Cerita Sore

16 Aug 2015 18:23 2178 Hits 0 Comments
cerita renungan tentang pendidikan dinegeri ini.

Pict by Google

“kriiiiiiing” suara bell melengking keras. Dengan terpaksa pak rahmat harus menyudahi pelajaran kepada muridnya.  Dia mengemasi buku-buku yang selalu dibawa ke kelasnya untuk selalu memotivasi para anak didiknya. Stelah itu lelaki berusia kepala tiga itu beranjak pergi meninggalkan murid-muridnya yang masih terlihat malas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Saat turun dan melewati ruang guru, sekilas terpikir dalam benaknya untuk singgah dan menikmati beberapa hidangan untuk guru. Namun dia teringat istrinya yang hamil 6 bulan sedang sendirian menunggu kehadiranya dirumah. Maka dengan hati yang mantab dia memenuhi pangilan cinta dari istrinya.

               

“Pak rahmat.. silahkan makan dulu” seru pak salam, tukang kebun di madrasah tempat dia mengajar

                “Tidak, pak… istri saya nungguin dirumah” jawabnya santai sambil melangkah keluar gerbang.

                “loh. Sepeda motornya koq ga dibawa pak?”

                “lagi di bengkel pak”

                “jadi pak rahmat mau naik angkot?”

                “sepertinya sih demikian”

                “oooh.. yasudah hati-hati pak. Dipertigaan ujung sana lagi ada demo. Kayaknya, angkot yang menuju rumah bapak bakal lama”

                “Baik, terima kasih pak..”

               

Akhirnya tiba juga pak rahmat disebuah halte kecil tempat angkutanya lewat. Tak ada seorangpun yang menunggu angkutan di Halte itu selain pak rahmat. Beberapa orang lalu lalang sedikit meramaikan pemandangan di sekitar halte itu.

Di zaman yang serba menggunakan tenaga motorik ini, hampir semua keperluan hidup ditunjang dengan mesin. Meski setiap zaman memiliki zaman emas nya masing-masing namun dia tidak merasa bahwa zaman digital ini tak lebih hebat dari ratusan zaman dahulu. Jika pada 1 abad yang lalu syailendra mampu membuat candi borobudur yang sebesar itu, kenapa zaman sekarang tidak membuat sesuatu yang melebihi candi borobudur?. Bukan sok idealis. Namun pak rahmat merasa bahwa penurunan murid didiknya sangat drastis. Para siswa-siswi hampir tidak ada yang mengeluarkan ide-ide kreatif-nya. mereka membuang masa muda mereka dengan bermain hape, laptop, game dan ngerumpi yang tak jelas arahnya.

Hingga detik ini dia tidak menemukan jawaban dari persoalan ini. Bagaimana cara meningkatkan pendidikan pada muridnya. Sehingga apabila mereka telah keluar dari bangku sekolah, mereka bisa berguna bagi keluarga mereka terlebih bangsa mereka. Tak hanya menjadi manusia yang gemar bermalas-malasan dan terima jadi tanpa memahami arti dari sebuah proses.

Kemudian itu datanglah seorang anak kecil kumuh sambil membawa kotak kayu di pinggangnya. Anak kecil itu menghampiri pak rahmat yang sedang melamun mencari solusi yang baik untuk negara ini.

“Semir, pak?” tawaran bocah itu membuat pak rahmat terjaga dari lamunanya.

Sebenarnya sepatunya tak terlalu kotor toh dia juga mau pulang, ngapain juga disemir. Namun begitu melihat anak kecil kurus nan kumuh itu pak rahmat jadi tidak tega melihat kemiskinan bocah itu. Kemiskinan Negara yang kaya ini.

“boleh dek” lalu pak rahmat menyolonjorkan kakinya untuk mempermudah bocah kecil itu melakukan tugasnya. Dengan cekatan bocah itu mengeluarkan peralatanya lalu menaikan sebelah kaki pak rahmat diatas kotak kayu tempatnya menyimpan peralatan semirnya.

Setelah bebebrapa saat saling membisu, pak rahmat pun mulai membuka percakapan dengan bocah semir itu. Sekedar ingin tahu seberapa dalam wawasan seorang bocah penyemir sepatu.

 

“umur berapadek?”

“10 tahun, pak”

“loh, koq ga sekolah?”

“saya sekolah, pak”

“sekolah dimana?”

“dipasar, pak” jawabnya polos

Pak rahmat tersenyum mendengarnya “emang disana diajarin apa?”

Bocah itu masih meneruskan tugasya. Lalu pak rahmat menanyakan sekali lagi.

“saya disana belajar jujur, pak” sambil memamer giginya yang hilang satu.

 

Seketika itu pak rahmat meresapi apa yang dikatakan bocah penyemir itu. Kenyataan bahwa bobroknya negeri ini timbu akibat berbagai kebohongan yang dikeluarkan dari mulut cerdas. Dengan lincah menipu dengan muslihat yang tak kasat mata. Mulai dari korupsi milyaran, hingga anak SD yang menipu orang tuanya untuk membeli mainan.

Namun bocah kecil kumuh yang tak mengenyam pendidikan secara baik, yang berkerja menyemir ini membiasakan berkata jujur sebagai pelajaran yang wajib ia terapkan sehai-harinya. Dia tak perlu ijasah mentereng atau pangkat tinggi untuk bisa makan esok hari. Dia hanya berusaha jujur sepenuh hati untuk melayani pelangganya.

Sugguh bocah kecil yang berhati besar. Pak rahmat menatap bocah itu dengan penuh iba. Seandainya saja bocah ini mendapatkan pendidikan yang layak, dia berani menjamin bocah ini akan selalu mendapat ranking dikelasnya. Kerjanya yang cekatan dan tanpa ragu-ragu namun berhati-hati meunjukan bahwa sikapnya yang rajin dan tegas.

“maaf pak, kaki yang satunya” kembali pak rahmat disadarkan olehnya

“orang tua kamu kerja apa dek?”

Namun bocah itu malah menghentkan aktifitasnya sejenak lalu melanjutkan lagi sambil kepala lebih merunduk.

“katanya jujur..” pak rahmat menyindirnya

“ayah saya… dipenjara pak..” bocah itu berkata pelan. Ada rindu dalam nadanya.

Pak rahmat mengusap kepala bocah itu. Seakan-akan turut merasakan beban penderitaan bocah itu.

“ayah saya bunuh ibu karena melindungi saya”

Pak rahmat terjingkat kecil saat mendengar apa yang baru saja bocah itu utarakan. Dia tak menyangka bahwa bocah ini melihat ayah kandungnya membunuh ibunya didepan mata kepalanya sendiri. Tak henti-hentinya pak rahmat mengusap kepala bocah itu. Seakan-akan bocah itu adalah bayi yag sekarang masih dikandung oleh istrinya.

“yang sabar ya nak” pak rahmat berganti memanggilnya anak.

“saya bosan dengan sabar, pak”

Pak rahmat tak bisa berkomentar dari apa yang diucapkan bocah ini. Pastilah terlalu banyak orang yang menyuruhnya sabar namun tak bertindak apa-apa pada dirinya. Tak ada yang membantunya saat dia membutuhkan.

Sebuah klakson mengingatkan pak rahmat apa yang ditunggunya beberapa menit lalu. Pak rahmat memasukan selembar uang dua puluh ribuan kesaku celana bocah itu.

“terkadang saya berharap, saya tak pernah dilahirkan…” ucapnya datar lantas sumringah karna uang yang disakukan pak rahmat.

“motor suwun, pak” lalu berlari meninggalkan pak rahmat yang merunduk memasuki angkot yang lumayan penuh.

 

 

Jombang, 23-03-2011/ 23.33

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags

About The Author

Mas Haidar 36
Ordinary

Mas Haidar

u will See, if u want to know me.. so catch up on me
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel