Labirin Tak Berujung - Part 3

12 Sep 2016 23:54 8439 Hits 2 Comments
Dira tidak menyangka perubahan besar yang terjadi pada diri Bimo membawa dia masuk ke dalam labirin cinta yang tak berujung. Akankah ia dapat lepas dari jerat itu?

sumber gambar diambil dari google image

 

Baca kisah sebelumnya : Labirin Tak Berujung - Part 2

 

 

 

Sebuah Pertemuan

 

Sudah setengah jam lebih Dira menunggu. Meski sedikit kesal, ia mencoba bersabar. Mungkin dia sedang sibuk, demikian batin Dira menghibur diri.

Suasana kafe memang masih ramai, meski waktu sudah menunjukkan hampir pukul 21.00 WIB. Para waitress juga masih sibuk lalu lalang, ada yang membersihkan meja-meja yang sudah kosong, ada yang membawa makanan yang dipesan, ada juga yang mendatangi pengunjung yang baru datang. 

Tampak sepasang muda mudi baru saja memasuki kafe sambil berpegangan tangan. Mereka berlari kecil sambil tertawa mencari tempat duduk yang strategis untuk bermesraan. Posisi tempat duduk yang mereka tempati ternyata tepat berhadapan dengan posisi Dira, meskipun jaraknya cukup jauh dan terletak di ujung kafe dekat kaca depan.

Dira mulai menatap mereka lekat. Tingkah laku sepasang kekasih ini menarik perhatian Dira. Seolah-olah mengusir kebosanan Dira yang sudah cukup lama menunggu sendirian.

Mereka tampak mesra. Sang gadis menyenderkan kepalanya ke lengan sang pemuda yang sedang memesan makanan, sambil tangannya terus memegang erat tangan kekasihnya seperti tak mau lepas.

Sambil menyeruput lemon ice tea yang sudah mau habis, mata Dira terus memandang mereka. Yang dilihat tidak menyadari kalau mereka sedang menjadi pusat perhatian Dira, mereka terus saja bermesraan.

Lama aku tidak merasakan kemesraan seperti itu, hati Dira mulai gundah. Meski ia sudah menikah selama tiga tahun, ruang itu selalu kosong. Tidak ada kehangatan apalagi kemesraan seperti yang ia lihat di depan matanya. Suaminya yang super sibuk ternyata tidak bisa mengisi ruang itu. Hambar, seperti sayur tanpa garam.

Pikirannya mulai melayang ke masa silam, masa ia masih muda seperti gadis yang sedang dilihatnya saat ini. Ia membayangkan gadis itu adalah dirinya, sedangkan sang pemuda adalah kekasih pujaan hatinya. Dira pun terbuai. Lama.

 

"Haii!! Sudah lama menunggu ya?" Suara berat membuyarkan lamunan Dira.

"Oohhh!" Dira tersentak kaget. "Hai Bi!" Dira tersipu malu, ia memperbaiki posisi duduknya lalu merapikan pinggir rambutnya yang sempat menutupi sebagian jidatnya yang turun terurai akibat terkejut.

"Sori ya, Dir. Jadi lama menunggu. Sibuk banget tadi. Maklumlah, malam minggu." Pemilik suara berat yang ternyata adalah Bimo menggeser kursi di depan Dira lalu segera duduk sambil tersenyum lebar. Kini tubuh Bimo menghalangi pandangan Dira melihat sepasang kekasih yang sempat menarik perhatiannya tadi.

"Iya, nggak papa kok Bi. Nggak masalah." Dira tersenyum lebar, berusaha menutup rona merah di pipinya akibat tersipu malu.

"Bener nih, nggak masalah?"

"Nggaak, enggak papa koq! Kalau masih ada kerjaan lanjutkan saja lagi, Bi." 

"Sudah beres kalau soal itu. Aku sudah serahkan sama orang kepercayaanku untuk menggantikanku sementara. Oh ya, kita makan di sini atau makan di luar saja? Soalnya agak aneh sih buat aku makan di kafe sendiri, hehehe..."

"No, no! Nggak apa-apa, Bi. Aku kan belum pernah kemari dan penasaran ingin mencicipi masakan kamu, jadi kita makan di sini saja," 

"OK kalau begitu. So, kabar kamu gimana sekarang?"

"Baik. Kamu juga pasti baik ya. Sukses lagi. Kafe kamu ramai lho."

"Akh, biasa saja koq. Oh ya, kamu kenapa belum order?"

"Sudah, tadi aku pesan Banana Split. Cuma sudah habis, ini piringnya."

"Koq cuma Banana Split? Aku order yang lain ya. Don't worry. For you, it's free!"

Dira tersenyum tidak menjawab. Bimo mengacungkan tangannya ke atas memanggil salah satu anak buahnya untuk memesan makanan. Seorang gadis manis yang melihat tangan Bimo langsung mendatangi Bimo sambil membawa menu.

"Nah, Dir. Ini namanya Mirna, salah satu waitress-ku yang paling rajin di sini. Manis kan! Hahaha!"

"Ahh, Bapak bisa saja! Bapak mau makan juga pak?"

"Yup! Buat saya dan juga buat tamu saya ini. Mau pesan apa Dir?"

Dira melihat kembali menu yang sebelumnya sudah ia baca. Ia sebenarnya tidak lapar, tapi segan menolak. Lembar demi lembar ia buka, sampai matanya tertuju ke satu gambar makanan yang menarik seleranya.

"Spaghetti Black Lady? Ini apa ya?"

"Oh, itu pasta lada hitam. Dagingnya daging sapi. One of favorite's food here. You should try it." Bimo spontan mempromosikan masakan andalannya.

"Mmmm, interesting. Oke, aku pesan deh. Pasti enak."

"I guaranted. Hehehe." Kembali Bimo tersenyum lebar. Sudah lama Dira tidak pernah melihat senyum Bimo selebar itu, apalagi ini pertama kalinya mereka bertemu setelah tiga tahun lebih tidak lagi berjumpa.

"Nahh, lebih enak lagi kalau minumnya with Bloody Marry, perfecto!" 

"Bloody Mary?" Dira terbelalak. "Apa itu?"

"Red wine."

"Red wine? Di sini ada wine?" Dira tambah terkejut. Bimo mengangguk.

"Yup! Bloody Mary itu red wine yang dicampur dengan tomat, lemon, ditaburi merica dan irisan seledri. Tenang, tidak akan memabukkan koq."

"Ohh, oke. Wow, kamu sepertinya tahu banyak juga ya dengan hal-hal seperti ini. Nggak nyangka lho!" Dira masih surprise dengan diri Bimo yang berbeda dari Bimo sebelumnya yang ia kenal. Ia menutup lembaran menu lalu memberikannya kepada Mirna.

'Hahaha!" Bimo tertawa renyah dan mempersilahkan Mirna pergi.

"Kamu pikir aku tahunya hanya mendaki gunung kan?"

Dira mengangguk.

"Aku sudah nggak lagi hiking Dir. Sudah lama kutinggalkan. Sejak ayah sakit-sakitan."

"Oh. I see."

"Setelah ayah meninggal, aku jual apartemenku dan balik ke rumah orang tuaku. Aku tinggal dengan ibu sekarang, Dir."

Dira serius mendengarkan.

"Selanjutnya aku buka kafe ini. Kafe ini sebenarnya sudah ada sebelumnya. Pemiliknya nggak sanggup melanjutkan karena rugi, tapi kasihan melihat stafnya jadi pengangguran kalau tutup. So, aku beli deh kafe ini termasuk tukang masak sama waitress-nya." Bimo bercerita panjang lebar sambil matanya terus menatap wajah cantik Dira.

"Aku rubah konsep kafenya, termasuk kutambah jenis makanan dan minumannya jadi lebih variatif dan berselera internasional, tapi harga masih terjangkau. Syukurlah, ternyata kafe-ku justru didatangi banyak orang terutama muda-mudi yang lagi pacaran, seperti yang tadi kamu lihat."

Pipi Dira kembali memerah. "Jadi kamu perhatikan aku dari tadi?"

"Iya."

"Iiihhh, nakal!" Dira tersipu malu sambil memukul meja pelan. Bimo tertawa puas. Dira ikut tertawa.

Setelah tertawa bersama, mereka pun berpandangan. Tanpa suara selama beberapa detik.

Seperti sudah di setting, perlahan terdengar alunan musik merdu yang seolah mengiringi perbincangan mereka. Lagu baru yang sedang populer saat ini, Treat you better dari Shawn Mendes. 

Video diambil dari Youtube

 

"Sudah lama ya kita tidak jumpa. Let see, empat tahun?" Bimo memulai percakapan baru. 

"I think so." Dira menjawab pelan. 

"Aku dengar dari Satria, kamu tinggal di Surabaya ya?" Bimo melanjutkan.

Dira hanya mengangguk.

"Sudah berapa anakmu Dir?"

"Belum ada Bi."

"Ohh, maaf."

Mereka kembali terdiam selama beberapa saat, hanya terdengar refrein dari lagu di atas.

 

"Dir, aku minta maaf ya tidak bisa hadir waktu wedding kamu. Saat itu aku lagi hiking di Dieng."

"Ohh, iya. Nggak apa-apa Bi." Tampak kekecewaan tersembul di wajah Dira begitu mendengar pengakuan Bimo. Meskipun ia berusaha melupakan tetapi kekecewaan itu tetap ada. Bimo merasa tak enak. Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Kamu lagi dalam rangka apa ke Jakarta? Mmmm... kayaknya aku terus yang nanya ya, hahaha!"

"Iya, hahaha! Beda banget dengan kamu yang dulu!" Mereka kembali tertawa bersama.

"Mmm..., oke, aku jawab ya..." Dira kembali memperbaiki posisi duduknya, ia tampak kikuk.

"Aku dan Ario sepakat untuk periksa kesehatan kami ke dokter ahli kandungan. Kebetulan Ario kenal dengan dokter ini, kakak kelasnya waktu masih kuliah dulu..." Belum selesai Dira melanjutkan kalimatnya, Bimo memotong.

"Tunggu, Ario dokter kandungan?"

"Iya..."

"Lho, koq aneh ya?"

"Iihh, Bimooo. Ya bisa saja dong. Dokter obgin kan manusia juga, hahaha!"

"Iya juga sih, hahaha!"

"Ini mau dilanjutkan tidak ceritanya?"

"Ohh, OK, OK. Go on."

"Dokter ini sudah cukup banyak menangani pasien yang sudah lama tidak punya anak, dan hampir semua pasiennya banyak yang berhasil. Karena Ario kenal dia, jadi kami diprioritaskan. Senin lusa kami jumpa."

"Jadi Ario sekarang ada di Jakarta?"

"Nggak, dia masih di Surabaya. Besok sore dia kemari."

"Oh pantas, kamu mau ketemu aku hari ini. Hahaha!"

Dira tidak menjawab, tapi wajahnya merengut.

Tak lama Spaghetti Black Lady dan Koktail Bloody Mary pesanan mereka siap dihidangkan. Terlihat asap berbau harum mengepul keluar dari piring memenuhi ruangan, menggelitik perut Dira yang mendadak lapar. 

"Wow, smells good." Dira tampak sudah tidak sabar ingin merasakan kelezatan masakan yang didepannya. Bimo hanya tersenyum lebar mendengar pujian Dira.

Tak lama merekapun mulai menikmati hidangan yang menggugah selera itu. 

"Mmmm... lezatt bangeett Bi! Enaakk! Astaga kamu jago juga ternyata ya." Dira memasukkan lagi spaghetti ke dalam mulutnya, tak peduli masih panas.

"Makasih Dir. Tapi bukan aku loh yang masak. Aku jagonya cuma ngitung duit doang! Hahaha!" Bimo tertawa melihat Dira sedang mengipasi mulutnya yang kepanasan. 

Mereka pun larut dalam keceriaan sambil menikmati kelezatan hidangan. Tak terasa malam semakin larut, tapi tak menyurutkan kerinduan mereka setelah lama tidak berjumpa. Setelah selesai menikmati hidangan pun mereka masih asyik bercerita tentang keadaan masing-masing, seolah-olah tidak rela berpisah.

 

 

Momen Yang Tidak Direncanakan

 

Lsumber gambar diambil dari google image

 

Dira benar-benar tidak habis pikir dengan suaminya Ario yang bisa-bisanya membatalkan pertemuan mereka berdua yang sudah disepakati sebelumnya dengan dr. Lukman, padahal ia sendiri sudah berada di Jakarta demi pertemuan tersebut.  

 

"Aku benar-benar kecewa dengan Ario, Bi. Sungguh. Bisa-bisanya ia membatalkan janji hari ini. Ada saja alasannya. Rasanya mau marah, tapi yah... mau bagaimana lagi..." Dira menumpahkan kekecewaannnya kepada Bimo. Mereka berdua ternyata bertemu lagi di salah satu restoran ternama. Kali ini tidak di kafe Bimo.

"Mungkin dia sedang sibuk dengan pasiennya, Dir." Bimo berusaha menenangkan Dira. Siang ini sebenarnya ia sangat sibuk, namun ia tidak berdaya menolak saat Dira mengajaknya kembali bertemu.

“Yah, selalu itu alasannya. Pasien dan pasien. Seolah-olah aku orang yang jahat dan egois karena tidak peduli dengan pasiennya yang membutuhkan pertolongan.  Lalu bagaimana dengan perasaanku, keinginanku?” 

Bimo terdiam, ia tidak berani menjawab. Ia mengerti perasaan Dira.

“Aku merindukan seorang anak Bi.”

“Aku mengerti.”

“Tapi Ario tidak bisa mengerti, Bi. Ia lebih mementingkan karirnya dari pada aku.”

“Itu tidak benar Dir. Percaya sama aku.”

“Tapi nyatanya, kamu lihat sendiri, kan?”

Bimo kembali terdiam.

“Maaf Bi, aku jadi membuang-buang waktu kamu dengan masalahku yang tak berguna ini.”

“Oh, no. No. Nggak apa-apa koq Dir. Kamu bisa melanjutkan.”

"Aku merasa aku sudah terlalu banyak mengalah. Aku tidak tahu sampai kapan aku harus bertahan."

"Jangan begitu, Dir. Don't say that. Pasti ada jalan keluar, percayalah. Kamu harus bersabar."

Dira tidak menjawab. Ia tertunduk lesu. Wajahnya merah menahan marah. Kekecewaannya sedikit memudarkan pesona kecantikannya.

"OK, I tell you what. Menurutku kamu perlu rileks. Bagaimana kalau kamu lupakan dulu masalah ini. Bersenang-senang saja lah, mumpung kamu masih di Jakarta."

Dira tidak mengerti maksud Bimo. 'Bersenang-senang? Maksud kamu apa Bi?"

"Maksudku, ya bersenang-senang. Have fun. Aku tahu tempat yang tepat buat kamu melepaskan gundah kamu."

"Oh, ya? Di mana?"

"Secret. Nanti malam aku jemput kamu ya. Kamu mau kan?"

"Kamu ini. Begitu saja kok pakai secret sih, Bi. Kasih tahu saja di mana?"

"Ya itu, di Secret. Secret itu nama night club, Dira. Hahaha!"

"Astaga! Itu nama night club? Aku pikir kamu mau merahasiakan dulu. Dasar kamu! Hahaha!"

"Bagaimana, kamu mau kan?"

"Mmmm, bagaimana yah? koq kayaknya perasaanku nggak enak ya?"

"Tenang! Tempatnya bagus dan decent koq. Di sana pengunjung tidak boleh mabuk. Kalau sudah mabuk, pasti akan disuruh keluar."

"Oh ya? Aku baru tahu kalau ada night club yang seperti itu."

"Benar koq. Aku nggak bohong."

"Mmmm, bagaimana ya? ... baiklah."

"Good. Aku jemput kamu nanti malam yah."

Dira mengangguk. Senyum tipisnya mulai menghiasi wajahnya. Ia senang namun sekaligus heran dengan perubahan besar yang terjadi pada diri Bimo yang sekarang. Bimo yang ia kenal sebelumnya sama sekali tidak seperti ini. Benar-benar surprise, pikir Dira dalam hati.

 

 

 

 

 

Tags

About The Author

Arya Janson Medianta 46
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel