Mengenal Idi Djuhana Pejuang Bandung Lautan Api

20 Mar 2018 11:38 1482 Hits 0 Comments
Sedih berjuang berdarah-darah namun kini malah banyak pejabat korup

Idi Djuhana tak pernah menyangka bisa menjadi bagian dari sejarah nasional Indonesia. Ia baru berusia 19 tahun kala ditugaskan untuk menjaga keamanan saat malam pembumihangusan Bandung pada 23 Maret 1946. Ia beserta keenam rekannya yang menjadi pasukan Dekking komandan diposkan di Stasiun Bandung.

Saat ditemui, Idi menerawang mengingat-ingat saat harus turut membakar kota kelahirannya malam itu. Meski telah renta, ingatannya masih sangat tajam. Idi mampu mengisahkan peristiwa yang dijalaninya dengan cukup detail.

Malam itu, Idi berjaga di dalam stasiun yang sepi dan hanya berbekal dua buah granat dan empat bom Molotov, tanpa senapan atau senjata lainnya. Ia berjaga jika sewaktu-waktu ada tentara Belanda datang mendekat. 

“Malam itu, ada ultimatum dari Belanda, katanya tentara yang di utara harus pindah ke selatan. Batasnya itu rel kereta api yang melintas dari timur ke barat,” kenangnya.

Menjelang tengah malam, ada suara dentuman yang sangat dahsyat. Langit bagian utara tampak memerah. 

“Kami waktu itu bingung harus berbuat apa. Tidak ada alat komunikasi, tidak ada komando. Akhirnya kami memutuskan untuk keluar dari stasiun dan memastikan ada apa,” terang Idi.

Dari stasiun, ia berjalan mengendap-endap ke arah bangunan yang kini dinamakan Gedung Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat. Ia menyusuri jalan hingga ke Jalan Cadas Pangeran. Kini, jalan itu dinamakan Jalan Oto Iskandar Dinata. 

Semula, ia mengaku sempat takut dan cemas. Terlebih lagi saat mengetahui bahwa granat yang dibawanya ternyata tidak berfungsi.

“Kami coba nyalakan granat. Kalau dulu (pemantiknya) seperti korek api, bukan kunci yang seperti sekarang. Kami nyalakan terus kami lempar, tapi sama sekali tidak terjadi apa-apa. Karena yang ada hanya itu, ya kami terus saja,” katanya. 

Ia dan timnya terus berjalan sampai Jalan Dalem Kaum dan Kepatihan.

“Di sana saya ketemu dengan pejuang lain yang berteriak ‘bakar… bakar…!” seru Idi mengingat kembali peristiwa itu.

 

Pria yang lahir 7 Maret 1928 itu lantas  melemparkan bom Molotov ke wilayah pertokoan di sana. Meskipun ia sempat ragu karena itu milik warga Bandung, tapi ia tetap melemparkan bom itu sesuai dengan perintah..

Setelah membakar di beberapa titik, ia lalu bergabung dengan pasukan yang lain di Tegalega. Di sana, ia berpisah dengan pasukannya untuk membantu para pengungsi di berbagai pos. 

“Saya bantu di bagian kesehatan juga, bantu yang dirawat itu, ngangkut-angkut,” ujarnya.

Tak hanya di peristiwa Bandung Lautan Api, Idi juga ditugaskan dalam misi-misi lainnya, seperti pemberantasan PKI, dan DI/TII. Ia sempat dibawa ke Blora untuk ikut berjuang bersama pasukan di Jawa Timur.

“Saat kami mendapat panggilan untuk kembali ke satuan masing-masing, kami pulang ke Bandung dengan berjalan kaki. Hanya dibekali beras satu liter dan garam satu gandu,” tutur Idi. 

Perjalanan yang ditempuhnya kala itu berlangsung selama 41 hari.

“Saya nggak ketemu keluarga saya selama lima tahun. Setelah saya bertugas, saya menengok orang tua yang harus pindah ke daerah Rancaekek,” katanya.

Mengenang peristiwa-peristiwa tersebut, ia mengaku cukup bahagia karena kini Kota Bandung telah tumbuh menjadi kota yang maju. Namun selaku pejuang kemerdekaan, ia selalu merasa sangat sedih ketika hari ini banyak kabar tentang para pejabat yang korupsi.

“Kami sudah susah-susah berjuang, sampai titik darah penghabisan. Banyak yang mati, yang berdarah-darah. Tapi sekarang itu korupsi. Sedih,” ucapnya.

Namun di balik itu, ia masih menaruh harapan pada generasi penerus untuk bisa melanjutkan perjuangannya. Idi berpesan kepada generasi muda untuk terus menjaga Pancasila.

“Jaga Pancasila. Karena kita seperti sekarang itu karena Pancasila. Dan lagi Undang Undang Dasar 1945. Itu, saya titip Pancasila,” tegasnya berulang-ulang. 

Kini, Idi yang berusia 91 tahun tinggal bersama istrinya di rumah sederhana di Gang Margalaksana No. 30/25 Kelurahan Tamansari, Kec. Bandung Wetan Kota Bandung. Sementara ketujuh anaknya telah berkeluarga dan tinggal terpisah dengannya.

 

 

Tags

About The Author

Buddy Wirawan 41
Ordinary

Buddy Wirawan

jurnalis, suka musik metal

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel