+++ (Positif Plus Plus): Jalan Lain Menuju Kemana-mana

9 Jan 2016 12:23 3747 Hits 4 Comments
Konversi Persepsi

Berpikir positif sudah saya terapkan dalam keseharian. Namun pada kenyataannya godaan hidup itu keras, karena kalau tidak keras berarti tidak "hidup". Oleh sebab itu, saya merasa harus berpikir positif lebih keras lagi. Saya menyebutnya Positif ditambah Plus (+ + +).

Suatu hari, dalam perjalan pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda motor, saya digoda hujan gerimis. Jalan yang licin tidak membuat saya menurunkan kecepatan, tapi malah sebaliknya.

Ketika menaiki sebuah tanjakan yang cukup tinggi, hujan turun semakin deras, saya semakin memacu lari kuda besi yang saya tunggangi agar secepatnya sampai ke rumah.

Tikungan tajam dan menurun setelah tanjakan tersebut ditambah hujan deras menghalangi jarak pandang saya ketika mendadak 10 meter di depan saya ada kawanan kambing yang sedang menyeberang jalan, serta merta saya mengurangi kecepatan.

Sialnya, kambing paling belakang tiba-tiba mogok di tengah jalan meski sudah saya dim dan klakson dari jauh berkali-kali (entah sejak kapan kambing ngerti dim dan klakson). 

Karena sudah tidak bisa menghindarinya lagi, saya meremas rem depan dan belakang kuat-kuat, kuda besi saya hilang kendali dan kami berdua mencium aspal beberapa centi dari kambing tersebut.

Tiba-tiba seseorang dari seberang jalan meneriaki saya, suaranya tenggelam di antara gemuruh hujan, namun satu kata yang saya dengar cukup jelas adalah satu kata terakhir yang mengiringi kepergian saya, G*BL*K! Begitu yang saya dengar. Kata itu terus terngiang di telinga saya sepanjang perjalanan pulang.

Saya tidak habis pikir apa yang menyebabkan orang tersebut memaki saya demikian. Bisa jadi dia adalah penggembala kambing-kambing tersebut, mungkin dia khawatir saya menabrak kambingnya, padahal kambingnya baik-baik saja.

Sesampainya di rumah saya melepas semua pakaian kemudian memasuki kamar mandi. Di bawah siraman shower, pikiran saya akhirnya menjadi jernih, meski tubuh saya dan tubuh kuda besi saya lecet, untungnya kambing tersebut tidak apa-apa, untungnya saya masih hidup, untungnya jalanan sedang sepi, untungnya aspal yang kami cium terasa dingin, dan daftar panjang keuntungan lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Jangan-jangan dia memaki kambingnya...

Terakhir, saya berasumsi bahwa saya salah mendengar kata terakhir yang diteriakkan orang tersebut, mungkin dia berkata God Luck... itu berarti dia mendo'akan keselamatan saya, mungkin dia berkata Go-Blog... itu berarti dia menyarankan saya untuk belajar dan latihan menulis sesuatu di blog.

Saya harus berterimakasih kepada orang itu.

Pengalaman baru yang masih segar dalam ingatan saya adalah ketika liburan akhir tahun 2015 silam.

Makna liburan selama menganggur itu menurut saya adalah meninggalkan kursi malas, meninggalkan kasur empuk, meninggalkan hobi saya yang sangat menyenangkan yaitu bermalas-malasan dan menulis di Plimbi. Mengalami liburan selama menganggur memberikan tekanan batin tersendiri bagi saya.

Destinasi liburan saya di akhir 2015 adalah sebuah kota hasil pemekaran dari Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah, Puruk Cahu.

Berdasarkan Google Map, jarak antara Kotabaru (kota tempat saya bermalas-malasan) dan Puruk Cahu adalah 567 km.

Kotabaru-banjarmasin

Namun pada kenyataannya, perjalanan saya kali ini lebih jauh dari jarak tersebut. Karena alasan tertentu, saya harus melakukan dua kali transit, ke Banjarmasin dan Buntok, sehingga rute perjalanan menjadi lebih jauh, Kotabaru-Banjarmasin berjarak 308 km, Banjarmasin-Buntok 311 km, dan Buntok-Puruk Cahu 244 km, totalnya adalah 863 km.

Meningkatnya arus penumpang menjelang Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 menyebabkan saya kesulitan mendapatkan tiket penerbangan maupun perjalanan darat.

Alasannya jelas, saya baru berencana memesan tiket tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan. Untungnya ada salah satu agen bus mini tujuan Banjarmasin yang menyisakan kursi paling belakang dan untungnya lagi tepat di samping jendela.

+++ (Positif Plus Plus): Jalan Lain Menuju Roma

Tubuh langsing dan minimalis saya dengan mudah memasuki bus mini tersebut tanpa hambatan pada jam keberangkatan di terminal. Saya langsung mengisi tempat duduk di samping jendela.

Belum lama saya menikmati kursi empuk saya, dua orang ibu-ibu menghampiri deretan kursi paling belakang, ibu-ibu yang menggendong anaknya langsung duduk di samping jendela dan ibu-ibu yang satunya kemudian menegur saya, "Dek, tukeran tempat duduk, donk, saya gak kuat duduk di belakang kecuali dekat jendela..."

Saya terharu mendengarnya, saya pikir mestinya saya juga mengatakan kalimat yang sama, siapa tahu ibu-ibu itu terharu juga, sehingga kami sama-sama terharu selama perjalanan.

Akhirnya saya duduk di tengah, diapit oleh dua orang ibu-ibu dan bus mini pun melaju.

Setelah menempuh 40 km menuju Tanjung Serdang, kami sampai di pelabuhan ferry penyebrangan Kotabaru-Batulicin. Di sana kami mendapat penumpang baru, seorang ibu-ibu lagi. Saya kira muatan kami sudah penuh, ternyata supir bersikeras bahwa bangku paling belakang seharusnya diisi empat orang.

Saya terharu...

Tubuh langsing dan minimalis saya dengan mudah dihimpit oleh mereka bertiga dan yang pasti 268 km sisa perjalanan akan saya lalui dengan punggung tegak karena tidak kebagian tempat untuk bersandar.

Untungnya saya terbiasa duduk manis, untungnya saya terbiasa tersenyum, untungnya ibu-ibu samping kiri dan kanan saya pakai minyak wangi, untungnya mereka ramah kepada saya, dan daftar panjang keuntungan lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Sesampainya di Banjarmasin, tujuan saya selanjutnya adalah Buntok, salah satu kota yang terdapat di Kalimantan Tengah, kira-kira 311 km dari Banjarmasin.

+++ (Positif Plus Plus)

Saya buru-buru menyelesaikan urusan saya di Banjarmasin karena hari sudah menjelang sore.

Lagi-lagi padatnya arus pemudik membuat saya kesulitan mendapatkan tiket perjalanan. Untungnya ada banyak calo di terminal yang prihatin terhadap nasib saya. Dengan bermodal sepuluh ribu rupiah untuk ojek dan sepuluh ribu rupiah lagi untuk ongkos calo, ojek tersebut membawa saya ke tempat mangkal agen travel di luar terminal dengan mobil Avanza yang siap berangkat menuju Buntok.

Kami meninggalkan Banjarmasin ketika senja. Penumpang di samping saya lagi-lagi dua orang ibu-ibu yang masing-masing membawa dua orang anak, itu berarti tiga kursi harus diisi tujuh orang.

Saya terharu...

Saya mengerti, dari cara berpakaian, cara berdandan, cara berbicara, dan aroma parfum mereka, mereka tergolong orang susah sama seperti saya, menghemat ongkos perjalanan.

Entah karena simpati, tidak tega, ataupun karena motif tertentu yang masih terselubung, saya memberanikan diri menawarkan paha saya sebagai tempat duduk salah satu anak mereka.

Entah karena prihatin dengan kesulitan saya, ibu tersebut dengan lapang dada menyerahkan satu orang anaknya yang berumur kira-kira empat tahun untuk duduk di pangkuan saya.

Perjalanan pun berlangsung dengan khidmat.

Untungnya, anak yang saya gendong tidak rewel dan dia hanya tidur selama perjalanan, kami berhenti dua kali di jalan untuk beristirahat dan makan. Ketika penumpang lain menikmati makanan hangat, dua ibu-ibu dengan masing-masing dua anaknya yang duduk di samping saya tidak ikut masuk ke rumah makan.

Saya sempat terpikir untuk mentraktir mereka, namun setelah meraba isi dompet saya, saya khawatir tidak cukup untuk kami bertujuh. Jadi, saya punya dua pilihan, makan semua atau tidak makan semua.

Menjelang pagi, saya dapati kaki saya kram dan kesemutan serta perut keroncongan. Saya menggaruk kepala saya karena saat kami berpisah saya tidak mendengar basa-basi terimakasih dari ibu-ibu tersebut, jangan-jangan saya tidak ikhlas.

Padahal ucapan terimakasih dari beliau tidak akan menambah amal kebaikan saya dan tidak menambah isi dompet saya. Saya berkesimpulan bahwa ucapan terimakasih dari orang yang saya ringankan bebannya itu tidak penting dan tidak perlu untuk saya apalagi dari orang yang tidak jelas apakah saya ringankan bebannya atau tidak.

Saya teringat ketika memungut seekor anak kucing yang kurus, dekil, kelaparan, kedinginan, dan tampaknya yatim piatu.

Saya menggendongnya setiap hari, memberinya makan sampai gemuk, memandikannya secara teratur, bahkan sering sharing tempat tidur, kadang-kadang anak kucing itu duduk di pangkuan saya satu malam penuh menemani begadang di depan komputer.

Saat dia sudah besar dan acuh tak acuh kepada saya apalagi tidak pernah satu kali pun mengucapkan terimakasih, saya tidak pernah mempermasalahkannya, saya tetap tersenyum saat melihatnya berlari dan berlompatan di pekarangan.

Kalau dengan seekor kucing saya mampu begitu, seharusnya dengan sesama manusia saya bisa lebih baik lagi, lebih ikhlas lagi. Seharusnya saya yang mengucapkan terimakasih kepada ibu-ibu yang menemani saya sepanjang perjalanan menuju Buntok.

Setelah selesai dengan urusan di Buntok, siang itu saya mencari angkutan umum ke Puruk Cahu di terminal.

Mobil Avanza yang membawa saya menempuh jarak 244 km ke Puruk Cahu meluncur tepat tengah hari setelah makan siang. Kali ini semua penumpang mendapatkan kursinya masing-masing. Saya, seperti biasa, duduk di dekat jendela, mungkin karena saya pengguna Sistem Operasi berbasis Windows, entah.

Baru setengah jam perjalanan, penumpang di samping saya, cewek yang kira-kira seumuran saya mengeluhkan AC mobil kami. Dia meminta agar supir mematikannya karena khawatir akan mabuk darat, alhasil kaca jendela diturunkan.

Setelah menempuh setengah perjalanan yang berliku dan agak gerah, cewek di samping saya terlihat pucat dan berkeringat, dia hanya memejamkan mata dan bersandar di kursinya. Saya ikut prihatin, namun tidak tahu bagaimana bisa membantunya.

Tiba-tiba tangannya mulai meraba-raba kesana-kemari dengan mata masih terpejam, saya sempat cemas... Ternyata dia sedang mencari kantung plastik a.k.a kresek.

Dan...

Sebelum kresek itu terbuka dengan sempurna, isi perutnya sudah keluar duluan, berhamburan di lantai dan tragisnya bertebaran di kaki dan celana saya.

Namun itu baru serangan yang pertama, saat supir kami sedang mencari tempat perhentian yang ideal, serangan kedua menyusul. Kali ini tidak ada kresek, cewek itu langsung melongokkan kepala ke jendela di samping saya dan menyerang dengan membabi-buta.

Tanpa merasa bersalah telah menekan paha saya dengan lututnya dan menekan pipi saya dengan pantatnya, dia kembali ke tempat duduknya dan meminta supir segera menghentikan mobil secepatnya.

Begitu turun ke jalan, dia langsung melanjutkan prosesinya.

Saya terharu, rumput-rumput di TKP terharu, celana dan sendal saya terharu...

Untungnya perjalanan kami tinggal separuhnya, untungnya dia tidak muntah di baju atau muka saya, untungnya kaca jendela sedang dibuka, untungnya pewangi mobil bekerja dengan baik, dan daftar panjang keuntungan lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Ketika beberapa jam kemudian saya sudah sampai di tempat tujuan, saya tidak mendengar ucapan permintaan maaf dari cewek di sebelah saya.

Saya sadari ucapan maafnya tidak akan merubah apa-apa, mobil tetap ternoda, rumput tetap ternoda, sendal dan celana saya tetap ternoda. Meski saya merasa dinodai, namun saya harus ikhlas. Itu adalah resiko perjalanan.

Sampai sejauh ini, saya merasa bahagia menjadi manusia yang selalu beruntung.

863 kilometer saya menjadi lebih semarak, berwarna, dan beraroma...

Terimakasih saya ucapkan setulus-tulusnya kepada semua orang yang berpartisipasi dalam perjalanan saya.

Tags

About The Author

Tuhuk Ma'arit 52
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel