perpisahan di ujung senja

6 Jun 2016 08:17 7568 Hits 0 Comments
perpisahan yang menyakitkan ialah kematian, tapi jika tak bangkit dari kesedihan tak akan pernah mengenal lagi arti bahagia dan senyuman.

Jarum penjelajah waktu telah berhasil menyusuri angka-angka yang hanya tersedia hingga angka 12, dengan mahir tanpa tersesat. Perjalanannya mengelilingi waktu tak pernah terlewatkan sedetikpun. Aku memandangi jarum itu, keadannya terlihat santai tapi dapat menusuk setiap pikiran yang kalut. “Oh masa, dapatkah kau berhenti sejenak dan membekukan buana ini dua jam saja? Mampukah kau melakukannya? Aku mohon!” Irama khasnya masih hadir “tik... tik... tik...” nadanya dapat dirasa oleh gendang telinga nada itu selalu memecah kesunyian malam. “Aku tahu jawabanmu, kamu tak akan mengabulkan permintaanku. Seberapa kali pun aku membunuhmu dan mengambil nyawamu agar kamu menghentikan semua ini, kamu tetap tak mengabulkan keinginanku”. Ia mentulikan dirinya, sepatah pun tak dicerna olehnya. Ia tetap menjalankan tugasnya menjelajahi kesaksian siang dan malam. Jarum detik telah menghijrahkan 11 menjadi 12. Tepatnya ini tengah malam, tapi kantuk belum berhasil menggoda mata yang sembab. Keadaan hati yang masih mencerna kata perpisahan, menjadi ending dari perkenalan tak terencana 3 tahun lalu. Keputusannya sungguh bulat, keras sekaras batu dan tajam setajam pedang. Tak bisa diluluhkan dan tak bisa ditumpulkan. Perlahan-lahan mata mulai menyusuri foto yang tergantung di dinding, ia menatapnya dengan nanar, berusaha memalingkan tapi terasa berat. Senyumannya masih merekah, terlihat bahagia tapi kenyataan telah berubah. Sekonyong-konyong tatapan itu mulai lelah dan menutup kedua retina berwarna coklat.

Rona khas milik sang raja siang telah mengubah gelapnya malam, ia menyapa pagi dengan kehangatan. Kehadirannya berusaha menghapus kejadian buruk dan kenangan yang melekat pada ingatan. Wanita itu berusaha melupakan kejadian yang tak ingin merusak hari indah penuh cahaya dan penuh warna. Keadaannya masih risau tapi ia tak mau dijebak oleh hati sendu. Tak ingin merusak hari minggu penuh warna, ia mengeluarkan sepeda dan mulai berkeliling sekitar komplek. Tepat di sebuah taman, ia menyimpan sepedanya dan beristirahat di sebuah bangku. Pikiran kembali menyelami adegan menyakitkan, membuat mata kembali memproduksi kristal. Ia tak ingin kembali ke dalam kondisi kalut, ia berusaha berdiri tapi kakinya mulai gontai lalu terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh. Sekonyong-konyong datang seorang pria mengulurkan tangannya.

“Bangunlah!”

Wanita itu menghiraukannya, bahkan tak ingin melirik paras pria yang menolongnya.

“Ayo bangunlah, kamu tak boleh begitu. Kakimu harus kuat. Tenangkan pikiranmu, sabarkan hatimu, ikhlaskan dan relakan apa yang terjadi”

Kening wanita itu mulai berkerut, ucapannya jelas sesuai dengan yang dirasakannya tapi sedikitpun ia tak bangkit dari posisinya.

“Bangunlah, ayo bangun perlukah aku mengubah posisimu dan menegakkan tubuhmu? Atau kamu hanya sedang menunggu kehadiran seseorang untuk kembali dalam kehidupanmu?”

Wanita itu mulai kaget dengan ucapan si pria. Ditengadahkan kepalanya.

“Kamu siapa? Mengapa kamu seperti tahu benar tentangku? Aku sepertinya pernah melihatmu, kenalkah kamu kepadaku?”

Pria itu tersenyum manis. Manis sekali. “Aku bukan siapa-siapa. Tentu kamu mengenalku begitupun sebaliknya. Kamu hanya lupa karena aku sengaja membuatmu lupa. Aku tak mengharapkan kamu mengingatku justru aku senang jika kamu melupakanku. Esok adalah hari yang tepat dimana aku akan memperkenalkanku kepadamu supaya kamu mengingatku dan bisa melupakanku di waktu yang sedikit berbeda.”

“Aku tak mengerti dengan perkatannmu. Sungguh. Mengapa harus esok? Bisakah kamu memperkenalkanmu sekarang?”

Pria itu kembali tersenyum. “Aku tak memintamu untuk mengerti. Aku hanya memintamu menuruti kemauanku”

“Aku tak mengenalimu, jika kamu tak memberi penjelasan apapun kepadaku aku tak akan pernah menemuimu”

“Bagaimana jika kamu menemuiku senja ini? Di sini tepat pukul 17.00”

“Kamu belum menjelaskan apapun kepadaku. Jelaskanlah terlebih dahulu dan aku akan menuruti kemauanmu”

“Jika aku menjelaskannya sekarang, untuk apa pertemuan senja direncanakan? Datanglah, dan aku akan menjelaskan semuanya”

Waktu terus bergulir, jarum itu terus berlayar dari satu angka ke angka lain. Aku menunggu angka 4, 20 menit lagi ia akan menepi diangka 4, terasa lama tapi membuat batin bahagia. “Siapakah gerangan yang mampu menggetarkan kembali gelmbang cinta dalam jiwa?” benaknya. Jarum telah menepi diangka 4, ia bersiap-siap pergi ke taman.

“Mengapa jantung ini seperti akan mengikuti kompetesi? Ohh 5 menit lagi menuju jam 5. Tapi mengapa ia belum terlihat?”. 15 menit telah berlalu, pria itu belum juga hadir di hadapannya.

“Pria penipu, pembohong dan inkar janji!” batinnya dengan nada kecewa.

Posisi duduknya berubah menjadi berdiri, berniat meninggalkankan tempat yang mulai sepi.

“Kamu tak mau menungguku?” suara yang mampu menggugurkan niatnya.

“Kamu telat, aku menunggu lama di sini”

“Aku hadir lebih awal darimu. Apakah kamu tak melihatku?”

“Aku sendiri dari tadi, kamu jangan banyak beralibi. Ayo kenalkan dirimu dan jelaskan semuanya”

“Sabar. Semua itu ada aturan mainnya. Sekarang aku ingin memberikanmu sebuah hadiah. Hadiah yang banyak dijual dan diproduksi” pria itu mengambil sesuatu dari sakunya dan menyodorkan sebuah benda berbentuk kotak dan berukuran kecil yang terbungkus kertas bermotif bunga. “Ini untukmu, bukalah”

Tapi...

“Bukalah, aku hanya memintamu untuk membuka kado itu”

“Baiklah aku akan membukanya”. Dengan lembut, ia membuka kertas itu. “Jam tangan? Oh aku menyukainya. Terima kasih untuk hadiahnya. Sekarang mari mulai ke tujuanmu”

Pria itu mengambil jam tangan yang telah diberikannya

“Mengapa kamu mengambilnya? Bukankah itu untukku?”

“Benar. Ini memang untukmu bahkan ini milikmu. Tapi, aku merebutnya darimu.”

“Mengapa?”

“Aku akan menjawabnya”

“Praaakkk!” dibantingkannya jam tangan itu sekuat tenaga. Berceceran dan meninggalkan kilapan pecahan kaca yang bertebaran di tanah.

“Aku sungguh tak mengerti akal pikirmu.”

“Donita, jam tangan ini adalah waktu yang mampu merekam semua perkenalan dan perpisahan kita. Kamu akan menunggu setiap waktu yang menjadi narasi penting yang melibatkan batin, seperti saat akan menemuiku di taman ini. Bukankah kamu pernah meminta waktu berhenti sejenak dan membekukan dunia dalam dua jam saja? Untuk apa? Bukankah alasannya kamu tak ingin mengenal bagian perpisahan dan ending yang menyakitkan? Semua orang mengalaminya, dan tak adil jika kamu tak merasakannya. Sekarang jam ini sudah aku berhentikan. Bahkan mati dan tak akan bisa diperbaiki.”

Pria itu membelakangi wanita dan mulai melangkahkan kakinya.

“Berhenti! Aku tak mengerti alur ceritamu. Bahkan aku tak paham mengapa kamu bisa mengetahui semua tentangku?”

Pria itu kembali membalikan badannya “Aku sudah bilang, aku tak memintamu untuk mengerti”

“Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?”

“Tidak! Walaupun iya kamu tak akan mengerti!”

“Mengapa kamu tak memberikan penjelasaan supaya aku mengerti?”

Pria itu menundukan kepalanya sebentar lalu mengangkatnya kembali. “Baiklah aku akan menjelaskan semuanya”

“Donita... ini aku orang yang selama ini hadir dalam hidupmu. Perkenalan kita telah mengubah kondisi batin, merajut cinta dan melahirkan asa yang berencana dibangun di negeri tetangga, tapi aku tak bisa mengabulkan angan itu. Waktu telah berhasil menjemputku terlebih dahulu. Maafkan aku. Aku kembali bukan untuk mengusik kehidupanmu. Aku sedih harus melihat sendu yang kau rasa dan harus mengutuk waktu untuk menghapus bagian yang telah berlalu.”

“Bagas... itukah kau”. Wanita itu berlari menghampirinya lalu memeluknya. Kemudian dilepaskannyalah pelukan itu. Sekarang, tangannya itu kini membelai wajahnya dengan tatapan nanar “Bagas, pipimu tak lagi hangat. Tanganmu yang selalu memberikan pelukan hangat juga telah hilang.”

“Donita. Jangan menangis.”

“Aku tak menangis Bagas. Aku minta maaf karena ulahku kamu harus kembali untuk menenangkanku. Pergilah. Temui aku dalam setiap mimpi yang aku sajikan di setiap malam yang sunyi”.

“Kamu masih saja berbohong. Jelas-jelas matamu berlinang air mata” Melihat Donita menangis, ia pun ikut menangis karena harus berpisah dengannya. “Donita, aku tak akan kembali ke dalam kehidupanmu. Aku hanya akan mengunjungi mimpimu jika rindu ini sudah benar-benar sekeras batu. Donita, lupakan aku dari hatimu tapi simpan aku dalam memorimu. Jaga jiwa ragamu, atur pola tidurmu dan hadirkan kembali senyumanmu seperti sedia kala”.

Kemudian, Bagas berjalan mundur menjauhi Donita dengan tangis yang belum berhenti. Tangannya melambai ke arah Donita. Semakin jauh bayangannya semakin pudar dan akhirnya hilang. Lembayung yang menghiasi senja menjadi penutup perjumpaan hari ini. Riuh angin telah menerbangkan Bagas kembali ke tempatnya.

Selamat jalan Bagas. Tenanglah di sana dan kunjungi aku dalam mimpi-mimpi untuk melepas rindu yang menggebu di hati.

Tags

About The Author

Karomah 20
Novice

Karomah

Seorang mahasiswa S1 jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Karomah