Karena Alam dan Kemanusiaan

15 Jul 2016 16:56 2821 Hits 2 Comments

Dengarlah, bercumbu itu seperti memasuki ruang yang penuh dengan keharuman, bisa aroma rumput yang basah seusai hujan, bisa aroma tanah yang berdebu karena kekeringan, bisa juga aroma daging dan darah yang sekarat karena haus dan lapar. Terus, sayang. Cumbui aku selagi bulan mabuk, selagi angin basah bawa rintik hujan, selagi kita masih bisa bercumbu. Sebab esok entah di mana lagi bisa kau kutemui.”

“Cinta itu memori, cinta itu lagu, cinta itu puisi. Cinta itu tak tergandakan, cinta itu memberi, cinta itu toleransi, cinta itu kamu dan aku.”

 

Sederet syair itu mengurai sebuah substansi pernghormatan atas nama ”Cinta” yang langka digemari dewasa kini. Pemberian anugerah tuhan alam dan menjanjikannya nahkoda hidup dan cinta sebagai pengendalinya. Hasrat yang enggan berontak dalam sepi dan sendiri sebagai penjara bagi pria sejati disaat mengharap rindu yang abadi.

Rindu. Sepatah kata ini sebagai aroma penyair laiknya pujangga yang tak kenal pilu, penyanjung cinta semu dan cinta abadi selalu didambanya. Lalu, kesemuanya terbantahkan dengan rangkaian kosa-kata sederhana yang terlontar dari perempuan si “kucing manis” dengan kesejatiannya itu.

“Aku tak ingin kamu mendengar bahwa aku mencintaimu, tapi aku ingin kamu merasakannya tanpa aku harus mengatakan”, ucapnya lembut .

Sontak pria sejati penyandang “nobel” kucing kurus menjadikan kesempurnaan sederet kalimat diatas. Ia pun mengatakannya dengan penuh kejujuran, “Hai gadis. Bukan wajahmu, bukan tubuhmu, bukan pula tingkahmu. Tapi hanya satu yang aku harapkan, hidup bersamamu”, katanya dengan tegas.

February menyampaikan kesan menakjubkan diiringi rintik hujan sebagai pemula diawal tahun 2016, tak sedikit yang enggan terlewatkan atas catatan bulan penghujan ini. Kisah di suatu Cafe L-ingkar-anyang sudah tak berpenghuni nan sepi, sepagi itu pukul 05.30 wib menjadi penawar mujarab disaat harapan “semu” dikesampingkan dengan harapan yang kian mengikat, yakni keabadian cinta.

 

 

Melemah dan merendah atas rasa dingin menggigil,

Berteriak hati seakan tak kuasa,

Bercengkrama dengan mata air tak berpihak,

Hanya berharap atas keajaiban Sang Pencipta,

Alam itulah harapanku,

Oh, Manusia muka bumi. Alam adalah kemauan bukan sekedar keharusan,

Bukan hanya untuk dirawat, dijaga dan dinikmati, melainkan lebih dari sumber kehidupan.

 

Dari deretan puisi diatas sebatas pengantar tulisan sederhana ini. Nama itu (alam) selalu ada dalam "sandi" hidupku, mudah untuk kita cari tapi susah untuk dideteksi orang. Karena aku yakin bahwa itu berkat dari kepercayaan dan kejujuran. Kesederhanaan ini bukan semata-mata ketidakberdayaan atau tak wajar, tapi justru ini bagian dari kesempurnaan hidup. Namun, semuanya akan bahagia dengan segala keterbatasan.

Hidup tak semudah apa yang dirumuskan dalam ide brilian tapi jauh dari pemkanaan hidup yang begitu rumit macam Mario Teguh ini. Maka bermainlah sampai kelar, jangan sesekali meninggalkan permainan yang belum kelar. Karena itu menandakan kalo kamu pecundang atas hidup yang menakdirkanmu terlahir.

Sesekali aku bergumam, “salahkah aku menggebu-gebu mencoba membangunkan makhluk unik itu?. Iya, karena alam itu adalah kemauan. Tentunya, hidup tak selalu sebanding dengan sebuah kemauan Cinta yang digemari banyak remaja masa kini dan kekinian katanya. Cinta hanya sebatas cara yang dimainkan dalam dinamika hidup seseorang, tak menutup kemungkinan dijumpainya kegagalan. Maka, saat orang mengalami kegagalan cinta, itu ibarat kata pepatah: "terkadang angin berhembus tak sesuai dengan keinginan nakhoda". Hidup lebih rumit dari apa yang disampaikan pepatah ini tentunya.

“Lalu aku akan bercerita tentang rintik hujan pertama di kotamu yang pekat penuh debu. Aku akan memilih dirimu untuk kucumbu di    dalam malam ketika bulan mabuk sempoyongan. Aku tak peduli dan aku sudah telanjang sambil melolong seperti serigala yang lapar. Tarng-taringku telah kuasah tajam gemercing seperti sinar bintang siap melahap dengus nafasmu yang kehausan.

Telah kulalui segala rintang, ranting-ranting penghalang telah kuhalau dalam ribuan perjalanan, demi untukmu, demi malam bersamamu. Maka rebahlah, Sayang. Sambil pelan-pelan kita melumpat kesepian yang diantarkan malam kepada bulan. Berjanjilah, berjanjilah kau akan menuruti kata-kataku. Seperti gerak bibirmu yang terus mengecup pinggangku yang luka karena pernah kau tancapkan sembilu yang paling halus dan kau lupa menariknya.

Angin malam yang dingin terus menggeser ranting dan daun mengeluarkan suara-suara merdu benam dalam kesepian yang hangat dan biru. Di dalam ruang kita saling mengikat tubuh, melengkung, melenguh, dan saling berlabuh. Mata untuk mata, hidung untuk hidung, bibir merayap kesegala arah membenturkan kenikmatan yang lembut di atas kulit yang mulai kerut dan rapuh. Lalu kau bertanya, apalah arti bercumbu?. Dan kujawab singkat sambil mengelus lembut rambutmu yang hitam pekat, sedikit terselinap merah pirang.

Dengarlah, bercumbu itu seperti memasuki ruang yang penuh dengan keharuman, bisa aroma rumput yang basah seusai hujan, bisa aroma tanah yang berdebu karena kekeringan, bisa juga aroma daging dan darah yang sekarat karena haus dan lapar. Terus, sayang. Cumbui aku selagi bulan mabuk, selagi angin basah bawa rintik hujan, selagi kita masih bisa bercumbu. Sebab esok entah di mana lagi bisa kau kutemui.”

 

Lantas, dari catatan sederhana ini. Kucing kurus pun bergegas menghantarkan kata yang hampir mengendap dan membeku, ini adalah kata rindu yang abadi. Suatu cerita yang sekejap terlampaui atas waktu yang terasingkan ketika malam tiba. Ia pun berkata, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya dia ada.”

 

Tags

About The Author

anantatoer 20
Novice

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel