Momentum Apresiasi Film Nasional melalui Surat Cinta untuk Kartini: Sekolah Perfilman vs Sekolah Beranda Belakang

30 Apr 2016 00:54 3937 Hits 1 Comments
Film merupakan karya seni budaya yang memiliki peran strategis yang mampu meningkatkan ketahanan bangsa. Dalam hal ini Negara bertanggung jawab dalam memajukan perfilman nasional. Seni budaya merupakan akar dari identitas bangsa yang harus dipertahankan. Film, sebagai bagian dari seni dan budaya, dapat menjadi media komunikasi massa yang mengandung pendidikan, sejarah dan pengetahuan.

“Bagus, gak?”

Pertanyaan tersebut dilontarkan seorang kawan selepas saya meng-update via media sosial tentang kegiatan menonton “Surat Cinta untuk Kartini”. Pertanyaan yang mempertegas bahwa si empu pertanyaan belum menonton film tersebut atau sepertinya enggan menonton. Dan memang benar adanya, keengganan memupuskan harapan. Yah, begitulah. Apresiasi perfilman nasional kita masih lemah. Bahkan mungkin dilemahkan oleh Bangsa nya sendiri. Sedih!

Padahal film merupakan karya seni budaya yang memiliki peran strategis yang mampu meningkatkan ketahanan bangsa. Dalam hal ini Negara bertanggung jawab dalam memajukan perfilman nasional. Seni budaya merupakan akar dari identitas bangsa yang harus dipertahankan. Film, sebagai bagian dari seni dan budaya, dapat menjadi media komunikasi massa yang mengandung pendidikan, sejarah dan pengetahuan.

Implementasi UU No.33/2009 tentang Perfilman

Sumber: dpr.go.id

Disadari bersama bahwa implementasi UU No.33/2009 mengalami banyak kendala diantaranya terlihat dari jumlah produksi film nasional yang berkualitas, minimnya akses masyarakat terhadap film dan ekspansi film impor yang mulai menguasai pasar perfilman Indonesia.

Pada tanggal 27 April 2016, laman DPR RI melansir bahwa Panja Perfilman Nasional Komisi X DPR RI telah menghasilkan rekomendasi dalam upaya peningkatan kualitas film Indonesia. Salah satu rekomendasinya ialah pengusulan melakukan revisi terhadap UU No.33/2009 tentang Perfilman. Diduga UU tersebut memiliki beberapa kelemahan dalam pengaturan tentang perlindungan dan penghormatan hak cipta film, pendidikan film, tata niaga film dan penguatan kelembagaan Badan Perfilman Nasional. Sebenarnya, semenjak diusulkan dalam bentuk RUU pada 2009 silam saat beralih dari yang sebelumnya UU No.8/1992 tentang Perfilman, UU ini memang telah dianggap kontroversial pada beberapa pasal dan kerap dituding memberatkan sehingga menimbulkan keprihatinan sejumlah penggiat film.

Panja Perfilman

Adapun tujuan dibentuknya Panja Perfilman ialah berupaya untuk menyikapi situasi perfilman nasional yang stagnan dan menurun dari jumlah penontonnya meskipun jumlah film yang dihasilkan mengalami kenaikan. Selain itu, Panja Perfilman bertujuan mendorong perfilman nasional terkait dengan proses produksi, distribusi, eksibisi dan regulasi menuju harapan pemerintah untuk menghasilkan film Indonesia yang berkualitas sebagai sumber devisa Negara.

Intinya, ada beberapa poin permasalahan yang menjadi pembahasan Panja Perfilman diantaranya arti penting pemerintah dalam pengembangan film nasional sebagai kekuatan budaya, politik dan ekonomi, membangun kultur menonton hingga permasalahan gedung bioskop dan layar pertunjukan film. Selain itu masalah promosi, distribusi film, pendanaan film berkualitas oleh pemerintah, festival film, pengarsipan film nasional, pendidikan, standar kompetensi perfilman hingga perlindungan insan perfilman Indonesia menjadi bahasan yang tidak kalah pentingnya. Seperti data yang dikutip dari publikasi Statistik Indonesia yang diolah dari hasil Survei Informasi dan Komunikasi tentang persentase judul film yang ditayangkan oleh perusahaan bioskop menurut genre pada tahun 2013, bahwa film dengan genre aksi paling banyak diminati, disusul oleh horor dan drama. Genre fantasi dan religi menempati posisi terendah dalam penayangannya oleh perusahaan bioskop.

Surat Cinta untuk Kartini

Sumber: Youtube

Senin, 25 April 2016 pukul 12.00 saya menuju bioskop XXI di Botani Square – Bogor dan memilih film Indonesia yang notabene bermuatan fiksi dengan latar belakang sejarah. Sembari menunggu pemutaran film dimulai, saya menyempatkan membaca buku “Gelap – Terang Hidup Kartini” yang merupakan Seri Buku TEMPO Edisi Perempuan-perempuan Perkasa, saya hendak menelusuri jejak Ndoro Kartini, sang feminis dari balik tembok.

Disebutkan bahwa Kartini bukanlah manusia yang sempurna. Dia cerdas dan artikulatif dalam berargumen. Tapi sayangnya dia lemah hati, ketika harus memilih apakah berkukuh pada pendiriannya atau menunjukkan rasa sayang kepada ayahnya, dia menyerah. Kartini lantas seakan menjadi kontradiksi.

Setidaknya ada makna penting dan mendalam dalam film tersebut yaitu pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk memajukan suatu kaum terutamanya kaum perempuan. Pendidikan akan melengkapi seseorang dengan keahlian yang pada akhirnya dapat menopang hidupnya sendiri untuk menentukan jalan hidupnya.

Bahkan secara tidak langsung Kartini memberikan pengajaran tentang makna reportase jurnalistik melalui kegemarannya menulis yang kemudian dipublikasikan di sejumlah media dan jurnal, pun menulis surat untuk saling berkorespondensi. Dan disinilah letak keistimewaan Kartini yang lantas membedakannya dengan pahlawan lain. Karena Kartini meninggalkan tulisan.

Satu yang menarik dari substansi film fiksi berlatar belakang sejarah di era feodal ini yaitu kejelian penulis mengambil dan memanfaatkan celah sejarah. Berangkat dari fakta sejarah bahwasanya pada Juni 1903, kali pertama Kartini membuka sekolah bagi gadis pribumi dan saat itu hanya diikuti oleh satu orang. Adapun dalam film ini diibaratkan sebagai sosok Ningrum, sang anak Pak Pos Sawardi yang mendaftarkan diri untuk belajar bersama Kartini.

Sekolah Perfilman vs Sekolah Beranda Belakang

Seiring sejalan dengan pemikiran Kartini yang memperjuangkan hak kaumnya untuk dapat bersekolah dengan berupaya mendirikan “Sekolah Beranda Belakang”, maka para wakil rakyat kita pun tengah berjuang selayaknya Kartini untuk dapat mendirikan Sekolah Perfilman.

Harapan kedepan dengan dibangunnya sekolah perfilman ini akan dapat menghasilkan pekerja seni yang berkualitas dan melahirkan karya yang berkualitas pula. Kendati demikian, sekolah perfilman diusulkan agar perlu dilengkapi dengan standardisasi berupa acuan yang diberikan kepada para calon pekerja film.

Semoga kelak dengan adanya suara perubahan tersebut benar-benar mampu membawa perjuangan pada fase yang baru yang tidak sekedar menuntut pengakuan tapi juga mengklaim keberadaan dalam kehidupan bangsa. Ibarat gagasan progresif Kartini yang tak lekang oleh zaman guna memperjuangkan “ruang dalam” yang belum selesai sekalipun kemerdekaan di “ruang luar” sudah tercapai.

Museum Kartini di Jepara

dok: pribadi

Menelusur jejak Kartini tidak akan ada habisnya. Pada 2010 silam saya berkesempatan mengunjungi Museum Kartini. Atmosfer heroik menyeruak di tengah ruangan. Museum Kartini yang berlokasi di Jepara ini dekat dengan alun-alun Kota Jepara. Tiket masuk dan ongkos parkir yang murah (Rp 500 untuk motor dan Rp 1000 untuk mobil) tidak serta merta menarik minat para pengunjung museum. Buktinya, siang itu terik dan suasana museum sepi. Saya mengamati meja kursi RA. Kartini. Meja kursi yang menegaskan identitas kearifan lokal dan livelihood masyarakat Jepara yang terkenal dengan ukiran kayunya. Ruang tengah dan ruang meditasi juga menarik perhatian saya. Sama halnya dengan ketertarikan saya terhadap ruangan yang khas yaitu ruangan tempat Kartini menuangkan pikirannya. Museum ini memuat beragam informasi diantaranya mengenai tempat kelahiran Kartini yang dijelaskan bahwa RA Kartini dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 di Mayong Jepara. Pada waktu itu ayah Kartini RM Sosroningrat menjadi Kepala Distrik Mayong.

dok: pribadi

dok: pribadi

dok: pribadi

 

dok: pribadi

dok: pribadi

dok: pribadi

Kartini adalah ide. Ia mampu memberi atmosfer khas seorang perempuan yang idenya tidak didasarkan atas pola apapun yang pernah ada sebelumnya, tapi memberi arti bagi karakternya sendiri dan memberi bentuk serta wujud bagi suatu periode dalam sejarah Indonesia. Kartini adalah putri sejati.

Cat: Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor. Penulis pernah menjadi Tenaga Ahli Anggota Dewan DPR RI. Keterlibatan penulis dalam dunia jurnalistik diawali dengan menjadi Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa “Inovasi” Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Penulis juga berupaya memahami dunia perfilman dengan mengikuti workshop “Sutradara dan Membuat Film” bersama Riri Riza yang diadakan di Manado, Sulawesi Utara. 

About The Author

Yesi Hendriani Supartoyo 14
Novice

Yesi Hendriani Supartoyo

Boom clap!
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Yesi Hendriani Supartoyo