Ed & Talia #4

13 Jun 2017 10:02 8897 Hits 1 Comments
Cerpen

“Kamu lagi nonton apa, Talia?” tanyaku sembari membuat es teh.

 

“Ini, nih… Kamu tahu, nggak?” tunjuk Talia pada layar laptopnya

 

Aku melihat layar laptop dari dapur di rumahku, Talia duduk di sofa ruang keluarga, semalam Talia menginap, menemaniku yang menulis kelanjutan episode pertemuan kami. Talia belum membacanya. Semalam Talia tertidur di sampingku yang sibuk menulis tepat di sofa yang sama.

 

“Another Trip To The Moon, yaa?” tanyaku memastikan.

 

“100 buat anda, Ed!” teriak Talia, suaranya menggema membentur dinding rumah.

 

“Ssssttt, ntar kedengeran tetangga,” kataku mengaduk es teh, suara gesekkan sendok dan gelas kaca terdengar hingga telinga Talia.

 

“Kamu bikin apa itu? Aku bikinin juga, dong,” Talia memohon, setengah menggodaku dengan air muka yang manja.

 

“Mau? Aku bikinin, deh.”

 

“Yeay…”

 

Talia fokus menonton film, aku membuat satu es teh lagi. Hanya ada aku dan Talia, sepi tak lagi merambat di dinding kamarku semenjak Talia masuk keduniaku. Aku tak kuasa menahan perasan bahagia tiap bersamanya, aku selalu luluh pada sentuhan hangatnya atau tatapannya yang begitu dalam.

 

“Nih,” kataku memberikan satu gelas es teh untuk Talia.

 

“Makasih, Ed, baik deh,” Talia menggoda.

 

“Gombal.”

 

“Eh, Ed. Kamu udah nonton Daun Di Atas Bantal?” tanya Talia, setelah menekan tombol space pada keyboardnya, film berhenti sejenak.

 

“Garin Nugroho? Udah… Kenapa emang?” balasku sembari menyeruput es teh.

 

“Nah! Recommend film yang sejenis itu dong,” Talia memohon, lalu menekan tombol space—film berlanjut.

 

“Waduh, ini nih sulit… Dalem atau luar? Coba nonton Pasir Berbisik,” kataku, merangkul Talia.

 

“Pasir berbisik? Yang pemainnya Dian Sastro, bukan? Kayaknya aku udah pernah nonton… Itu film kelas berat,” Talia menoleh, melihatku lalu mencium bibirku singkat.

 

“Iya, yang sama Christine Hakim juga… Kalo Cinta dalam Sepotong Roti? Bulan Tertusuk Ilalang?” jawabku, setelah Talia mencium.

 

“Udah… Yang Bulan Tertusuk Ilalang kayaknya belum, deh... Itu tentang apa?” Tanya Talia fokus pada film di layar laptop.

 

“Coba tonton aja… Eh, Cinta di Saku Celana juga bagus.”

 

“Cinta di Saku celana udah juga… Berarti nonton Bulan Tertusuk Ilalang dulu, deh.”

 

“Sekarang?” tanyaku memastikan.

 

“Ntar aja, deh,” jawab Talia, menutup laptopnya, film terhenti.

 

“Lah kok dimatiin?”

 

“Nggapapa, nggak ada yang lebih menarik dari kamu,” Talia tersenyum menatapku, mencium pipiku singkat.

 

Aku tergoda, semakin erat merangkul Talia. Aku suka situasi ini, Talia selalu membuatku merasa ada bahkan hanya dengan kata-kata tentang kita. Talia menyandarkan tubuhnya padaku, mengambil ponsel, mulai membuka Instagram.

 

“Wih, episode dua, nih? Kamu kok nggak bilang kalo udah upload? Baca, ah,” ujar Talia setelah melihat satu postingan di Instagramku. Talia berbalik—menghadap ke arahku, mulai membaca.

 

Kami duduk di depan sofa, di atas sebuah karpet di antara letak sofa dan sebuah meja kayu yang mengkilap. Talia membaca sembari meminum es tehnya. Sesekali melirikku, tertawa dan tersenyum. Sampai Talia selesai membaca, dia meletakkan ponselnya di atas meja, merangkul leherku singkat.

 

“Aku kira bakal beda… Ternyata masih percakapan selanjutnya,” senyum Talia menatapku. Senyum yang sama, yang selalu meluluhkanku, lesung pipitnya begitu neurotik.

 

“Gimana? Bagus nggak?”

 

“Bagus! Sebagai pembaca aku bisa berimajinasi waktu bacanya… Cuma aku ketawa aja baca percakapannya.”

 

“Kok ketawa?” tanyaku menyipitkan mata, menatap Talia.

 

“Yaa ketawa aja, jadi inget percakapan kita waktu itu, persis banget sumpah!”

 

“Owalah… Tapi nyambung, kan sama ceritanya?”

 

“Nyambung, kok. Lebih nyambung lagi kalo diterusin,” kata Talia menggodaku—berharap.

 

“Waduh PR nih kalo minta diterusin,” kataku mengusap wajah Talia.

 

“Loh kok malah PR?” tanya Talia, kembali bersandar pada tubuhku.

 

“Iyalah PR, kan kita ngobrol terus, nih... Selama obrolan kita terus berlanjut berarti bakal banyak lanjutannya,” aku mengelus ubun-ubun Talia.

 

“Emang gak bisa kembangin sendiri pake percakapan imajinasimu?” kata Talia setelah tertawa singkat.

 

“Itu juga udah ada bagian dari imajinasiku, loh.”

 

Kami terdiam, aku masih mengelus ubun-ubun Talia, menyisir rambutnya dengan jari-jariku. Kemudian Talia memegang tanganku, menciumnya perlahan, lembut. Seluruh tubuhku bergetar, Talia menurunkan tanganku—merangkul perutnya. Talia menahan geli setelah aku menggelitik perutnya.

 

“Imajinasimu liar, yaa… Bikin kebayang,” kata Talia memecah keheningan.

 

“Kamu nih, jangan cuma dibayangin dong,” kataku menggoda.

 

Talia tersenyum lalu bangkit, menggandeng tanganku, menarikku pelan—membawaku ke kamar tidur. Setelah kami berdua masuk, Talia menutup pintu—masih menggandeng tanganku, lalu menatapku dan tersenyum, melepas kancing teratas bajunya.

 

 
Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel