Pahlawan Bersarung

2 Aug 2015 19:36 3358 Hits 4 Comments
Cerita tentang Cinta dan Pesantren

                Pagi itu pondok pesantren Nurul Hikmah ricuh. Lima buah mobil kijang Innova berwarna gelap memasuki pelataran ndalem KH. Imron. Para santri tidak mengerti siapa yang datang kala itu. Mereka menyangka, mungkin yang datang adalah sekumpulan anggota dewan atau pejabat yang ingin meminta dukungan dan hanya untuk mencari ketenaran di mata publik. Namun terpengerangahlah para santri, karena yang datang kala itu bukanlah seperti apa yang mereka kira. Ternyata yang datang adalah beberapa artis cantik yang sangat asing dimata para santri, dalam segi berbusana saja sudah sangat tidak mencerminkan bahwa mereka adalah manusia yang mempunyai norma yang baik atau mungkin, menurut para artis itu mempertontonkan tubuh mereka adalah kebutuhan wajib bagi mereka.

Wajar saja para santri ricuh karena pagi-pagi sudah di suguhi beberapa “kopi susu” hangat yang enak di pandang. Berbagai cara digunakan para santri untuk menarik perhatian tamu kyai. Ada yang bersiul-siul nyaring, ada yang menyanyi jebrak nadanya, bahkan ada yang berdehem sambil memamerkan ototnya. Memalukan. Beruntung para keamanan dan penertib pondok keburu datang sehingga menenangkan para mulut santri yang ngoceh  tidak karuan.

                “Selamat siang??” jawab seorang wanita dengan rambut merah.

                Khodam atau para pembantu yang biasanya membantu kiai, datang untuk menyambut kedatangan asal suara tersebut.

                “……..” khodam itu bengong begitu tahu siapa yang datang. Matanya tak berkedip mulutnya tak tertutup melihat tamu artis. Terang saja khodam itu kaget, sebab artis itu memakai baju yang tidak sopan untuk bertamu ditempat Ulama'. Bajunya yang kekecilan membuat bagian tubuhnya bergoyang-goyang ketika bergerak. Mungkin ini pertama kalinya bagi khodam itu melihat adegan Syur secara Live.

                “Selamat siang?? Halo??” kembali wanita itu mengingatkan

                “oh, maaf.. ada yang bisa saya bantu??”

                “ini benar rumah Kyai imron??”

                “eng..enggeh” tergagap dia, namun buru-buru memalingkan wajahnya. Dia ber istighfar lirih.

                “enggeh?? Apa itu enggeh??”

                “maaf, enggeh itu bahasa jawa artinya iya. Monggo pinarak..” lalu meralat apa yang barusan dia katakanya “mari silahkan masuk”

                Rombongan itu pun masuk ke dalam ruang tamu ndalem Kyai Imron. Banyak santri yang masih mencuri-curi pandang kecewa karena suguhan yang tidak lama itu segera menghilang di telan pintu pohon jati.

~ P ~ B ~

                “Siapa tadi, bleh??” aku bertanya pada sableh sahabatku. Sebenarnya namanya adalah Salam, tapi teman-temanku menjulukinya sableh. Setiap santri dipondok pesantren Nurul Hikmah ini rata-rata memiliki nama julukan lebih tepatnya, hinaan. Tidak jelas kenapa mereka memberikan nama yang tidak enak didengar tapi cukup membuat hati selalu terkenang. Seperti sebuah ciri khas yang tidak bisa digantikan yang lain. Sebuah gelar yang diberikan oleh sahabat, tak akan luntur hingga ajal mendekat.

                “Loh.. elu tadi ga liat tah??” sableh berasal dari Jakarta, logat Lu Gue masih sering digunakanya meski pesantren ini kental dengan bahasa jawa.

                “Iye.. gua tadi nuntasin surat al-kahfi, khan hari jumat” sebenarnya aku bukan orang Jakarta dan sekitarnya, tapi apasalahnya mencoba lebih keren dengan mengikuti perkembangan zaman.

                “Aaalah peng.. pake gua gua segala. Niru-niru aja. Lu mah gua….tel! hahaha” jawabnya bercanda. Sebenarnya namaku adalah Ach. Ali fikri, tapi sableh memanggilku Topeng. Yah.. jika kau rela menghina, maka kau mesti rela terhina.

                “Guatel mah elu.. guanteng baru gua.. hahaha” aku membalas candanya.

“Eh, tadi tuh sapa sih??” aku mengulangi pertanyaanku

                “Ya mana kita tahu lah, peng. Artis kali”

                Sejenak aku melirik sumber datangnya sorotan mata santri, namun aku tidak tertarik karna obyek itu telah masuk “area terlarang” bagi santri putra, yaitu pondok pesantren putri. Pondok pesantren putri memang bergabung dengan ndalem, namun pondok putri menghadap utara dan ndalem menghadap selatan, dan ndalem kyai nberhadapan dengan pondok putra. Hanya santri yang mempunyai license khusus yang bisa memasuki area terlarang tersebut.

Tepat di sebelah barat ndalem adalah musholla untuk berjamaah atau mengaji dengan kyai. Kami berada dalam pondok pesantren ini seperti didalam penjara. Bagaimana tidak? 7 hari dalam seminggu, kami hanya satu kali diperbolehkan keluar dalam lingkungan pesantren. Belum lagi dinding dingin yng mengelilingi pesantren, yang memustahilkan bagi kami untuk keluar di malam hari. Pos-pos keamanan yang siap membawa gunting dan tongkat untuk menta’zir santri yang ketahuan melanggar peraturan. satu kali di petal, dua kali di gundul, tiga kali di pulangkan. Benar-benar disiplin.

Pesantren kami sangat tertutup bagi dunia luar. Informasi yang masuk hanya Koran dan mading yang di buat oleh pengurus. Namun setiap santri diberi wewenang untuk mengapresiasikan kreativitas yang mereka miliki selama itu tidak membawa madharat yang berlebihan.

                Terkadang aku sangat enggan, jenuh, dan ingin berontak dari semua yang telah ditetapkan oleh pengurus dan pesantren ini. Namun aku sadar, bahwa niat ku disini untuk menimba ilmu dan mendekatkan diri kepada-Nya sehingga menekan nafsu itu harus aku selalu biasakan setiap hari. Meski terkadang aku harus munafik. Akupun pernah melanggar peraturan ketika suntuk dan butuh hiburan. Biasanya aku dan Sableh menghabiskan waktu dengan bermain PS atau nonton bola diwarung kopi. Biar tidak stres. Masak tiap hari ketemu kitab ama sajadah melulu.hehehe yang penting khan tidak ketahuan. 

                Hari jumat adalah hari emas bagi semua santri. Karena hari ini adalah hari libur dari semua kegiatan dan hari dimana setiap santri diperbolehkan untuk keluar dari lingkungan pesantren. Banyak yang menggunakan waktu emas ini untuk menyegarkan pikiran. Ada yang olahraga di lapangan samping komplek, ada yang pergi kepasar sekedar lihat-lihat barang, dan ada pula yang pulang untuk mengambil bekal. Kali ini aku memutuskan untuk membuang waktu emas ini dengan mengambil bantal lalu menghempaskan badan di sudut kamar. Kantuk masih tersisa gara-gara semalaman begadang menonton bola lewat hp temanku yang dibawa secara sembunyi-sembunyi.

Sebelum aku terbuai dalam balutan mimpi, sejenak aku menatap kaligrafi yang tertulis di langit-langit kamar ku. Kaligrafi itu bertuliskan As-shubhatu tamna’u rizqo  yang artinya bahwa tidur di waktu pagi itu mempersulit rizqi. Persetan dengan kaligrafi itu, lebih baik aku terlelap dan berdansa dengan peri di alam mimpi.

~ P ~ B ~

                Pukul sepuluh pagi aku terbangun. Sejenak aku menatap jam dinding untuk memastikan kejujuran sang waktu. Aku bangun secara malas. Teman-temanku masih banyak yang berleha-leha didalam kamar, ada yang belajar, dan masih ada juga yang masih tidur tampan.

                Aku mengganti sarung yang aku pakai dengan attribute mandi. Dengan mata masih mengantuk, ku gapai handuk dengan berjinjit lantas berjalan gontai ke kamar mandi. Sebenarnya, hari masih terlalu pagi bagi kami para santri untuk pergi shalat jumat. Aku hanya tidak suka berangkat terlalu siang. Di samping kita harus antri untuk mandi, juga semakin tinggi matahari dari ufuk timur berarti semakin panas juga perjalanan ke masjid.

Masjid kami terletak di luar pesantren dan Masjid kami dua kali lebih besar dari pada musholla kami. meski pondok pesantren kami tertutup oleh dunia luar bukan berarti pesantren kami tidak berinteraksi dengan masyarakat. Masjid itulah salah satu perantara bagi kami untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat.

                Seusai mandi, aku mengambil baju kebesaranku. Yakni baju putih pertama kali yang aku beli dengan hasil keringat sendiri. Aku menabung uang dengan bekerja sebagai tukang cuci baju kotor. Meski baju kehormatanku tidak sebagus baju teman-temanku namun aku sangat bangga mengenakan baju tersebut. 

                “Mau kemana peng?? Nyari unta tah??” seru sableh

                “Bukan. Nyari embahnya onta. Hehehehe” jawabku sekenanya lantas menyambar sajadah dan langsung bergegas meninggkalkan pesantren.

                Dengan santai aku berjalan menuju masjid yang berjarak sekitar sepuluh menit  berjalan kaki. Teriknya mentari tak menyurutkan niatku untuk mendapatkan ridlo ilahi. Sesekalli aku memandang lalu lalang kendaran yang menyebabkan debu-debu berputar berterbangan di angkasa. Atau beberapa anak SMA yang baru pulang sekolah dengan teman-temanya tanpa adanya hijab diantara mereka. Laki-laki perempuan tertawa bersama seakan-akan kebersamaan mereka tidaklah ada yang mengetahui. Seakan sentuhan mereka tidaklah ada yang melihat maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah yang Maha Melihat tidak akan pernah mengantuk dan tidak akan pernah berhenti untuk tidak mengawasi hamba-Nya.

                Dalam sunyinya langkah kaki, kembali ku teringat tawa mereka. Alangkah indahnya masa itu. Berbagi cinta dengan lawan jenis. Berbagi kesenangan dan kegembiraan. Seakan-akan dunia milik mereka berdua. Namun apakah itu benar-benar cinta??  Selama ini kami dipesantren hanya di ajari untuk bercinta dengan Allah, Nabi-Nya, kitab-Nya, dan para alim ulama. Kami seakan robot yang hanya terprogram untuk menimba ilmu dan mendekatkan diri kepada-Nya. Aku bingung. Manakah cinta yang sesungguhnya. Apakah arti dari cinta itu??

                Ketika lamunanku semakin sulit untuk di taklukan, aku mengalihkan pandanganku ke ndalem Gus Muhammad atau kami para santri memanggil beliau Gus Muh. Rumah itu tidak begitu megah, namun dari luar terlihat kesan damai dan tenang.

Ku hembuskan nafas berat saat melewati rumah tersebut. ”Ya Allah.. aku ingin sekali menjadi muridnya” do’aku dalam hati. Ingin sekali aq menimba ilmu dan menjadi khodam beliau. Aku ingin menjadi khodamnya bukan karena ingin mendapatkan license khusus agar dapat memasuki area terlarang. Bukan. Tetapi untuk belajar lebih dalam tentang ilmu yang lebih dari ilmu. Pokok dari semua ilmu. Aku tidak mengerti jelasnya, namun aku merasa beliaulah yang menguasainya.

Setiap ada event dipesantren baik itu besar atau kecil, beliau selalu ikut andil dalam event tersebut. Sifatnya yang tenang dan low profile membuat kami para santri merasa sungkan dan takdzim kepada beliau. Apabila didapati sebuah masalah dalam event tersebut beliau selalu ber kata “santai…”. Namun bukan berarti santai yang bermalas-malasan. Menurutku santai disini bukan untuk mengerjakan sesuatu dengan tergesa-gesa sehingga suatu mesalah tersebut tidak terpecahkan secara maksimal. Santai namun tetap disiplin. Tenang namun tegas. Beliau salah satu figure dambaanku. Berwibawa namun tetap qana’ah. Beliau lah satu-satunya Gus dipesantren Nurul hikmah ini yang tidak memiliki khodam laki-laki. Ketika lamunan ku merambah semakin jauh……

                “Bruaaakk!!!!” sebuah suara tabrakan yang di susul decitan gesekan besi yang memekakan telingaku....

 

(Bersambung)

Tags

About The Author

Mas Haidar 36
Ordinary

Mas Haidar

u will See, if u want to know me.. so catch up on me
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel