nikah muda. Kenapa sih orang belum menikah? Misal belum ada calonnya, ya coba bentuk media taaruf atau semacamnya. Kekurangan dana? Ya dibantu, misalnya diadakan sewa gaun pengantin serta sarana dan prasarana pernikahan yang murah atau gratis. Atau bisa juga dipinjami. Bagaimana jika di masjid ada stok baju pernikahan untuk dipinjamkan bergantian kepada siapa yang menikah? Ada juga yang sudah terealisasi, misalnya yang hafidz akan dipinjami baju pernikahan gratis dan bisa make up gratis. Lalu misalnya kendala izin orangtua ya dibantu untuk meluluhkan hati orangtuanya. Kalau calonnya belum cakap atau belum kerja ya diberi pelatihan ilmu berumahtangga dan diwadahi untuk bekerja, dan hal-hal semacam itu.

 

Jangan cuma bicara “Ayo nikah!” atau “Ayo nikah dini!” tapi calon pengantin tadi tidak dipersiapkan dengan baik. Yang sering terjadi adalah pihak wanita disalahkan terkait mahar, biaya pernikahan, dan lainnya. Mereka didoktrin agar “menerima apa adanya”. Kita realistis saja ya, hidup itu butuh uang dan tingginya angka perceraian di Indonesia di antaranya adalah karena masalah ekonomi. Solusi dengan cara mendoktrin wanita itu tidak menyentuh titik utama masalahnya. Daripada seperti itu, lebih baik mereka diberi keterampilan atau keahlian untuk bisa berpenghasilan lebih baik.

 

Di bidang pekerjaan, barangkali dr. Ferihana bisa dijadikan contoh. Dia merekrut karyawan dengan syarat mau dididik: dididik di dalam pekerjaan itu dan dididik agar lebih sholihah.

 

Di era digital ini banyak sekali orang hanya menghujat. Begitu mudahnya terlontar kata-kata keji itu. Mereka memaki, mengejek, menyalahkan, tanpa mau berpikir bagaimana agar keadaan bisa menjadi lebih baik. Ketika orang menyampaikan saran langsung diolok-olok, padahal dia sendiri tidak memberikan alternatif solusi lainnya. Miris, bukan? Bukankah kelebihan manusia dari makhluk lain adalah karena akalnya? Berkali-kali ada ayat di dalam Al Quran menyuruh kita untuk berpikir. Mengapa tidak dilakukan?

 

Contoh lain bisa dilihat pada Budi Waluyo, penggagas Sekolah TOEFL dan Sekolah Inggris. Ketika orang berkata, “Saya tidak mampu melakukannya”, maka Budi memotivasi. Ketika orang berkata, “Saya tidak bisa”, Budi menunjukkan cara-caranya. Ketika orang berkata, “Saya tidak punya dana”, maka Budi membuat kursus gratis dan menunjukkan bagaimana mengatasi masalah dana. Semacam itu.

 

Penduduk Indonesia tahun 2017 jumlahnya sekitar 258 juta jiwa (data per 30 Juni 2016) Itu artinya ada 258 juta otak, memiliki 258 juta pemikiran untuk mendapatkan solusi. Mulai sekarang, biasakan untuk mengenali akar masalahnya lalu membantu dengan solusi praktis atasnya. Jangan menghakimi, apalagi jika kita sendiri tidak punya solusi!

 

Kalau ada yang pernah mengetahui tentang brainstorming, berpikir solutif berjamaah ini serupa dengan itu. Lagipula, berpikir solutif dan praktis ini sepertinya dekat dengan sedekah jariyah lho, yaitu salah satu amalan yang pahalanya tidak akan terputus walaupun manusia tersebut sudah meninggal (asal kemanfaatannya masih ada). Jadi, baik untuk dunia dan akhirat kita dan juga baik untuk orang lain. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, pembangunan bangsa dan negara atau agama.

 

Sumber gambar: Pexel (by Geralt)

About The Author

Dini Nuris Nuraini 39
Ordinary

Dini Nuris Nuraini

penulis, blogger
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel