Waktupun berlalu, pada akhirnya aku tidak melakukan apa-apa terhadap hubungan Mawar dan Mario. Kelihatannya, sih, aku tidak memperdulikan mereka.
Aku mulai mencari hobi untuk mengisi waktu luang, ternyata waktu luangku tanpa Mario begitu banyak, biasanya kami melakukan banyak hal bersama, hiks (nangis sambil nelen upil). Pilihanku jatuh pada bidang fotografi. Ku harap memotret itu menyenangkan seperti menulis di Plimbi.
Akhirnya tiba saat liburan semester, kelas kami melakukan pemungutan suara untuk memilih tempat karya wisata bersama, entah mengapa pilihan karya wisata tahun ini (juga tahun-tahun sebelumnya) yang diajukan ke papan tulis adalah tempat-tempat yang basah, kolam renang, danau, pantai, dan termasuk yang dipilih dengan suara terbanyak kali ini adalah air terjun.
Awalnya aku merencanakan untuk menjalankan strategi “jatuh sakit†pada hari H. Tetapi, setelah aku pikir-pikir, tidak mengapa jika aku hanya memotret selama karya wisata, jadi aku tidak perlu basah-basahan.
Kami berkumpul di halaman sekolah sambil menunggu bus yang akan membawa kami ke air terjun. Ah, ada Mawar dan Mario juga di sana. Akhirnya aku terpaksa pura-pura mengalihkan perhatian ke kameraku selama menunggu, pura-pura sibuk, meski sebenarnya penasaran ingin menguping pembicaraan mereka… Eh?
Bus yang ditunggu akhirnya tiba. Tanpa menunggu aba-aba, teman-teman sekelasku langsung berebut masuk. Aku menyusul belakangan. Begitu melewati pintu masuk, e… lagi-lagi ada dua ekor alien di sana, tepat di kursi paling belakang yang ingin aku duduki. Sial, mengapa selalu ada Mawar dan Mario?!
Ku amati seluruh kursi lain, namun sudah terisi, hanya tinggal deretan tempat duduk Mawar dan Mario yang kosong. Ku pikir, memang sebaiknya aku menjalankan strategi “jatuh sakitâ€.
Aku segera berbalik.
“Ayo, duduk, dek†kata kernet yang tiba-tiba sudah ada di belakangku, dia lalu menutup pintu bus.
“Tarik, Mang!†Serunya lagi kepada supir bus.
Mau tidak mau aku harus duduk di samping Mario. Hmmph.
“Eh, Meong…†Sapa Mario dengan polos.
Sial. Aku berusaha keras menarik bibirku agar tersenyum ke arah Mario, tapi gagal.
“Eh, Meong…†Sapa Mawar juga.
Sial. Aku berusaha memalingkan wajahku ke arah lain agar tidak menatap jerawatnya Mawar, tapi gagal.
Ku pikir, inilah saatnya menjalankan Plan B: mendengarkan musik dari headset. Aku tertidur dengan sukses sepanjang perjalanan.
Kami segera menyebar setelah Ibu wali kelas menutup ceramah singkatnya di air terjun, beliau bakar-bakar ikan bersama beberapa siswa, teman-teman yang lain ada yang mendirikan tenda, ada yang langsung terjun ke air, ada yang memancing, ada yang… err… mojok di pepohonan, pasti sebangsa orang utan, manusia mojoknya di café, bro, bukan di pepohonan!
Ku keluarkan kameraku, jepret sana jepret sini, beberapa siswi langsung berebut minta difoto. Korban penganiayaan kameraku beralih dari manusia ke tumbuh-tumbuhan dan serangga. Tak terasa, aku berjalan semakin menjauh dari kerumunan.
Setelah beberapa lama akhirnya aku menyadari ada seseorang yang membuntutiku.
“Meong…â€
Aku menoleh, Mawar! Ku tatap pakaiannya, rambutnya, lalu wajahnya. Dia begitu cantik dengan latar belakang pemandangan alam, suara gemuruh air terjun, dan hembusan angin sepoi-sepoi.“Ada apa?†Sahutku. Mawar tidak langsung menjawab, tapi hanya menunjukkan ekspresi malu-malu miaw yang membuatku semakin meleleh di depannya.
“Boleh minta difoto?â€
Aku tidak berdaya untuk mengatakan tidak.
“Sayang, sini!†tiba-tiba Mawar melambaikan tangannya ke belakang pepohonan setelah aku menganggukkan kepala.
Lalu seekor beruk keluar dari sana. Aku langsung terjun ke jurang. OK, sebenarnya bukan beruk, cuma mirip, klop dengan latar belakang hutan. Sial, kenapa harus dengan beruk itu, jeritku dalam hati.
Bersambung.
Akan ada tokoh baru, mampukah Si Meong move on? Ikuti kelanjutan kisahnya ;)
Next issue ~> Si Meong (3) Release on Dec 9th, 2015
Cerita sebelumnya ~> Si Meong (1)
Â