Labirin Tak Berujung (The Endless Maze) - Part 7

8 Mar 2017 01:41 12578 Hits 1 Comments
Apaaa? Sudah terlambat? Nasi sudah jadi bubur? Jadi benar aku sudah mati? Ario kaget bukan kepalang. Meski terdengar pelan dan parau, ia yakin tidak salah dengar perkataan kakaknya. Bulu kuduknya berdiri. Oh, tidaakk! Aku sudah mati!

Hati Yang Terluka

 

Labirin Tak Berujung (The Endless Maze) - Part. 7

Gambar diambil dari Orangefloat.wordpress.com

 

Setitik sinar terang menyinari wajah Ario. Kehangatan sinarnya menyadarkan dirinya dari pingsan yang sudah berjam-jam dialaminya. Ia mencoba membuka kelopak matanya, namun terasa berat. Ia mencoba sekali lagi, tetap tidak berhasil.

Dengungan suara terdengar, semakin lama semakin keras. Suara itu berasal dari tangisan Dira dan tangisan kakaknya Yanti. Nafasnya bergemuruh, Ada apa ini? Apakah aku sudah mati”, batinnya.

“Dira...” Ario memanggil istrinya tetapi Dira tidak menyahut.

“Diraa...” Ario memanggil sekali lagi dan tetap tidak menjawab.

Ario pun tersadar bahwa ia pun sebenarnya tidak bisa membuka mulutnya, perasaannya saja yang mengatakan bahwa ia sedang memanggil nama istrinya, tetapi sebenarnya tidak.

Tak berputus asa, ia mencoba menggerakkan jemarinya. Satu persatu ia coba gerakkan, mulai dari jari kelingking. Bak mengangkat beras 20 kilogram, jari kelingkingnya tak beranjak setitikpun. Ia menyerah.

Tanpa mampu berbuat apapun untuk membangunkan dirinya, kini Ario hanya bisa mendengar isak tangis dan percakapan yang kurang begitu jelas terdengar antara Dira dengan Yanti.

“Sudahlah Dir. Tak usah lagi ditangisi. Semua sudah terlambat. Nasi sudah jadi bubur.” Terdengar suara parau Yanti yang mencoba menghibur adik iparnya yang masih menangis sesunggukkan.

Apaaa? Sudah terlambat? Nasi sudah jadi bubur? Jadi benar aku sudah mati? Ario kaget bukan kepalang. Meski terdengar pelan dan parau, ia yakin tidak salah dengar perkataan kakaknya. Bulu kuduknya berdiri. Oh, tidaakk! Aku sudah mati!

Namun sedetik kemudian, Ario bertanya lagi dalam hatinya, Tapi jika benar aku sudah mati, apa mungkin aku masih bisa mendengar perkataan mereka? Aahh, tidak mungkin!. Ario kembali yakin kalau ia masih hidup.

Kak Yanti! Dira! Aku masih hidup! Kalian dengar aku? Aku masih hiduupp! Ohh, tidaak! Mereka pasti tidak bisa dengar apa yang kukatakan! Perasaan Ario bercampur aduk tak menentu.

“Sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri, Dir?” Terdengar suara berat seorang laki-laki yang ikut nimbrung pembicaraan Dira dengan Yanti.

“Kurang lebih tujuh jam, Bi...” Dira membalas ucapan sang pria yang tak lain adalah Bimo.

Bimo? Ngapain dia ada di sini? Tidak cukupkah kau merusak rumah tanggaku? Dira, usir manusia congkak itu! Aku benci dia! Ario berteriak sekencang-kencangnya, namun semua usahanya sia-sia, mereka sama sekali tidak mendengar.

Bagai terbawa mesin waktu, mendadak Ario teringat kembali ke masa silam, saat ingat omongan ibunya yang pernah mengatakan, “Warna kulit anakmu koq hitam ya, Yo? Padahal kalian berdua kan kulitnya putih.” Saat itu Ario masih acuh tak acuh dan menganggap ibunya hanya joking.

Ia pun teringat setahun yang lalu saat ia melihat Bimo pernah datang ke rumahnya sedang memeluk dan mencium mesra Marcel. Saat itu ia terkejut dan heran melihat pelukan mesra Bimo terhadap anaknya, tidak seperti layaknya paman dengan keponakan. Ia pun membandingkan dirinya dengan keponakannya Briyan yang tidak pernah ia peluk dan cium mesra. Ketika ia menanyakan kepada Dira, Dira hanya menjawab enteng “Bimo memang suka anak kecil.”

Sempat meredup, kecurigaannya kembali muncul saat kakaknya Yanti menceritakan kegalauannya mendengar pembicaraan Dira dengan temannya Dira kalau Marcel mirip Briyan yang sama-sama berkulit hitam atau lebih tepatnya sawo matang.

Hasil tes DNA yang menyatakan Marcel bukan anak kandungnya tadinya sudah meyakinkan dirinya, namun ucapan Dira berhasil meruntuhkan keyakinannya dan memutuskan untuk kembali percaya pada istrinya. Tapi entah mengapa, ia begitu membenci Bimo. Hatinya terluka setiap melihat abang iparnya.

“Dira, kami balik dulu ya. Kamu nggak apa-apa kan kami tinggal?” Suara Yanti menghentikan lamunan mesin waktu yang menyandera Ario ke masa lampau.

“Nggak apa-apa mbak. Makasih sudah sempatin mau datang subuh-subuh begini.” Suara Dira masih terdengar parau akibat terlalu lama menangis.

Tak lama suasana pun hening. Tidak terdengar lagi pembicaraan mereka, kecuali bunyi tut, tut yang berasal dari arah kiri Ario.

Lho, itu kan bunyi elektrokardiogram*? Oh tidak! Apakah sampai separah ini kecelakaan yang kualami? Oh, Tuhan, aku belum mau mati! Perasaan takut kembali menyesaki dada Ario, kali ini lebih hebat dari sebelumnya.

*) Elektrokardiogram (EKG) : Mesin yang memonitor bunyi denyut jantung pasien.

Tiba-tiba ia merasa sangat lemas, seluruh tenaganya seperti tersedot keluar dari raganya. Ia yang sebelumnya sudah merasa lemas, kali ini benar-benar tambah tidak berdaya.

Bunyi heart rate monitor mulai tidak jelas lagi terdengar...

 

Tags

About The Author

Arya Janson Medianta 46
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel