Sihir Rendra pada Sajak Bayi Di Dasar Kali

29 Aug 2016 09:22 2907 Hits 0 Comments
Ulasan tentang sajak tentang sesosok Bayi Di Dasar Kali

Bagi saya keindahan sebuah karya sastra seperti sajak misalnya, terletak pada pembacaan yang tidak kunjung selesai. Sajak Rendra yang berjudul Bayi Di Dasar Kali, misalnya. Dikatakan tidak kunjung selesai karena setiap kali membacanya saya seolah menemukan sesuatu yang selalu baru. Meski sebenarnya teks yang dihadapi adalah yang itu-itu juga, tapi kesadaran saya selalu tergugah setiap kali membacanya. Seolah-olah di dalamnya ada pergerakan arus yang tak mau berhenti. Gesekan antara saya sebagai pembaca dengan arus itu menciptakan bentuk yang barangkali dapat diumpamakan dengan gerak pada air mancur di mana setiap lompatan airnya mengandung energi untuk hidup. Berikut petikan sajak tersebut:

à

Bayi Di Dasar Kali

à

Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi

adalah nyanyi yang tak terluput dari mulut

bahkan pun mulut yang telah biru dan dingin.

Angin dingin tak berbadan.

Gersik rumpun pimping, rumpun ilalang.

Wahai, nyanyi yang terluput dari liang luka

di hati arwah kecil dan puti.

à

Adalah bayi, adalah nyawa tersia di dasar sungai

adalah dendam

lewat bening air menikam mentari

adalah nyawa lepas di luar dayanya dan tahu.

Mengapa tak dibunuh bagai darah dikandungnya

mengapa tak ditolak bila pintu diketuknya?

Dimasukkannya ia bagai tamu yang diharapkan

disimpan bagai buah tubuh yang diperam

dan bila telah berhak menatap panah mentari

amboi, ditidurkannya ia di dasar sungai!

à

Air sungai maha dingin

mencucinya sepanjang hari

matanya menatap saja dan tiada berujung juga

tubuhnya kian putih dan kerikil masuk ke dagingnya.

Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi.

(sumber: WS Rendra. Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: 1990. PT Dunia Pustaka Jaya)

à

Sajak di atas berkisah tentang bayi yang oleh orang-orang yang melahirkannya dibuang di dasar sungai. Tidak disebutkan siapakah yang meletakkan sang bayi di dasar sungai, ibu yang melahirkannya ataukah ayah yang menjadi benihnya, atau kedua-duanya. Perhatian Rendra sepertinya tercurah pada keberadaan si bayi ketimbang orang-orang yang mengantarkannya ke dunia. Dan memang keberadaan bayi itulah yang selalu menghentak nurani tiap kali membaca sajak yang berjudul Bayi Di Dasar Kali ini.

Bait pertama sajak di atas merupakan pembuka. Pada baris pertama Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi menghadirkan nuansa suara di tengah-tengah pembaca. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata nyanyi yang merupakan kata verba yang menyaran pada pengertian aktifitas mengeluarkan suara bernada. Kata nyanyi ini cenderung memiliki sifat merdu dan indah. Akan tetapi sifat merdu dan indah ini dipertentangkan dengan kata verba rintih yang menyaran pada pengertian yang cenderung bersifat negatif dan menyakitkan. Frasa Adalah nyanyi sepertinya mengungkapkan bahwa sajak ini merupakan sebuah nyanyian, akan tetapi merupakan nyanyian yang pilu karena nyanyian tersebut mengandung rintih. Atau bisa juga baris pertama ini menunjukkan bahwa sajak ini merupakan rintih yang menjadi nyanyi.

Pada baris berikut, yakni baris kedua, adalah nyanyi yang tak terluput dari mulut. Baris ini menunjukkan bahwa rintih yang pada baris sebelumnya disandingkan dengan nyanyi kini telah sepenuhnya menjadi nyanyi. Dan sebagaimana setiap rintih bermula dari mulut yang merasakan sakit atau pun duka. Baris kedua ini lebih menunjuk pada rintih yang keluar dari mulut. Kata mulut pada baris ini mesti dipahami sebagai makna denotatifnya, yakni mulut sebagai bagian tubuh dari manusia yang bisa mengeluarkan nyanyi dan rintih.

Di sini menjadi jelas bahwa nyanyi atau rintih yang didengar oleh si aku lirik dalam sajak ini bukanlah suara yang berasal dari alam seperti misalnya pada frasa âmusim semi bernyanyiâ atau âbatu-batu merintih dihantam badaiâ. Mulut yang dihadapi oleh si aku lirik adalah mulut sebagaimana si aku lirik sendiri memiliki mulut atau sebagaimana lazimnya mulut kita.

Akan tetapi mulut pada baris ini ternyata tidak seperti lazimnya. Pada baris ketiga disebutkan mulut yang telah biru dan dingin. Baris ini menyiratkan adanya sebuah proses yang telah berlangsung yang dialami oleh mulut pada baris sebelumnya. Frasa telah biru menunjukkan bahwa darah yang mengalir di balik mulut tersebut telah berhenti mengalir dan membeku. Jika yang diacu adalah mulut manusia tentu kejanggalan segera ditemukan: mengapa mulut yang bernyanyi itu darahnya membeku sehingga menyebabkan warnanya berubah menjadi biru? Hal ini dikuatkan lagi dengan bentuk elips telah pada kata dingin yang juga menyiratkan pengertian bahwa telah terjadi proses dari sesuatu yang sebelumnya hangat menjadi dingin yang dalam hal ini adalah mulut. Bisa dikatakan bahwa darah dalam tubuh pemilik mulut ini telah berhenti fungsi-fungsinya, atau dengan kata lain: mati. Jadi pada baris ketiga dapat dipahami bahwa rintih yang menjadi merdu bagi si aku lirik berasal dari mulut yang telah mati. Bagaimana bisa mulut yang telah mati menyuarakan rintih yang menjadi nyanyi?

Baris keempat Angin dingin tak berbadan menyaran pada keadaan alam pada yang merupakan lambang tertentu yang tengah dihadirkan oleh si aku lirik. Di sini terdapat kata benda angin yang mendapat atribut sifat dingin. Frasa Angin dingin menunjukkan kondisi tertentu pada alam. Frasa Angin dingin ini diikuti dengan frasa tak berbadan. Di sini angin yang merupakan unsur benda mati dikuti dengan unsur dari benda hidup, yaitu mahkluk yang berbadan. Baris ini seolah-olah menggambarkan adanya sesuatu yang terpisah yaitu antara angin dan badan. Bisa juga dikatakan bahwa ada sesuatu, yaitu angin, yang kini kini tidak lagi memiliki atau kehilangan badan. Dengan kata lain, ada ruh yang diwakili dengan kata angin, yang terpisah dari badan. Jika pemahaman ini diterima, kata dingin yang menjadi atribut dari angin menjadi lebih ironi maknanya: ruh yang kesepian karena kehilangan badannya!

Baris kelima kembali menghadirkan keadaan alam Gersik rumpun pimping, rumpun ilalang. Dalam hubungan dengan baris sebelumnya, terdapat pergeseran medan dari angin yang berada di udara beralih ke tanah dengan rumpun pimping, rumpun ilalang nya yang bergerak karena tiupan angin. Kata gersik di sini mengacu pada pengertian suara atau bunyi yang timbul karena gesekan antara daun-daun. Bisa dikatakan dunia yang dihayati oleh si aku lirik dalam sajak ini bukanlah dunia yang diam. Akan tetapi dunia yang bersuara, dunia yang me-rintih. Gersik rumpun menyenandungkan rintih.

Baris keenam Wahai, nyanyi yang terluput dari liang luka menunjukkan keberadaan si aku lirik dalam sajak ini. Pada baris ini si aku lirik tengah menyeru. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata seru wahai yang bermaksud untuk memanggil atau menarik perhatian atau pun untuk memperingatkan. Yang diseru oleh si aku lirik pada baris ini adalah nyanyi yang terluput dari liang luka. Nyanyi inilah yang hendak dibangkitkan oleh si aku lirik dalam sajak ini dengan seruannya.

Kalau kita perhatikan pada baris kedua, nyanyi tak terluput dari mulut. Artinya nyanyi itu hadir di antara objek yang nampak di dunia benda meski berasal dari sesuatu yang mati. Akan tetapi nyanyi pada baris keenam yang diseru oleh si aku lirik bukanlah nyanyi sebagaimana pada baris kedua. Yang diseru oleh si aku lirik adalah nyanyi yang asalnya bukan dari dunia benda. Akan tetapi berasal dari suatu sumber yang terluput dari liang luka. Di manakah letak liang luka itu? jawabnya terletak pada baris ketujuh di hati arwah kecil dan puti.

Setelah pada baris-baris sebelumnya kita diajak oleh si aku lirik untuk mendengarkan suara-suara alam, pada baris terakhir kita diajak untuk (dalam tanda kutip) menghidupkan atau mendengar suara dari arwah kecil dan puti. Baris ini juga menunjukkan ada kehadiran manusia (atau yang dulunya manusia) yang dapat diidentifikasi dengan kata kecil dan puti. Kata kecil tentu saja menunjuk pada pengertian bayi sebagaimana judul sajak ini. Sedang kata puti menunjuk pada jenis kelamin bayi itu, yaitu perempuan. Dengan kata lain, nyanyi arwah bayi perempuan inilah yang tengah diseru oleh si aku lirik.

Dari bait pertama ini tidak salah jika pada judul tulisan ini penulis menggunakan kata sihir. Ini karena bait pertama ini didominasi oleh unsur bunyi-bunyian. Indra pendengaran diarahkan untuk satu tujuan. Seperti mantra-mantra kuno yang lebih cenderung menggunakan bunyi-bunyian untuk menghadirkan suasana magis. Begitulah bait pertama ini menyihir kita dengan perpaduan nyanyi, rintih, gersik, mungkin juga desir angin, dan seruan si aku lirik yang hadir di tengah-tengah kita.

Baris pertama pada bait kedua atau baris kedelapan Adalah bayi, adalah nyawa tersia di dasar sungai menegaskan apa yang pada baris terakhir bait pertama disebutkan. Di sini digunakan kata bayi yang merujuk pada sosok tubuh mungil yang dipertentangkan dengan kata nyawa yang merujuk pada sesuatu yang menempati tubuh si bayi. Namun dua substansi (nyawa dan tubuh) yang mestinya bersatu ini terpisah. Dan tempat pemisahan itu terletak di dasar sungai.

Bagi penulis pemandangan pada baris kedelapan ini begitu mencengangkan: tubuh bayi terbaring di dasar sungai. Padahal bayi adalah mahkluk tak berdaya yang kehadirannya di dunia ini sangat tergantung pada keberadaan ibunya. Pada usia ini bayi lebih mungkin berada di atas ranjang di tengah-tengah kamar yang hangat dengan dilindungi oleh kojong yang menghindarkannya dari gigitan nyamuk. Ya, pada usia ini bayi benar-benar dimanjakan dan disayang. Dia hanya bisa berbaring dan memandang dunia dari balik mata mungilnya. Keberlangsungan hidupnya bergantung dari belas kasihan ibu yang menyusuinya. Tapi pada sajak ini, bayi itu sendirian di dunia ini. Dia terbaring di dasar sungai tanpa seorang pun yang tahu. Nyawa nya tersia. Hidupnya telah terenggut oleh ketiadaan. Menyisakan mulut yang telah biru dan dingin.

Baris kesembilan adalah dendam menampilkan suasana yang berbeda. Jika pada baris-baris sebelumnya suasana yang hadir cenderung lembut, dingin, dan tak berdaya, namun pada baris ini ada semacam amarah yang merangkak ke permukaan. Di balik sesuatu yang tak berdaya dan mati itu ternyata ada amarah terhadap sesuatu yang mengantarkannya pada ketiadaan.

Baris selanjutnya lewat bening air menikam mentari. Baris ini secara tersirat menggambarkan tatapan mata si bayi. Hal itu nampak pada frasa lewat bening air. Di sini yang mungkin menembus bening air hanyalah penglihatan. Kita bisa melihat corak batu-batu dasar sungai pada air yang bening dengan indra penglihatan kita. Begitu pula sebaliknya, tatapan mata si bayi menembus bening air dari tempatnya terbaring di dasar sungai. Kini bayi itu bukan lagi sesuatu yang telah biru dan dingin, melainkan sesuatu yang amarah dan menikam mentari dengan tatapan matanya.

Mengapa dikatakan tatapan mata? Telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang mungkin menembus bening air hanyalah indra penglihatan. Selain itu pada baris lain juga disebutkan matanya menatap saja. Ini menunjukkan bahwa mata bayi itu tidak terpejam. Bayi itu ternyata tidak tertidur melainkan terjaga. Dan dengan tatapannya itu dia meluapkan amarahnya, yang oleh si aku lirik didengar sebagai rintih pada nyanyi.

Baris kesebelas adalah nyawa lepas di luar dayanya dan tahu menunjukkan adanya proses yang telah dilalui oleh si bayi, yaitu nyawa lepas. Sebagaimana keberadaan bayi yang belum mampu berbuat apa-apa, proses nyawa lepas itu tidak dapat ditolaknya. Bayi itu tidak mampu misalnya meronta dan melepaskan diri dari cengkaram air sungai yang dingin lalu berenang ke permukaan. Juga sangat mungkin bayi itu tidak tahu bahwa dia akan dibaringkan di dasar sungai. Dia tidak dapat melawan yang pada baris ini diwakili dengan frasa di luar dayanya.

Akan tetapi sekali pun bayi itu tidak kuasa melawan perlakuan terhadapnya, namun dia tahu perbuatan apa yang dilakukan padanya. Ini merupakan sisi ironi karena tubuh yang tidak berdaya melawan ternyata tahu bahwa dia tidak berdaya dan ketidakberdayaannya itu akan mengantarkannya pada kematian. Nyawa atau ruh itulah yang kini sedang berbicara. Nyawa itu sedang berbicara kepada kita melalui si aku lirik. Suasana magis telah menghidupkan si bayi ke tengah-tengah kita.

Pada baris selanjutnya Mengapa tak dibunuh bagai darah dikandungnya merupakan pertanyaan yang ditujukan kepada mereka yang telah âmenjadikannyaâ di dunia. Pertanyaan ini lebih merupakan tuntutan hak atas hidup. Juga pada baris ketigabelas mengapa tak ditolak bila pintu diketuknya? adalah tuntutan hak atas hidup. Sebab jika memang kehadirannya ditolak mestinya dia ditiadakan semenjak berada dalam rahim. Sebab jika kehadirannya memang tidak diinginkan, mengapa daging dalam rahim yang belum berjiwa itu tidak dilenyapkan! Dan si bayi tahu, di situlah dia harus ditolak jika kehadirannya di dunia memang tidak diinginkan.

Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kehadirannya dalam rahim diterima. Hal itu terungkap lewat baris keempatbelas Dimasukkannya ia bagai tamu yang diharapkan. Seolah-olah perempuan pemilik rahim dan lelaki penanam benih mengharapkan kehadirannya. Bahkan lebih jauh keberadaannya dalam rahim dijaga. Hal itu terungkap pada baris selanjutnya disimpan bagai buah tubuh yang diperam. Kata disimpan menunjukkan bahwa kedua orang itu tak hendak membuang buah yang terjadi akibat hubungan lelaki dan perempuan. Metafora yang digunakan selama proses bayi dalam kandungan adalah buah tubuh yang diperam. Hal ini menunjukkan bahwa janin yang dikandung makin lama makin besar. Karena dia diperam layaknya buah tubuh.

Meski demikian kata disimpan jika dihubungkan dengan kata diperam juga bisa memiliki pengertian lain. Pengertian lain yang mungkin timbul adalah kandungan yang dirahasiakan atau disembunyikan. Mungkin yang dimaksud adalah kehamilan yang ditutup-tutupi. Entah karena kandungan itu akibat benih dari hubungan yang tidak direstui atau sebab lain seperti hubungan di luar nikah, yang pasti janin dalam kandungan tersebut dibiarkan tumbuh makin besar dari hari ke hari. Si pemilik rahim dan penanam benih tidak menggugurkan janin dalam kandungan itu. Di sini disebutkan pemilik rahim dan penanam benih karena seharusnya kedua manusia itulah yang bertanggungjawab atas hak hidup si bayi. Tapi pada sajak di atas, kedua manusia itu merenggut hak si bayi. Hak untuk hidup yang terlukis pada baris keenambeas bila telah berhak menatap panah mentari direnggut dengan membaringkan si bayi di dasar sungai!

Pada baris ketujuhbelas digunakan kata ditidurkannya untuk menyaran pada pengertian meletakkan tubuh si bayi. Penggunaan kata ditidurkannya pada baris ini menunjukkan kesan bahwa si bayi sedang mengantuk dan mesti ditidurkan. Kata ditidurkannya yang biasanya dilakukan oleh orang tua kepada bayi dengan penuh kasih sayang, menjadi ironis karena pada baris ketujuhbelas ini ini digunakan untuk menggantikan pengertian tindakan membunuh si bayi. Apakah kedua manusia itu pada dasarnya menyayangi bayi itu namun karena berbagai macam sebab mereka harus membuangnya? Apakah kedua manusia itu sadar dengan apa yang mereka lakukan, merenggut hak menatap panah mentari dari si bayi?

Sajak di atas tidak melukiskan tentang manusia-manusia yang menghadirkan si bayi ke dunia dan menidurkannya di dasar sungai. Sajak ini adalah tentang tubuh bayi yang ditidurkan di dasar sungai. Jadi apa yang terjadi dengan kedua manusia yang menghadirkan si bayi ke dunia hanya dapat dilakukan dengan menduga-duga. Keberadaan kedua manusia itu hanya ditampilkan secara tersirat melalui kata kerja pasif seperti dimasukkannya, disimpan, atau pun ditidurkan.

Penggunaan kata kerja pasif ini pada hemat penulis karena si aku lirik, selain tak hendak menceritakan tentang kedua manusia yang dimaksud, juga hendak mengajukan tuntutan kepada kedua manusia itu melalui perbuatan mereka terhadap si bayi. Pertanyaan si aku lirik pada baris keduabelas dan ketigabelas pada dasarnya bukanlah pertanyaan meski pada akhir baris ketigabelas terdapat tanda tanya (?). Kedua baris tersebut pada dasarnya adalah pengajuan tuntutan kepada kedua manusia yang telah menyebabkan si bayi berada di dasar sungai. àJuga kedua baris tersebut, bisa dikatakan sebagai luapan amarah si aku lirik dalam sajak ini. Bukankah kadang kalau kita marah terhadap sesuatu, kita sering mempertanyakan kejadian yang membuat kita marah?

Begitu juga dengan baris keempatbelas sampai keenambelas, merupakan pernyataan si aku lirik. akan tetapi jika pada baris keduabelas dan ketigabelas pernyataan itu lebih ditujukan kepada kepada kedua manusia yang telah menyebabkan si bayi berada di dasar sungai, baris-baris selanjutnya lebih ditujukan kepada pembaca. Artinya, si aku lirik ingin pembaca memahami mengapa dia sampai begitu marah. Baris keempatbelas sampai ketujuhbelas yang menggambarkan bagaimana kehidupan si bayi bermula dan berakhir, bisa dikatakan sebagai alasan kemarahan si aku lirik.

Kalau kita amati lagi pada baris ketujuhbelas terdapat kata seru amboi. Kata seru ini lebih menyaran pada adanya perasaan heran pada subjek yang mengucapkannya. Dan keheranan itu terjadi karena adanya sesuatu yang saling bertentangan atau berlawanan. Kalau kita mau menengok pada sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh Di Pulau misalnya, di sana disebutkan: Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!/Perahu yang bersama âkan merapuh!/Mengapa ajal memangggil dulu/Sebelum sempat berpeluk cintaku?! Si aku lirik pada sajak Chairil Anwar tersebut merasa heran karena apa yang sudah diusahakannya selama ini ternyata sia-sia. Contoh lain adalah sajak Toeti Heraty yang berjudul Impasse: kedua bayangan dalam gelap kamar/amboi, tak âkan sampai pada pertemuan. Sekali lagi, pada petikan sajak tersebut kata seru amboi digunakan untuk menunjukkan keheranan atas sesuatu yang saling bertentangan; dua bayangan dalam kamar, dalam satu ruang, mengapa tidak terjadi pertemuan?

Ya, si aku lirik pada sajak Rendra ini juga merasa heran. Sebab apa yang terjadi selanjutnya pada si bayi berlawanan dengan apa yang telah dilakukan, yaitu membiarkan janin itu menjadi bayi dan kemudian membunuhnya! Kalau ingin membunuhnya, kenapa tidak dilakukan sejak awal, sejak bayi itu masih berupa daging yang belum bernyawa?!

Bisa dikatakan bait kedua pada sajak berjudul Bayi Di Dasar Kali di atas merupakan inti yang hendak diungkap dari sajak tersebut. Setelah pada bait pertama nuansa bunyi dihadirkan untuk menghidupkan suasana gaib, bait kedua mencoba menghidupkan amarah si bayi yang menjelma dalam diri si aku lirik dalam sajak tersebut. Si mati itu telah menghampiri si aku lirik lewat angin dingin tak berbadan.

Bait ketiga bisa dikatakan sebagai bait penutup. Dalam bait ini si aku lirik kembali pada posisinya sebagai subjek yang mengamati keberadaan si bayi di dasar sungai. Sebelumnya perlu disampaikan juga permasalahan waktu dalam sajak ini. Jika diperhatikan pada baris kesepuluh terdapat kata mentari yang dapat digunakan sebagai kata penunjuk waktu, yaitu siang hari. Dan fenomena yang dihadirkan dalam sajak ini, selain nuansa bunyi, juga menghadirkan nuansa indra penglihatan. Frasa seperti menikam mentari dan menatap saja, dapat dijadikan sebagai acuan bahwa si aku lirik tengah menyaksikan si bayi dalam keadaan yang terang benderang di mana mata sangat mungkin untuk melihat ke kedalaman air yang bening.

Mengapa waktu perlu disebutkan karena dapat menunjukkan sisi ironis keberadaan si bayi di dasar sungai. Bagaimana tidak, di siang hari yang benderang di mana sebagian besar manusia menjalankan aktifitasnya, bergaul atau pun bercengkrama dengan manusia lain, justru di belahan lain yang sunyi, yang tak terjangkau kehidupan, sesosok bayi ditinggalkan sendirian!

Baris pertama bait ketiga atau baris kedelapanbelas Air sungai maha dingin merujuk pada lingkungan yang mengelilingi si bayi. Pada hari yang terang di bawah sinar mentari yang cemerlang ini ternyata suhu air sungai disebutkan dengan frasa maha dingin. Frasa ini memiliki pengertian dingin yang tiada terkira. Bagaimana bisa dunia yang sedang hangat pada siang hari Air sungai maha dingin? Bukankah suhu dipermukaan bumi mestinya menyebabkan Air sungai cenderung terasa segar ketimbang maha dingin?

Hal itu mungkin terjadi karena kata sifat dingin pada baris ini tidak hanya merujuk pada suhu tertentu dalam ruang. Kata dingin pada baris ini memiliki asosiasi yang lebih luas seperti misalnya pada frasa âtatapan matanya dinginâ atau âpembunuh berdarah dinginâ. Dengan kata lain, Air sungai itu tidak peduli apakah yang dilalui dan direndamnya merupakan tubuh bayi mungil yang tidak berdaya atau pun batu-batu kali yang tak berjiwa. Bagi Air sungai keberadaan si bayi sama seperti objek lain yang mesti mengikuti hukum alam jika sebuah benda bermassa jenis lebih besar dimasukkan ke dalam air: tenggelam.

Baris selanjutnya mencucinya sepanjang hari menambah kesan yang kuat tentang lingkungan di mana si bayi berada. Pada baris ini terdapat kata kerja mencuci yang merupakan aktifitas yang dilakukan oleh Air sungai terhadap tubuh si bayi. Penggunaan kata mencuci yang merujuk pada pengertian membersihkan menunjukkan betapa aliran Air sungai menggerus tubuh si bayi. Aliran air itu perlahan-lahan membersihkan atau mengelupasi daging-daging pada tubuh si bayi. Dengan daya geraknya, dia bawa serpihan-serpihan kecil daging dan kulit bersamanya. Mungkin tidak tampak daging dan kulit itu terkelupas karena intensitasnya sangat renik. Akan tetapi proses ini berlangsung sepanjang hari. Bisa dipastikan tubuh yang mengalami proses pembusukan lambat laun akan rusak dan hancur! Itulah yang terjadi pada baris kedelapanbelas dan kesembilanbelas.

Baris selanjutnya matanya menatap saja dan tiada berujung juga merujuk pada keadaan si bayi di tengah-tengah air yang melingkupinya. Di tengah lingkup itu si bayi digambarkan hidup dengan penggunaan kata kerja aktif menatap. Tapi secara keseluruhan hanya itu satu-satunya aktifitas yang dilakukan oleh si bayi. Si bayi tidak lagi merengek atau pun menangis. Si bayi tak kuasa pula menendang-nendang. Si bayi hanya dapat menatap saja, itu pan tanpa sanggup berkedip atau pun terpejam sekiranya dia lelah dan mengantuk. Sebab semua hal yang mungkin dilakukan oleh bayi bernyawa sudah di luar dayanya. Hal itu nampak pada frasa tiada berujung saja.

Frasa tiada berujung saja menunjukkan bahwa mata si bayi selain tak dapat berkedip dan tak dapat terpejam juga menyiratkan kehampaan, bahwa di balik mata itu sudah tidak ada apa-apa lagi. Jika dikatakan bahwa mata adalah jendela hati, maka di balik tatapan si bayi itu sudah tidak ada dunia lagi. Nyawa yang menghidupnya kini tak berbadan, kesepian, dan menuntut dendam.

Tubuh yang sudah ditinggalkan itu perlahan-lahan mengalami proses pembusukan. Hal itu nampak pada baris keduapuluh satu tubuhnya kian putih dan kerikil masuk ke dagingnya. Frasa tubuhnya kian putih menunjukkan ada proses alamiah yang tengah berlangsung. Daging yang berwarna merah karena diselimuti darah, juga warna kulit yang yang lebih gelap karena ada aliran darah di baliknya, kini lenyap dan menjadi kian putih. Penggunaan kata kian ini menunjukkan adanya penekanan warna putih yang lebih dari sekedar putih. Putihnya daging yang membusuk dan rapuh, mudah sekali hancur.

Pengertian ini menjadi mengena dengan frasa kerikil masuk ke dagingnya. Di sini dapat dilihat bagaimana benda yang asing dan keras masuk ke dalam dagingnya karena mendapat dorongan aliran air. Dan tubuh bayi itu tidak dapat mengelakkannya. Dia tidak dapat menggoyangkan punggungnya untuk menolak kerikil yang melukai dagingnya. Dia hanya menatap saja. Jika frasa menatap saja dihubungkan dengan frasa kerikil masuk dagingnya, akan hadir kesan bahwa si bayi hanya dapat menatap saja tubuhnya perlahan-lahan dirusak oleh kekuatan dari luar. Bagi penulis ini menjadi pemandangan yang mengerikan: menyaksikan tubuh sendiri perlahan-lahan hancur tanpa mampu berbuat apa-apa!

Dan sajak ini diakhiri dengan Adalah nyanyi, adalah rintih pada nyanyi sebagaimana ditulis pada baris pertama sajak ini. Baris terkahir ini dengan baris pertama merupakan simpul yang mengikat kisah si bayi. Jika pada awal ada usaha untuk menghidupkan si bayi, pada bagian akhir ini dapat disaksikan sosok tubuh si bayi perlahan-lahan lenyap. Atau dari tiada menjadi ada dan kembali pada ketiadaan. Pada akhirnya semua kembali pada Yang Menciptakan Pertama Kali.

Demikian pembahasan singkat tentang sajak WS Rendra yang berjudul Bayi Di Dasar Kali. Pembahasan ini merupakan pengalaman yang penulis dapat selama melakukan pembacaan terhadap sajak yang dimaksud. Sangat mungkin apa yang dibahas jauh dari apa yang hendak disampaikan oleh penyairnya. Paling tidak bagi penulis tulisan ini dapat menjadi pegangan untuk menikmati sajak yang dimaksud. Dan sampai saat ini, setiapà kali membaca sajak ini, penulis tetap merasa ada sesuatu yang âtidak tidurâ dalam sajak itu mesti si bayi sudah dibaringkan.

Tags

About The Author

Chandra Krisnawan 24
Novice

Chandra Krisnawan

Buruh logistik yang tinggal di surabaya
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel