Poetica-Postmodernism dalam #FilmPosesif

27 Oct 2017 12:53 3355 Hits 0 Comments
Film Indonesia

Sebuah metafor dalam kajian film adalah betuk semiologi yang bisa membuat penontonnya mengingat film tersebut setelah filmnya usai. Bagi saya ada perbedaan jelas antara film dan konsep bahasa. Film bukan sekadar bahasa gambar, lebih dari itu ia menjadi objek yang berdiri sendiri. Film dalam perkembangannya menjadi bahasa tunggal semiologi. Yang dapat kita tarik kesimpulan bahwa film yang baik adalah film yang membuat penontonnya berpikir dua kali dalam menerjemahkan isi gambar bahkan setelah ke luar dari ruang teater.

Simbolisme-simbolisme seperti itu erat kaitannya dengan sutradara, karena ia punya ruang lebih luas untuk menentukan apa saja yang perlu masuk dalam sebuah gambar atau frame. Simbolisme atau detail-detail semiotik harus menjadi satu alias menempel pada sutradara, karena hal semacam itu punya kaitan dalam penyampaian maksud gambar di luar dialog antar tokoh.

Simbolisme merupakan semacam isyarat yang bisa dibilang sulit untuk dibicarakan. Kita tidak bisa mengubah isyarat-isyarat dalam film ke dalam bentuk sistem bahasa. Contoh; dalam Film Posesif sebuah kunci yang menggantung di pintu bisa diartikan berbagai macam, apalagi jika sutradara sengaja menahan gambar itu lebih dari 5 detik. Kunci yang mengunci sebuah pintu juga erat kaitannya pada perasaan tokoh saat itu juga.

Kekuatan film tidak mampu kita bedakan atau bahkan kita bandingkan pada sistem-sistem bahasa, ia sudah kuat untuk berdiri sendiri. Meski pun film memang punya kaitan terhadap bahasa. Namun perbedaannya ada pada imaji tiap penontonnya, terjemahan pada sebuah simbol di dalam frame bisa berbeda dari masing-masing orang. Ada yang menganggap contoh yang saya berikan sebagai bentuk yang biasa, ada juga yang lebih dalam mendalami perspektif tersebut.

Film Posesif memberikan gambaran kontruksi lain dalam sebuah film, ia memberikan imaji seolah-olah ia hanya memberikan satu frame saja sepanjang film. Kita terpaut pada dua tokoh utamanya—selalu terpaut. Ikut merasa empati bagaimana bisa perasaan mereka terbentur dan menjadi satu. Dalam satu frame kedua tokoh ini sanggup memberikan aura yang bukan hanya baik tapi menyentuh kedalaman imaji dan membantu membentuk kontruksi gambar yang baik.

Film Posesif adalah film yang sulit dijelaskan, karena ia mudah dimengerti. Seperti kata Christian Metz “Sinema, seni yang mudah, selalu terancam menjadi korban karena kemudahannya… Sebuah film sulit dijelaskan, karena ia mudah dimengerti.” Film Posesif memberikan dan membuka bahasa lain, ia merasuki imaji kita dengan simbol-simbol yang tanpa sadar kita proses dalam ruang pikir kita. Kenapa simbol paus dan penguin disandingkan? Mungkin karena itu memang hewan yang paling tepat untuk menjadi isyarat tokoh Yudhis dan Lala. Seperti ingin memberitahu kita bahwa dua isyarat itu adalah bentuk manifestasi karakter lain.

Pengambilan gambar jelas butuh waktu, begitu juga penontonnya yang butuh waktu extra untuk menerjemahkan imaji-imaji yang ada dalam satu frame yang ditampilkan. Tapi bagaimana jika sebuah film mampu memberikan pendekatan tunggal dalam satu frame? Film Posesif memberikan itu sejak awal film, ia hadir dalam bentuk dua tokoh yang “gila”, dengan kata lain Posesif adalah Yudhis dan Lala. Ia menjadi ketertarikan tunggal untuk setiap penontonnya. Tidak salah untuk menempatkan Putri Marino dan Adipati Dolken menjadi kemungkinan pertama untuk meraih penghargaan aktor dan aktris di Festival Film Indonesia.

Film ini menjadi sangat lengkap dengan kehadiran banyak tokoh pendukung. Cut Mini & Yayu Unru benar-benar menjadi tokoh yang "mendukung" performa tokoh utama. Cut Mini membantu Yudhis, dan Yayu Unru membantu Lala dalam mencapai puncak “kegilaan akting,” Mereka tidak sekadar menjadi “pembantu” yang ke luar sekelabat lalu hilang dilupakan dan tidak bermakna. Ia dengan sendirinya merasuki pikiran tokoh utama dan “mendukung” mereka untuk menjadi spotlight dan mencapai puncak performa. Yayu Unru dan Cut Mini adalah “hero” yang harus saya katakan sangat mungkin mendapatkan penghargaan itu di Festival Film Indonesia.

Maksud dibuatnya simbolisme dalam sebuah film adalah untuk membuat film menjadi lebih berarti dan terus diingat. Meskipun hal ini akan luput dari orang-orang normal yang pergi ke bioskop hanya untuk dihibur atau menemani seseorang nonton. Lebih dari itu, saya sendiri merasa film ini memberikan kesan yang mendalam, Edwin—Sang Sutradara selalu berhasil “meninggalkan jejak” di setiap filmnya. Kepekaan itu membuat Film Posesif menjadi berbobot meskipun memang film ini berlabel 13+, dalam kepekaan simbolisme itu membuat bobot artistiknya otomatis bertambah nilai.

Poetica-Postmodernism dalam Film Posesif membuatnya masuk dalam jajaran drama (romance) terbaik yang pernah ada di Indonesia. Bravo!

#BanggaFilmIndonesia
#FilmPosesif

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel