Ed & Talia #3

8 Jun 2017 05:58 3861 Hits 0 Comments
Cerpen

Satu hal yang pasti dari dua orang yang saling jatuh cinta adalah perpisahan. Aku tak bicara soal perpisahan besar seperti putus status. Perpisahan ini lebih sederhana, saat masing-masing dari keduanya tak rela melepaskan yang lain hanya untuk pergi tidur lebih dulu. Rasanya ingin selalu mendengar kabarnya. Persis yang kurasakan bersama Talia, situasi itu sering kita rasakan, pada suatu malam hal itu terjadi lagi dan aku menikmati perasaan yang bergejolak dalam rongga dada yang sempit.

 

“Aku mau baca dulu, ya. Kamu tidur duluan aja nggapapa,” ucap Talia dari bilik ponsel.

 

“Mau baca apa?”

 

“Eka Kurniawan.”

 

“Serius? Malem-malem gini baca Eka Kurniawan?” kataku tak percaya.

 

“Ed, aku kalo baca buku pasti malem, nonton film lebih seneng pas siang… Dan baca Eka Kurniawan nggak akan bikin aku ngantuk sama isi ceritanya,” jelas Talia, sedikit bersemangat.

 

“Maksudku, malem-malem gini bacanya Eka Kurniawan? Aku capek loh kalo baca novelnya. Butuh fokus yang lebih. Apalagi Cantik itu Luka, frontal sekali,” balasku, sembari melihat jam dinding, malam menunjukkan pukul 11.50.

 

“Nah, fokusku itu selalu malem, Ed kusayang. Makanya baca buku selalu malem… Cantik itu Luka aku perlu baca satu halaman dua kali. Rasanya harus selesai hari itu juga… Aku suka.”

 

“Owalah… Aku kalo baca buku paling sebelum tidur, lima sampe sepuluh halaman atau kadang satu bab… Baru aja bulan kemarin aku ketemu Mas Eka di Medini… Orangnya Jaim. Malu-malu tapi mau kalo diajak ngobrol,” ujarku menggoda Talia untuk menutup buku yang sedang dia baca.

 

“Ih, serius? Terus gimana? Enak buat diajak ngobrol? Ngobrolin apa aja? Aku Kepo…” tanya Talia, terdengar antusias.

 

“Ngobrol bentar doang sih, Dia ngisi workshop di acara Kemah Sastra, cuma ngobrolin soal blognya dia… Dia aku kasih bukuku,” aku memegang ponsel di tangan kiri. Duduk di luar rumah, suasana sepi, tapi perasaanku selalu ramai karena Talia. Tiba-tiba sesuatu yang gila terbesit dipikiranku.

 

“Widih, ada rasa bangga gitu nggak, bukunya dibaca Eka? Kok aku envy, ya.”

 

“Hmm… Berharap Mas Eka ada waktu buat bacanya. Kalo iya pastilah bangga.”

 

“Pasti dibacalah, Ed. Positif Thinking aja.”

 

“Iya sayang makasi yaa,” kataku tersenyum sendiri.

 

“Kalo aku sebelum tidur malah waktunya nulis gak jelas dibuku… Eka jaim tapi kalo nulis frontal sekali, menohok.”

 

“Iya… Memang banyak penulis yang jaim tapi tulisannya liar. Djenar maesa Ayu misalnya.”

 

“Ahiya! Aku udah nonton filmnya juga.”

 

“Filmnya yang apa?” tanyaku.

 

“Mereka bilang saya monyet.”

 

“Kalo aku waktu itu nonton Nay lari ke Jogja, karena di Semarang nggak ada.”

 

“Ohiya? Aku malah belum nonton, Nay… Eh kamu kok nggak jadi tidur, sih?”

 

“Aku gak pernah bisa tidur, selalu ada kamu di pikiranku,” senyumku, menahan tawa.

 

“Ah gombal,” kata Talia, suaranya terdengar seperti seorang yang tersipu.

 

“Aku serius… Coba deh tirai kamarmu buka.” 

 

“Ada apa emang?” tanya Talia, aku bisa melihatnya membuka tirai lalu kaget melihatku berdiri tak jauh dari jendela kamarnya. Talia tersenyum, aku menutup panggilan itu.

 

“Astaga kamu,” Talia melempar ponselnya ke ranjang tidurnya, lalu membuka jendela kamarnya dan menyilahkanku masuk.

 

Kamarnya dipenuhi tempelan di dinding-dindingnya, mulai dari foto-foto dari kamera polaroid hingga stiker dinding yang khas dengan kehidupannya. Warna cat kamarnya merah muda, sprainya kebiruan, sudah rapi dengan bantal dan guling yang ditata sejajar. Pintu kamarnya dibiarkan terbuka. Talia sering sendirian di rumah. Lagi pula, orang tuanya tak mempermasalahkan jika aku sering diam-diam masuk ke rumah melalui jendela kamar Talia.

 

“Akhirnya, sampe kasur,” kataku setelah berbaring di ranjang kamar Talia.

 

“Enak aja, kasur aku nih,” Talia menutup jendela dan tirai.

 

“Kamu baca buku Eka yang mana, sih?” kataku mengambil buku O karya Eka Kurniawan di atas kasur.

 

“Dasar orang gila, tiba-tiba udah di sini aja,” Talia memukulku dengan guling.

 

“Biarin,” godaku, menjulurkan lidah. Talia mengambil ponselnya lagi, seketika aku teringat storiesnya di instagram beberapa jam yang lalu.

 

“Itu storiesmu kenapa?” tanyaku masih berbaring, menatap langi-langit kamar.

 

“Ah biasa, kejenuhan anak negeri.”

 

“Aku juga ngerasain banget, dinyinyirin, dihujat, diiriin. Rasanya mau bilang, ‘All you can do just comment negative? That’s All? Show me what you can do, because i don’t have time for you… Sama-sama jenuh juga sebetulnya,” kataku, mengelus punggung Talia.

 

“Ketika berkarya dikritik, enggak berkarya dikritik, buat kesalahan juga dikritik. Semua dikritik. Semua penuh kritikan, minim apresiasi. Sekarang jamannya menghujat lebih asik ketimbang menghargai. Biar viral masuk lambe turah,” jelas Talia, nadanya sedikit kesal.

 

“Astaga lambe turah,” balasku, menahan tawa.

 

“Bener, kan? Akhinya banyak anak muda justru berkarya hal-hal yang aneh, gak berfaedah, biar viral, gak ada manfaatnya buat negeri, Cuma bermanfaat buat pemasukan kas sehari-hari… Capek bikin karya yang apik, toh gak ada yang mengapresiasi,” Talia ikut berbaring di sampingku.

 

“Tapi kita tetap harus optimis, karena perubahan tidak terjadi secara instan… Perubahan ke arah yang lebih baik cuma bisa dilakukan kalo ada yang berani memulai.”

 

“Optimis pasti optimis, Ed. Kalo ada orang yang bikin perubahan ke arah yang lebih baik malah dihujat, yaa pasti down, kan?” Talia memegang tanganku.

 

“Aku sih optimis lambe turah tutup akun,” kataku menggoda, Talia tertawa lalu memukul perutku, membuatku tersedak—batuk.

 

“Cuma sedikit orang yang mampu berdiri di atas hujatan orang lain. Cuma sedikit yang bertahan sama pikirannya, dengan banyak sindiran pesimis dari orang lain. Ketika ada orang yang kayak gitu, malah dibuat gugur secara paksa… Welcome To Indonesia,” ujar Talia, menatapku, tubuhnya miring, menghadap padaku. Aku masih menatap langit-langit kamar.

 

“Bukan Indonesianya, sayang,” kataku, memiringkan tubuh—menghadapi Talia.

 

“Emang bukan Indonesianya, sih, cuma kalo sebagai orang awam akan mengatakan ini Indonesia. Kalo bilang masyarakatnya—masyarakat yang bagaimana? Apakah ketika disalahkan masyarakatnya terima? Kalo Indonesianya disalahin, eh malah terima-terima aja.”

 

“So, Welcome to Indonesia, BOOOM” godaku, menjulurkan lidah ke arah Talia. Talia tertawa, mencubit hidungku.

 

“Tapi, Bali sepertinya bukan Indonesia,” kata Talia setelah beberapa menit terdiam dan kami saling tatap.

 

“Ahiya Bali!” kataku, bersemangat.

 

“Bali itu cantik,” senyum Talia.

 

“Bali itu intim,” kataku, menambahi.

 

“Kita harus kesana kapan-kapan.”

 

“Boleh,” senyumku.

 

“Di Bali itu gak terlalu ngurusin budaya orang lain, tapi mereka tetap menghargai.”

 

“Iya… Bali itu hangat,” kataku.

 

“Hangat akan toleransi,” Talia menambahi.

 

“Hangat karena pelukanmu, Talia,” aku menatap Talia, matanya begitu dalam, kami saling bertukar senyum.

 

Sehelai rambut Talia jatuh, menutupi matanya, aku menyingkapnya lalu mengelus pipi Talia. Berulang kali aku berkedip, mencoba menghilangkan rasa canggung. Talia mengelus pipiku sembari bersenandung. Aku masih menatap matanya, bagian dari Talia yang selalu meluluhkanku.

 

Tiba-tiba Talia bergerak, aku pelan-pelan berbaring, Talia tak sepenuhnya menindihiku, tubuhnya masih tepat di sampingku, kita semakin dekat, hingga mampu merasakan detak jantung masing-masing. Talia berkedip dan tersenyum, kakinya menyilang, berada di atas kakiku, Talia meletakkan kepalanya pada rongga dadaku, mendengar detak jantung yang berubah seirama. Aku menutup mata, merasakan telinga Talia yang ikut bergetar karena detak jantungku.

 

-----

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel