Daripada Ribut Tes Bahasa Inggris atau Mengaji, Tes Poligraf Saja

18 Mar 2019 10:51 3784 Hits 0 Comments Approved by Plimbi
Masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang jujur

Sudah lama pesta demokrasi di Indonesia berlangsung “tidak sehat”. Mulai dari pemilihan kepala desa, bupati/walikota, gubernur, DPR/MPR, sampai dengan capres dan cawapres diwarnai berbagai keburukan dan kericuhan. Terutama pada masa kampanye capres dan cawapres, kerusuhan, pertengkaran, dan permusuhan sering terjadi. Para tim sukses dan masyarakat pendukungnya pun tidak ketinggalan, terbelah menjadi blok-blok tersendiri. Hal itu menjadi semacam potret kekanak-kanakan dan memalukan negeri ini. Pada tingkat orang yang mewakili suara sekelompok masyarakat (baca: parpol dan tokoh-tokoh penting/intelek, bahkan kandidat calon) malah mengucapkan atau melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Mereka yang terlihat kurang kontrol terhadap dirinya sendiri, kurang kontrol pula terhadap partainya, pendukungnya, dan semacamnya mengaku bisa/sanggup “mengontrol” seluruh rakyat Indonesia. Terdengar berlebihan, bukan?

Pada tahun lalu, sempat terdengar usulan agar di dalam pemilihan capres dan cawapres kali ini (2019) diadakan tes debat bahasa inggris dan tes mengaji. Tes debat bahasa inggris lebih ditujukan untuk menyerang presiden Jokowi, sedangkan tes mengaji lebih ditujukan untuk kubu lawan, yaitu Prabowo.

Tak bisa dimungkiri, hubungan dengan luar negeri membutuhkan bahasa inggris sebagai bahasa internasional. Apabila presiden menguasai bahasa inggris, hal itu akan memudahkan tugas-tugasnya. Namun, presiden yang tidak bisa berbahasa inggris dengan baik tidak lantas menjadikannya gagal. Misalnya, Soeharto. "Selama Pak Harto (Soeharto) menjadi presiden, beliau menerima tamu dan bicara di ratusan forum internasional dengan bahasa Indonesia dan itu tidak sedikit pun mengurangi kewibawaan beliau sebagai kepala negara," urai Arsul Sani, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi–Ma'ruf (Kompas, 14/9/2018).

Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menjelaskan kepada BBC News Indonesia, Jumat (14/9/2018) bahwa Penggunaan bahasa Inggris dalam debat tidak tepat, karena bukan bahasa resmi, sedangkan tes mengaji malah semakin tidak relevan, karena tidak semua orang Indonesia muslim.

Tak ketinggalan, Mahfud Amin, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ikut angkat bicara. “Menurut UU No.24/2009 untuk acara-acara resmi, termasuk pembuatan kontrak-kontrak dan pidato dalam forum internasional pejabat-pejabat negara kita harus menggunakan bahasa indonesia. Oleh sebab itu tidaklah tepat mengusulkan debat capres/cawapres dalam Pilpres dilakukan dalam bahasa inggris maupun bahasa asing lain” (Tribunnews, 15/9/2018).

Pada kenyataannya, Jokowi tidaklah sendirian. Soeharto, Megawati, Nicolas Sarkozy, François Hollande, Kim Jong-Un, Vladimir Putin, raja Salman, dan Xi Jinping adalah sederet nama pemimpin yang juga sempat disebut-sebut publik tidak pandai berbahasa inggris.

Daripada tes bahasa inggris atau mengaji, lebih baik diadakan tes poligraf, yaitu tes yang biasa digunakan untuk mendeteksi kebohongan. Sebagaimana diketahui, tingkat korupsi dan Indonesia masih tinggi. Begitupun dengan masih banyaknya janji-janji kampanye yang tidak terbukti/terealisasi. Indonesia lebih membutuhkan orang-orang yang cakap, “bersih”, dan berakhlak baik daripada sekadar tes bahasa atau mengaji.

Tes poligraf memiliki tingkat keakuratan sebesar 60-80%, tergantung pada keterampilan operatornya. Tercatat bahwa Bill Clinton dan Donald Trump pernah merasakan efek dari keandalannya. Alat ini berhasil membongkar kasus skandal pelecehan seksual Bill Clinton terhadap Bobbie Ann William, Paula Jones, dan Monica Lewinsky (Skandal Politik Tokoh-Tokoh Dunia, 2016; America Undercover, 2005). Sedangkan Trump, ketahuan berselingkuh dengan aktris film porno, Stormy Daniels, juga karena alat ini.

Robert Feldman, psikolog dan profesor dari University of Massachusetts Amherst menyatakan, rata-rata manusia berbohong sebanyak 11 kali dalam sehari. “Enam puluh persen dari kita memiliki waktu yang sulit untuk melalui 10 menit percakapan tanpa berbohong setidaknya dua kali,” ujarnya. Belum lagi dengan adanya temuan Kominfo bahwa rata-rata terdapat 6 hoaks beredar setiap hari (Bisnis.com, 2019). Dalam konteks pemilu, bayangkan bagaimana jika yang berbohong itu adalah presiden/wakil presiden dan wakil-wakil rakyat serta merupakan kebohongan yang berpengaruh besar bagi kemaslahatan rakyat? Akan menjadi musibah besar, bukan?

Meskipun tes poligraf tidak selalu akurat dan masih menuai kontra, tetapi dengan dukungan cara-cara lain yang tepat tes ini patut untuk dipertimbangkan.

 

Sumber gambar:

https://nasional.kontan.co.id

Tags Politik

About The Author

Dini Nuris Nuraini 39
Ordinary

Dini Nuris Nuraini

penulis, blogger
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel