Pendidikan menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah taâlim, tarbiyyah, dan taâdib. Menurut Naquib Al-Attas istilah taâdib adalah istilah yang paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara istilah tarbiyyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mencakupi juga pendidikan untuk hewan. Istilah taâdib merupakan masdar kata kerja dari addaba yang berarti pendidikan. Dari kata addaba ini diturunkan juga kata addabun yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan tingkatan  dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang. Berdasarkan ketiga kata itu, Abdurrahman Al-Bani menyimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyyah) terdiri atas empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh); kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; keempat, dilaksanakan secassra bertahap. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam. Pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. (Ahmad Tafsir, 2010: 30-32).
Sebagai aktivitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim dan muslimah, maka pendidikan Islam memerlukan asas yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam konteks ini, dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik menuju pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qurâan dan sunnah rasulullah (Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, 2005: 34).
Al – Qur’an dan Hadis merupakan acuan dasar yang vital bagi pendidikan islam. Kedudukannya sebagai produk budaya agama sangat berpengaruh bagi seluruh sendi – sendi kehidupan manusia. Begitu pula dengan pendidikan islam yang berproses menuju rahmatan lil alamin.
Dalam pendidikan tentu diperlukan adanya kebebasan berfikir mutlak dan bertanggung jawab guna mempribumisasikan nilai – nilai islam pada. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
Artinya: sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q. S. At-Tin [95]: 4).
Modal yang sangat berharga bagi manusia adalah akal, karena dengan akal manusia dapat mempelajari apapun saja seperti mempelajari Al-Qurâan, Al-Hadis dan sebagainya. Hal ini yang membuat manusia mempunyai posisi sebagai karya Allah yang terunggul dibandingkan dengan makhluk lain, setiap makhluk mempunyai otak tetapi hanya manusia yang mempunyai akal, oleh karena itu prinsip utama menjalani Islam adalah ijtihad. Kalau jihad itu segala upaya perjuangan manusia menghidupi kehidupan. Ijtihad itu perjuangan intelektual. Mujahadah itu perjuangan spiritual. Ratusan kali Allah memfirmankan “apakah engkau tidak berfikir?†“apakah engkau tidak menggunakan akal ?â€. Masyarakat Barat dan Jepang Korea Cina sangat aktif melakukan ijtihad dan menguasai peradaban. Kaum muslimin terlalu aktif bermujahadah tanpa imbangan ijtihad sehingga produknya adalah dekadensi dan inferioritas (Emha Ainun Nadjib, 2009: 247-249).
Di perparah dengan adanya anggapan pendidikan islam di negeri pertiwi Tujuan pendidikan diorientasikan kepada kehidupan akhirat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu upaya menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam akan meledakkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Menjadikan orang – orang islam menjadi eklusif. (Hujair AH. Sanaky, 2003: 154)
Perlu ditelaah kembali bahwa pemikiran pendidikan islam dalam konteks ini memang sangat terkesan defensif. Pembaharuan pemikiran pendidikan Islam yang dapat beradaptasi dengan zaman. Artinya, tidak hanya pendidikan Islam yang sifatnya non-formal, semisal pondok pesantren yang nilai-nilai ajaran islam masih tetap kukuh sampai detik ini, tetapi perlu adanya sinergitas antara pendidikan islam yang bergerak dalam dunia pesantren. Dengan demikian, metode baru terhadap pendidikan islam merupakan urgensi, dalam rangka mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai ajaran islam di era modernis ini. Sehingga simbiosis mutualisme antara zaman dunia ketiga dengan pendidikan non formal (pondok pesantren) dapat menjadi kekuatan baik (Faisol, 2011: 22)
Konteks ini pun lebih renyah jika di tinjau dari persfektif pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid, dalam masalah-masalah keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, kebangsaan, demokrasi dan lain-lain terasa terlalu kritis, bahkan oleh sebagian orang dianggap nyleneh. Oleh karena itu, gagasan-gagasannya menjadi kontroversial, tetapi meski demikian gagasan-gagsannya itu dianggap discourse atau wacana oleh pemerhati intelektualitas atau kecendekiawanan di Indonesia sendiri maupun di luar negeri sehingga gagasan-gagasannya selalu dibicarakan dan pribadinya yang public figure selalu menjadi sumber berita bagi pers
Seperti halnya pemikiran beliau dalam dunia pendidikan. Beliau melihat bahwasanya pendidikan Islam mampu memberikan pembelajaran yang membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tradisionalis yang kemudian di dekontruksi dengan pemikiran kritis yang terlahir oleh Barat modern. Dengan demikian, akan memunculkan term pembebasan dalam pendidikan Islam dalam koridor ajaran Islam yang harus dipahami secara komprehensif, bukan pemahaman yang parsial. Gus Dur menginginkan agar pendidikan Islam disamping mampu membuat peserta didik mahir dalam ilmu agama, juga mampu mencetak manusia yang memiliki keahlian dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang akhirnya berguna bagi umat manusia (Faisol, 2011: 88)
Sudah saatnya dunia pendidikan tidak membelenggu para peserta didik dengan doktrin – doktrin yang bersifat dekadensi akal. Dimana peserta didik ingin mengeluarkan semua kreatifitas dalam bentuk apapun. Dari sini para tenaga kependidikan berguna sebagai pengarah (pengayom) agar kreatifitas peserta didik tidak melenceng dari tujuan pendidikan islam yang di terapkan di institusi pendidikan islam.
Indonesia dengan segudang perbedaan tentu menjadi sebuah pekerjaan rumah yang menumpuk bagi masyarakat pada umumnya dan orang – orang pendidikan pada umumnya. Pendidikan Islam di Indonesia harus mengerti betapa pentinganya Ke-Bhinekaan yang tunggal yang diartikan secara sederhananya adalah berbeda – beda tepa satu jua. Sehingga pendidikan islam di sini berperan secara inklusif terhadap masyarakat sekitar.
Â
Â
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2008.
Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam “Upaya Mengembalikan Esensi pendidikan di Era Global â€, Yoyakarta: Ar-ruz Media, 2011.
Ainun Nadjib, Emha. Demokrasi La Roiba Fih, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009.
Al-Rasyidin, Samsul Nizar. “Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis†Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Prees, 2005
Sanaky, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003
Barton, Greg. Biografi Gus Dur. Alih bahasa: Lie Hua. Cet ke-XI, Yogyakarta: LkiS, 2011
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â