If you read

28 Aug 2016 16:30 2036 Hits 0 Comments
Cerpen

Sudah empat bulan aku tidak membaca apa yang bisa kamu tulis. Rasanya memang tidak ada bedanya. Sesuatu yang sudah dimantapkan untuk ada di hati memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Belakangan ini aku membaca lagi tulisanku mengenai kamu. Rasanya sudah beda. Aku sudah tidak sesakit dulu, yang memintamu mengasihaniku.

Tapi itu soal lain. Kesadaran datang terlambat. Aku bukan pelari yang kuat mengejarmu hingga tetes keringat menjelma banjir di tubuh. Aku hanya perlu menjadi bagian dari waktu. Yang bisa kapanpun menyelami setiap menit dan detik, kembali ke masa itu. Saat percakapan yang mempertemukan kita dengan kesadaran penuh bahagia. Mengatasnamakan hal lain hanya untuk saling menatap.

Memang ada manusia yang diciptakan hanya untuk terus mendengar, terus menatap, terus memantik aksara dari kegelisahan yang tercipta belum lama. Sekarang aku tidak takut untuk tidak mendapat apa yang dijanjikan tuhan. Tiga hal yang masih diperdebatkan banyak orang. Aku tidak takut pada salah satu hal ini. Aku hanya perlu menghidupkanmu dalam tiap debar jantungku, dalam tiap darah yang mengalir dalam tubuh, dalam tatapan yang serupa diorama kecil di lautan lepas. Toh, kalau kamu bisa hidup bahagia dengan caramu, kenapa aku tidak bisa hidup bahagia dengan caraku.

Semalam aku bermimpi, bagian dari tidur yang mulai tidak aku sukai. Mimpi selalu membuatku lelah ketika bangun. Aku hampir pernah tidak bisa membedakan mana mimpi mana kehdupan nyata. Semua tampak sama—nyata.

Aku bermimpi bertemu dua wanita. Salah satunya kamu. Aku meyakini dua hal soal mimpi, ketika aku memimpikan seseorang, pilihannya cuma dua: aku yang memikirkan orang itu atau sebaliknya.

Anehnya semalam aku tidak memikirkanmu sama sekali, kamu memelukku di salah satu ranjang dirumahku. Kamu menciumi telingaku dan berbisik, tapi aku tidak bisa mendengar jelas apa yang kamu ucap. Ini begitu nyata, sampai aku menolak untuk bangun. Aku bisa mengendalikan mimpiku. Ini aneh.

Sudah begitu lama aku tidak memimpikan kamu. Aku menganggap semua yang ada tentang kita, memang sudah selayaknya diikhlaskan. Aku memilih untuk tetap menaruh kamu di kedalamanku. Menolak semua yang datang. Mengusir semua yang telah memilih menetap. Ada gambaran jelas. Aku bertanya kapan kamu bisa melupakan semua yang terjadi di starbucks sore itu.

Aku sudah mengharamkan diriku untuk menginjak tempat itu. Terlalu banyak kenangan yang mengendap diam-diam dan tanpa noda. Aku bukan takut apalagi patah hati, aku mencoba melatih diri untuk menemukanmu di dalam mimpi, dimana-mana, disetiap kata yang aku tulis, disetiap seduh teh dan kopi yang aku minum.

Jika kamu membaca ini, aku hanya ingin meminta maaf. Karena aku terlalu cepat mengucapkan rasa yang sudah sejak lama dipendam. Sialnya kamu tidak siap menerima  dan akhirnya memilih untuk hanya mengenal.

Ingatkah kamu saat kita kelas satu, saat aku menjalin kasih dengan teman kelasmu. Kita masih di sekolah saat malam dan hujan datang bersamaan, kita bercerita tentang banyak hal, kamu dengan tas merahmu saat kamu belum memutuskan untuk memakai rok panjang dan jilbab. Jauh sebelum itu aku sudah mencintaimu.

Ingatkah kamu ketika kita kelas tiga, saat teman kelasmu hampir dikeluarkan karena menasehati salah seorang guru yang berkata kasar dan tolol. Aku yang sok pahlawan ini membiarkan diriku ikut bersamanya. Membela dan sama-sama dibodohi. Ketika aku menangis di salah satu sudut sekolah. Kamu mendatangiku, masih dengan tas merahmu dan tampilanmu yang telah berubah, rok panjang dan jilbab. Hanya kamu! Saat itu aku masih mencintaimu.

Tahukah kamu bahkan jauh sebelum itu, kita lebih sering saling melempar kata di Path dan Twitter. Hingga akhirnya di Instagram kamu mengajakku untuk membuat satu cerita. Disana aku merasa kebahagiaan mulai berpihak. Kamu memintaku memberikan kontakku. Kita membuat janji untuk bertemu di Starbucks. Ingatkah kamu? Saat pertama kali kita duduk. Kita sama-sama memohon hal yang sama: Untuk tidak menulis di Path bahwa kita sedang berdua di Starbucks. Saat itu aku masih dengan rasa yang sama.

Enam jam. Enam jam kita habiskan waktu disana. Sejarah dalam hidupku berbincang lama dengan seorang wanita. Dan beruntungnya aku, wanita itu—kamu yang aku cintai sejak dulu. Aku masih ingat, ada banyak hal yang kita bicarakan disana. Menanyai seorang pelayan tentang tokoh kita. Pelayan itu menjawab “Gigih” katanya dia kekasihnya. Sampai kita dianggap dua kekasih. Aku hanya tersenyum disitu. Kamu terganggu. Jelas, kita tidak bisa bohong, kita sama-sama menemukan seorang yang tidak kita temukan di kelas, di organisasi, atau mungkin di sekolah.

Ketika kita disana aku baru saja selesai urusan dengan seorang wanita yang kupilih untuk mencoba melupakanmu. Awalnya berhasil. Tapi sayang, dua tahun itu hangus terbakar. Aku memutuskan untuk kembali menatapmu dari kedalamanku.

Jika kamu membaca ini, itu tanda bahwa aku sudah selesai dengan urusan percintaan. Tidak ada yang seneurotik kamu. Aku sadar kita punya banyak kesamaan, bahkan mungkin kamu mengiyakan. Tapi agaknya kita setuju, hal-hal yang sama memang tidak bisa disatukan. Hingga akhirnya kamu mulai pelan-pelan pergi, menanggalkan semua yang sebenarnya telah kamu mulai lebih dulu. Seperti pedang yang ditarik pelan dari tubuh yang tertusuk.

Jika kamu membaca ini, aku ingat. Ada satu hal yang belum aku sampaikan. Aku perlu melepas semua sisa bayanganmu. Mungkin kamu juga, terlupakan satu hal dariku. 

See?

 

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel