Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam

23 Jan 2019 17:33 1491 Hits 0 Comments
Pengangkatan anak menurut pandangan hukum Islam, dan pembagian warisnya.

Anak angkat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah Anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, dan orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.

Menurut Pasal 171 Huruh H kompilasi hukum Islam, yaitu “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan”

Pengangkatan anak atau Tabanni sudah menjadi tradisi turun temurun oleh bangsa Arab, pada masa penyebaran Islam. Nabi Muhammad SAW juga pernah melakukan pengangkatan anak kepada Zaid bin Haritsah. Zaid bin Haritsah ditangkap oleh sekelompok orang yang kemudian dibawa kepasar untuk dijual seharga 400 dirham  kepada Hakim bin Hizam bin Khuwailid, yang akan diberikan kepada bibi nya Siti Khadijah bin Khuwalid.

Lalu pada saat Nabi Muhammad nikah dengan Siti Khadijah dibawanya Zaid kepada Nabi. Yang menyebabkan hubungan mereka sangat dekat, lalu kabar kedekatan ini sampai terdengar oleh ayah Zaid dan olehnya dicari untuk dijemput. Nabi akhirnya memberikan seluruh keputusan kepada Zaid untuk memilih diriNya atau Ayahnya. Zaid lalu memilih tinggal Bersama Nabi Muhammad dan mulai saat itu lah Nabi mengumumkan bahwa Zaid adalah anak angkatnya. Lalu Zaid dinikahkan kepada Zainab bin Jahsy oleh Rasulullah. Zainab merupakan keturunan terhormat Quraisy.

Setelah Nabi menjadi Rasul Allah SWT  menurunkan wahyu-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 5, yang artinya “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudara seagama dam muala-mualamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosa) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Lalu Allah SWT menurunkan wahyunya yang terdapat dalah Surat Al-Ahzab ayat 37, yang artinya ”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang telah Allah limpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah.” sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”

Perkawinan Nabi Muhammad dengan Zainab bin Jahsy dimana Zainab adalah mantan istri dari Zaid bin Haritsah yang merupakan anak angkat Nabi Muhammad,  menerangkan bahwa menikahi bekas istri anak angkat dibolehkan. Sebab anak yang diakui oleh hukum Islam adalah pengalihan tanggung jawab yang mana bertujuan untuk memberikan nafkah, mendidik, memelihara, dan lain lain. Bukan pengangkatan anak yang dilakukan oleh kaum Jahiliyah, yaitu merubah nasab anak angkat menjadi nasab dirinya, dan menjadikan anak angkat seolah-olah anak kandungnya.

Lalu bagaimana dengan pembagian waris terhadap anak angkat? Dalam Hukum Islam pengangatan anak tidak membawa hukum dalam hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris-mewaris dengan orangtua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orangtua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Menurut pasal 852 ayat 1 KUHPerdata dan Pasal 171 huruf C KHI menyatakan bahwa anak angkat tidak termasuk dalam daftar ahli waris seseorang, dikarenakan ahli waris harus memiliki hubungan darah.

Namun, orang tua angkat tetap dapat memberikan sebagian hartanya kepada anak angkatnya dengan cara wasiat, dimana wasiat tersebut dinamakan wasiat wajibah. Wasiat wajibah menurut KHI adalah wasiat yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang diberikan kepada orang tua angkat atau anak angkat yang tidak menerima wasiat dari anak angkat atau orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia. Menurut pasal 209 ayat (2) KHI yaitu “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya.”

Pemberian hak waris anak angkat yang berupa wasiat wajibah harus terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan dengan anak kandung atau ahl waris. Tterdapat beberapa syarat sebelum melaksanakan wasiat wajibah, yaitu:

  • yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
  • Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang belum dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah.
Tags

About The Author

Aininditha Putri 14
Novice

Aininditha Putri

Mahasiswi
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Aininditha Putri