1

Ketika Tindak Kriminal Terekam dalam Internet

3 Aug 2015 16:30 1764 Hits 0 Comments Approved by Plimbi
Internet ternyata punya pengaruh besar bagi kehidupan seseorang

Internet tidak akan pernah lupa. Atau jika Anda pernah menonton Criminal Minds, Anda pasti mengingat salah satu kutipannya yang berbunyi “Internet is forever”.

Tersimpannya data di internet, bagi kita mungkin menganggapnya sebagai hal yang menguntungkan. Namun, lain cerita bagi sebagian orang. Salah-satunya, ada yang menganggapnya sebagai teror.

Seorang pria, sebut saja Tuan A, membayar seorang wanita di bawah umur berumur 16 tahun untuk melakukan hubungan layaknya pada tahun 2011.

Tuan A, ditangkap karena melanggar pasal tentang “Prostitusi Pada Anak di Bawah Umur” dan didenda sebesar 500 ribu yen, atau sekitar 54 juta rupiah.

Dia bertobat dan mencoba untuk membuka lembar baru dalam hidupnya. Namun yang menjadi masalah baginya adalah ketika orang mencoba “menggooggle” namanya di mesin pencari Google, yang muncul di Google tersebut salah satunya adalah referensi tentang kelakuannya di masa lalu.

Apakah tidak ada cara lain untuk melupakan dan menghilangkan jejak dari kesalahan di masa lalu?

 Apakah kita akan dihantui seumur hidup oleh tindakan kriminal yang sudah kita bayar dan kita tebus?

Itulah yang dialami tuan A. Ia merasa kecewa dan frustasi karena google menolak untuk menghilangkan rekam jejak kejahatannya yang ia lakukan waktu itu.

Tuan A, akhirnya menuntut Google pada tanggal 25 Juni 2015. Hal ini kemudian mendapat dukungan jaksa dari pengadilan di wilayah Saitama berupa perintah agar Google menghapus rekam kejahatan yang pernah dilakukan tuan A untuk sementara waktu.

Dalam menghadapi hal tersebut, tentunya google akan mengajukan banding.

Hal yang menyebabkan adanya dukungan terhadap tuan A adalah karena ia bukan seorang publik figur sehingga informasi yang berkaitan dengannya tidak memiliki arti sejarah atau sosial.

Namun, Google berargumen bahwa anggota dari komunitas sosial, khususnya orang tua dari anak yang masih remaja, berhak mengetahui tentang pelanggaran seksual yang terjadi disekitarnya.

Sebuah undang-undang Jepang tahun 2002 mengatur tentang prosedur bagi korban fitnah informasi dan dapat menuntut penyedia informasi untuk menghapus data tersebut. – tapi “fitnah” disini berarti informasi tersebut palsu yang bukan merupakan kasus Tuan A.

Tapi, bagaimana jadinya jika “benar” atau “salah” itu bukanlah tentang fakta melainkan sebuah interpretasi? Perlindungan hak privasi dan rehabilitasi dari seseorang jika dilakukan berlebihan, malah akan terlihat membatasi kebebasan berbicara.

Ambil contoh lain dari Shukan Post, sebuah penyedia informasi besar yang menerima permintaan dari sebuah rumah sakit dimana sebuah kecelakaan medis telah terjadi. Rumah sakit itu telah menyelesaikan masalah tersebut secara legal, dokter yang bertanggung jawab sudah bukan staff di rumah sakit itu.

Namun, pencarian di Shukan Post masih memperlihatkan kecelakaan yang pernah terjadi tersebut. Selama tulisan di Shukan Post belum dirubah, rumah sakit itu tidak akan pernah dapat memulihkan reputasinya.

Lalu bagaimana dengan seorang yakuza yang sudah kembali ke jalan yang benar tapi masih menemukan namanya terhubung dengan geng atau organisasinya semasa dia masih menjadi yakuza? Atau seseorang yang pernah dihukum karena mencuri atau melakukan pelecehan seksual?

Mungkin, penyedia layanan seperti Google atau Shukan Post akan berargumen bahwa para pelanggar atau pelaku tindak kriminal seharusnya berpikir tentang apa yang akan terjadi pada reputasinya sebelum melakukan tindak kejahatan.

Pada tahun 2003, sebuah klub yang terdiri mahasiswa dari dua universitas terkemuka menjadi topik hangat di dalam setiap rumah tangga. Hal ini terjadi karena 14 orang anggota dari klub tersebut melakukan pemerkosaan yang dilakukan secara bersama-sama. Nama klubnya adalah Superfree.

Dan salah seorang anggota klub tersebut yang menyatakan bahwa ia tidak terlibat dalam kejadian tersebut menuntut Google pada tahun 2012 dan meminta agar namanya dihilangkan dari kejadian itu.

Seorang jaksa Pengadilan wilayah Tokyo yang mendengar soal kasus tersebut kemudian memerintahkan Google untuk membayar orang tersebut sebesar 300 ribu yen sebagai kompensasi atas reputasinya yang tercemar.

Namun pada tahun 2014, Pengadilan Tingkat Tinggi Tokyo berbalik mendukung Google. Dan keputusan mengenai kasus ini akan diambil suatu hari di tahun 2015 ini. [FM]

 

Via Japan Today

Tags

About The Author

Plimbi Editor 500
Administrator

Plimbi Editor

Official Account of Plimbi Editor - Follow Twitter @plimbidotcom dan Like FP Facebook Plimbidotcom
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel